Karawitan

oleh -
oleh
iklan dprd

Laku memusat, memang harus selalu dilakukan oleh manusia yang menggunakan nalar memencar atau memendar dalam gerak kehidupannya. Pendhapa Sewaka Praja, sebagai wakil pusat geografi kegiatan budaya di Kabupaten Gunungkidul (pusat pemerintahan), dipilih sebagai tempat berlangsungnya perayaan kelungidan karawitan. Diikuti oleh berbagai kelompok penghayat karawitan dan diprogramkan oleh Dinas Kebudayaan. Perayaan karawitan yang memusat ini sebagai upaya alamiyah-naluriyah agar wangsa manusia tetap menjaga laku batinnya secara memusat dan meninggi ke tawang: pisowanan kepada Langit; selaras dengan maksud nama sewaka-praja. Perayaan karawitan antar paguyuban karawitan se-Gunungkidul juga dilaksanakan di Pendhapa Sewaka Praja tiap 35 hari sekali pada hari Jumat Legi (Uyon-uyon Jumat Legen). Pertunjukan karawitan sudah menjadi kebiasaan direkam oleh perusahaan rekaman atau perusahaan radio di Gunungkidul, seperti: GCD FM, Handayani FM, Argasasra, Swara Adiloka, RKW, dll. Gendhing karawitan yang dipentaskan direkam untuk disiarkan secara langsung melalui gelombang udara/gegana, atau disiarkan ulang, agar bisa terdengar oleh wangsa manusia ke seluas jangkauan pemancar radio. Kontribusi perusahaan radio dalam perekaman dan penyebaran gendhing karawitan ke segala penjuru bumi memang vital.

Capaian itu susah disamai oleh perusahaan televisi.

Kontribusi perusahaan rekaman Lokananta (meniru nama gamelan yang ada di tawang/kayangan) di Solo, yaitu salah satu kota pusat karawitan, pun sangat besar bagi kelestarian seni karawitan hingga kini. Rekaman gendhing-gendhing lelagon Nartasabdan misalnya, masih bisa dinikmati oleh para pandhemen karawitan lewat frekuensi radio. Kumandang gendhing karawitan sayup-sayup terdengar dari kejauhan, melatari para among tani yang giat bekerja nggarap tegalan di beberapa wilayah di Gunungkidul. “Dhel ndhedhel kae mumbul, lah layangane mancawarna pulasane, a tobat becike, lah aku gumun….kae montore mabur jejer Jaran Sembrani…..”, begini lelagon Ngundha Layangan tumlawung tertiup angin ke sana ke sana. Gendhing karawitan, dengan suaranya yang bergelombang lewat radio, sekaligus sebagai gelombang-radio itu sendiri, semakin memelosok ke seluruh permukaan bumi. Menemani among-tani mengolah tanah, mengolah rasa. Agar sebentar nanti ngleyang mumbul ke angkasa.

Ya, gendhing karawitan adalah paralambang ketajaman-rasa untuk kembali ke kemuliaan angkasa (Rawit-Mulya), ke pelosok pernafasan atau mata-angin (sembilan-dewa; nawasanga), ke tawang, ke udara (secara lahiriyah seperti halnya gendhing ayam kampungnya Sri Pendhawa atau Parman atau Kondhang Rasa atau Yu Sum yang memanjakan lidah orang-orang Gunungkidul), lewat sebuah omah, atau wadah, atau tarub yang disebut gamelan. Gamelan adalah lampah (jalan), mlampah-mlampah atau mlaku-mlaku (berjalan-jalan), atau ngumbara (mengembara), yang tak lain adalah perjalanan-kembali ke awang-uwung, ke semesta tak bertepi, ke keindahan-kelembutan alam dan wanita, lewat pusat udara dalam diri yang soran (keras suaranya), yang rawit (tajam), yang lungid (lemes, luwes; penuh rasa melayang ke langit, muluk ing gegana), yang bersifat soran (keras; suara instrumennya merambat jauh) sekaligus lirihan/alusan (kelembutan, kedalaman) seperti instrumen slenthem, yang agung di lingkungan kraton namun juga rumasuk di hati orang dusun, yang laras antara yang salendro dan yang pelog, yang digambarkan sebagai isbat di khasanah eskatologis kejawaan: jago kaluruk ing tawang. Seekor jago kaluruk (berkokok) di pagi hari; tak lelah berusaha melengkingkan suaranya ke langit; hendak meraih keelokan Rara Jonggrang, mencari-cari wewayangan Pang(h)eran.

iklan golkar idul fitri 2024

Itu: ndhedhel-mumbul ke gegana Si Karawitan! Ia kembali meninggi ke wiyati. Lewat pucuk kethuk. Luk, lekuk, serta liuk gendhing-wajib lelagon Gunungkidulan karya Ki Sadipan dipertunjukkan: Si Thiwul yang ayu rupawan.

Dalam sebuah festival karawitan. Pesertanya 18-an kecamatan.

[KH/WG]

 

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar