Karawitan

oleh -4291 Dilihat
oleh

Pada awalnya, karena keluwesan (kelenturan), kenaturalan, dan kedinamisannya, karawitan digunakan sebagai pengiring berbagai seni pertunjukan lain, seperti: kethoprak (teater), wayang, dan tari. Di waktu-waktu kemudian karawitan madeg sendiri sebagai suatu pertunjukan/pementasan. Lemes adalah salah satu sifat karawitan yang bukan tanpa daya, namun mengandung keluwesan layaknya gemulai alam dan wanita. Alam adalah swanitta, kesucian atau kemurnian yang merdeka. Kemurnian alam ya gunung-menggelegar, kelok sungai, bening-telaga, mata-air yang suci, samudera tak bertepi, dan sebagainya. Sehingga karawitan sangat pas digunakan untuk menggambarkan kecantikan alam dan wanita beserta sifat-sifatnya.

Gemulai alam dan para penari wanita mendapatkan jodohnya: karawitan yang bersifat luwes.

Alam oleh wangsa manusia dilabeli sifat wanita/perempuan. Alam Gunungkidul diumpamakan seperti Si Thiwul; wanita paradesa yang cantik jelita. Pengembaraan Ketawang Puspawarna ke pelosok semesta laras dengan pengembaraan-erotik (eros) di titik tertinggi-terjauh kecantikan alam atau wanita/perempuan semacam ini: di pucuk kethuk, di puncak kenong, atau pusat gong. Organologi wanita/perempuan sejajar dengan organologi alam dan organologi gamelan, yang secara tekstual ditumpahkan di cakepan (syair) gendhingnya. Kerja budaya menumpahkan bahasa organik-instrumental-kewanitaan-alamiah berkenaan dengan gendhing karawitan biasanya dilakukan oleh seorang penghayat karawitan yang mumpuni (empu) atas perintah sang raja (syaila-indra; raja-gunung). Sang raja (penguasa; dalam konteks modern diwakili oleh yang menguasai kapital) lah yang mampu menggapai erotisme dan kealamiahan puncak gunung (salendro) atau perut bumi itu. Hasilnya hampir sama (stereotip) dengan apa yang diciptakan oleh Sultan Agung berupa tarian Bedhaya Ketawang, yaitu simbolisasi andon-asmara (percintaan) antara pemimpin wangsa Mataram (syaila-indra; raja-gunung) dengan sifat kewanitaan alam (tanah, kali, samudera); Nyi Rara, dalam gerak gemulainya. Karya tari ini terinspirasi oleh paratanda dari tawang tatkala Sang Raja Gunung mamuja-semedi. Gerak dan nyanyian wanita merupakan kombinasi yang begitu cantik (hayu). Ras manusia begitu asyik-masyuk menjelajahi sifat kewanitaan/keperempuanan alam yang tak bertepi. Wangsa manusia ‘orgasme’ dalam alunan gendhing dan tarian semesta.

Barangkali Mangkunagara IV menciptakan gendhing Ketawang Puspawarna karena memang antariksa yang tak berbatas itu terlihat dari bumi (ketingal, ketawang), terindera, namun sangat sulit untuk menggapainya. Ras manusia, terutama diwakili tokoh-tokoh terpilihnya, mencoba menembus tinggi-jauhnya tawang. Pengembaraan manusia ke gagantara dengan wahana ruang angkasa Voyager (Pengembara) memang berlatar pertanyaan: sejauh dan selebar apa manusia, dengan gelombang-musik-elektromagnetik dan teknologi yang dicapainya, mampu menjadi Jaka Umbaran (wangsa manusia pengembara)? Akankah pengembaraan musikal Gendhing Puspawarna dan teman-temannya bersama Voyager menemukan sungguh apa yang disimbolkan dengan ‘Sang Ayah’, yang Hamengkubawana Langgeng, yang Makubuwana, memuncaki pucuk tertinggi-terjauh Tawang (Iswara, Antariksa, Langit)? Yang dimaterialkan dengan suara Lokananta di kayangan? Bukankah Wangsa Indu, yang bisa jadi sebagai leluhur purwa Wangsa Nusantara/Indonesia, menyebut entitas Tuhan tertinggi dengan Iswara? Tuhan tertinggi yang adalah Parama-Iswara atau Parameswara, langit yang paling purwa atau paling tinggi? Atau Nawasanga (sembilan dewa tertinggi yang mewakili arah mata angin)?

Wangsa Jawa, setelah mengetahui ketakterhinggan alam (nandhing-sarira), kemudian mulat-sarira (memahami-diri) bahwa ia penuh keterbatasan. Terutama dalam mengonsepsi tawang. Namun dalam keterbatasannya itu manusia tetap melaksanakan aksi semampunya, berbekal ngelmu (iptek) yang dimiliki. Langit (sebenarnya) tak bisa diraih tapi selalu dicoba karanggeh, laksana cebol anggayuh lintang atau jago kaluruk ing tawang. Justru titik tertinggi, terdalam, terjauh, dan terlembut alam sangat mungkin diperoleh tatkala wangsa manusia melakukan-merasakan perjalanan, penjelajahan, atau pengembaraan secara langsung di tinggi, dalam, jauh, dan lembut tubuhnya (alam). Tanpa kekhawatiran apakah Voyager sebagai wali-material ras manusia akan kembali, atau bergerak-terus sampai ketinggian seberapa; bahkan sebagai suatu bentuk keyakinan tentang gerak-kembali musikalitas alam ke asalnya. Semangat penjelajahan Sang Voyager begitu laras dengan pengembaraan musikal karawitan yang jazzy: yang daya jelajah nadanya bisa disimpulkan tiada titik henti.

Perkawinan karawitan dengan jenis atau genre musik lain sangat besar kemungkinannya karena gamelan dalam karawitan adalah embrio alat musik. Ia/mereka melahirkan alat-alat musik gamelan di geografi manapun baik tradisional maupun modern. Akhirnya, karawitan mampu kawin dengan berbagai jenis dan aliran musik. Organologi musik memiliki ruh yang sama: tiup, petik, gesek, dan pukul. Gamelan adalah spirit atau rohnya (taqline Yogyakarta Gamelan Festival). Organ dan spirit gamelan bersifat universal. Perkawinan dalam musik, seperti halnya dalam tari, rupa, dan cabang seni lain, bahkan dalam diri wangsa manusia, adalah perkawinan-incest-cosmic: yaitu perkawinan semesta antar-anak atau anak dengan ibu, yaitu aliran, organ, dan roh musik yang lahir dari rahim-alam yang sama kemudian di suatu waktu menyatu. Perkawinan ini merupakan persatuan antar organ dan roh gamelan.

Ajang festival karawitan tahunan seperti Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) yang cenderung memiliki ruh ‘global-universal’ dan festival-festival karawitan tingkat daerah yang lain seperti festival karawitan antar kecamatan di Kabupaten Gunungkidul yang cenderung ‘lokal’ paling tidak sebagai upaya untuk menjaga keberlangsungan seni karawitan tetap hidup berdampingan dengan seni lain, seperti: campursari (sebagai seni-hibrid) dan orchestra-besar musik Barat. Meskipun pada kenyataannya, seni campursari (anak hasil kawin campur) tumbuh subur di Gunungkidul. Suburnya campursari terkadang terasa kosok-bali dengan perkembangan ibunya: karawitan. Berkurangnya jumlah sindhen karawitan (atau katakanlah animo) di Gunungkidul yang lebih memilih profesi sebagai swarawati seni campursari mengindikasikan fenomena ini. Minat beberapa kalangan muda terhadap seni karawitan pun bisa dikatakan ‘sepi’ dibanding kepada campursari. Hal ini justru membuktikan bahwa karawitan itu bersifat dinamis karena sindhen dalam karawitan dengan ‘mudah’ bisa berprofesi sebagai penyanyi seni campursari dan penyanyi musik Barat. Mengapa? Konon, sebelum kehadiran laras pelog, dalam karawitan yang berlaras salendro (5 nada; mancapat; mandala) lahir lah suara vokal. Kelahiran suara vokal di dalam tubuh karawitan menuntut laras baru yaitu pelog yang memiliki kedekatan dengan nada diatonis (7 nada). Kompetensi seorang vokalis karawitan (sindhen) biasanya lebih sulit diraih dibanding swarawati karena harus menguasai gendhing-gendhing laras slendro dan pelog yang ‘berlekuk’ lebih banyak dan kompleks. Namun, ‘migrasi’ para calon vokalis karawitan ke menjadi vokalis campursari tetap membawa serta roh karawitan, yang memang secara organ maupun roh bisa dikawinkan dengan nada diatonis (barangkali selain alasan: nilai pendapatan sebagai swarawati campursari bisa dikatakan ‘lebih banyak’ dibanding pendapatan sebagai sindhen). Hibridasi garapan gendhing karawitan pentatonis-diatonis sebagai iringan pun tampak ramai dalam pertunjukan wayang, kethoprak, dan sendratari di masa kini; baik gaya Surakartan maupun Ngayogyan. Namun, dalam festifal/penyajian gendhing karawitan ‘klasik’ harus digunakan laras slendro dan pelog.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar