Apa Beda Caos dan Paring?

oleh -
oleh
iklan dprd

Penulis: Sumaryanto

KABARHANDAYANI,– Bahasa Jawa termasuk salah satu bahasa yang cukup rumit untuk dipelajari. Apalagi kalau sudah menyangkut tata krama atau unggah-ungguh berbahasa Jawa, selain ada beberapa tingkatan bahasa yang harus dipahami, dalam berbahasa Jawa juga perlu memahami siapa lawan bicara.
Sebagai contoh adalah kata “caos” dan “paring” yang memiliki arti memberi. Kedua kata tersebut termasuk kata dalam jenis bahasa Jawa krama halus atau inggil dan memiliki arti yang sama, namun memiliki makna yang berbeda.
Secara umum jenis bahasa Jawa dibagi 2, bahasa Jawa ngoko dan krama. Bahasa ngoko terbagi menjadi ngoko lugu dan ngoko halus, sedangkan krama dibagi menjadi krama limrah dan krama halus atau krama inggil.
Sebuah teori pada buku yang berjudul Marsudi Unggah-Ungguh Bahasa Jawa yang disusun oleh Haryana Harjawiyana dan Supriya menjelaskan, penggunaan kedua kata itu berhubungan dengan status sosial ekonomi, umur, dan pergaulan. Di mana kata “caos” ditujukan atau diungkapkan seorang penutur kepada seseorang yang memiliki strata tinggi, orang yang berumur lebih tua, serta orang yang baru saja dikenal, atau memang sengaja menggunakan kata tersebut sebagai bentuk rasa hormat terhadap lawan bicara.
Dalam buku tersebut dicontohkan seorang camat yang memberikan sesuatu pada kepala desa cukup dengan menggunakan kata “paring”, sedangkan seorang kepala desa yang memberikan sesuatu pada camat menggunakan kata “caos”. Hal ini juga berlaku bagi orang yang memiliki harta kekayaan yang banyak dengan orang yang kurang mampu.
Selain kedua kata tersebut, kata yang memiliki kesamaan pola dalam penggunaanya adalah kata “atur” dan “dhawuh” yang berarti memerintah, kata “suwun” dan “pundhut” yang berarti meminta.
Penggunaan kata tersebut seakan-akan memang mendiskriminasikan seseorang yang berstatus sosial ekonomi rendah. Faktor umur memang berpengaruh terhadap penggunaan kata-kata itu, namun pada prakteknya faktor status ekonomi lebih mempengaruhi dibandingkan faktor umur. Artinya, jika dikaitkan dengan contoh kasus di atas, bila ada seorang camat yang umurnya lebih muda dibandingkan kepala desa yang sudah berumur tua maka biasanya tak akan mempengaruhi aturan tata krama penggunaan kata-kata itu.
Namun, Haryana Harjawiyana dan Supriya dalam bukunya menjelaskan penggunaan kata-kata semacam itu sebenarnya bukan dimaksudkan untuk mendiskriminasikan seseorang atau pun sebuah golongan. Hal ini menjadi bagian dari bahasa, karena orang Jawa dianggapnya selalu ingin mengedepankan rasa hormat pada orang lain, bahkan dengan bahasa sekalipun. Berbagai tingkatan kata itu diucapkan semata-mata karena keinginan seseorang dalam menunjukkan sopan-santun dalam interaksi sosial dalam masyarakat.

Simak artikel lanjutannya: Apakah Bahasa Jawa DIskriminatif?

Penulis adalah wartawan Kabarhandayani dan juga menjadi tenaga pendidik di SMA 1 Tanjungsari. (sumber foto ilustrasi: anggernggabrul.blogspot.com).

iklan golkar idul fitri 2024
Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar