Karawitan

oleh -
oleh
iklan dprd

Festival karawitan yang rutin dilaksanakan di Gunungkidul didanai oleh penganggaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gunungkidul berkolaborasi dengan Dinas Kebudayaan Propinsi DIY tiap dua tahun sekali; bergantian pelaksanaannya putra berseling putri di tiap tahunnya. Kegiatan festival karawitan di Gunungkidul telah terekam sejak tahun 70-an. Bahkan, dulu ada lomba karawitan antar siswa SD, SMP, SMA, dan antar guru SD; bagian dari kegiatan rutin Pekan Olahraga dan Seni (Porseni). Keberlangsungan kegiatan semacam ini tak lepas dari peran para seniman karawitan (pengrawit) yang telah mengabdi untuk kemajuan seni karawitan di Gunungkidul. Bahkan, di antara para seniman itu telah mendapat penghargaan sebagai ‘abdi’ budaya dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, misalnya: Mujono Hendrotanoyo (Madusari), Darmosuwito (Selang), dan Suripto (Wareng), serta  penghargaan dari Pemerintah Propinsi DIY, misalnya: Dian Sugiyono (pegawai Depag) dan Sadipan (Karangmojo). Selain peran para pengrawit yang mumpuni, tentu dunia karawitan Gunungkidul juga didukung keberadaannya oleh para sindhen yang kesohor, seperti: Surniyati (Tanjungsari), Sutirah (Tepus), Sutarmi (Semanu), Sri Budiarti (Bejiharjo), Susmiyati (Kajar), Kasini (Tepus), Krisnawati (Gedhangsari), Tukilah (Girisuba), Sukilah (Tepus), Ambarwati (Karangmojo), dan lain-lain. Selain melalui festival, ketahanan kehidupan seni karawitan di Gunungkidul diperkuat dengan semakin bertambahnya putra-putra Gunungkidul yang ngangsu kawruh ilmu karawitan di Sekolah Menengah jurusan Karawitan dan Institut Seni jurusan Karawitan, misalnya: Purnawan (Semanu), Roni (Wonosari), dan Muchlas Hidayat (Karangmojo), yang mengusung karawitan Gunungkidul di ajang festival antar kabupaten/kota se-DIY. Pembinaan seni karawitan pun masuk ke lingkungan formal. Paguyuban sepel (nabuh-gamelan) di desa-desa di Gunungkidul rerata masih banyak dijumpai. Jika 144 desa di Gunungkidul diasumsikan paling sedikit memiliki satu paguyuban karawitan, maka minimal di Gunungkidul terdapat 144 paguyuban seni karawitan. Semangat ikut-serta di ajang festival lah yang menyebabkan para anggota paguyuban karawitan berlatih keras untuk melantunkan gendhing-gendhing dengan tingkat kerumitan tinggi.

Merujuk keterangan seorang tokoh karawitan Gunungkidul, Ki Sadipan, gendhing-gendhing karawitan yang biasanya dialunkan oleh paguyuban-paguyuban karawitan di Gunungkidul itu memang terpengaruh oleh dua gaya seni karawitan yang berkembang, yaitu gaya Ngayogyan-soran (instrumentalia) yang didominasi instrumen saron, bonang, kethuk, kenong, kempul, gong, dan gaya Surakartan-lirihan/alusan yang didominasi instrumen gender, gambang, rebab, siter, dan vokal, berdasarkan kedekatan ruang geografi masing-masing wilayah. Paguyuban karawitan di wilayah-wilayah seperti Ngawen, Semin, Nglipar, Gedhangsari, Ponjong, dan Rongkop lebih cenderung menggunakan seni karawitan gaya Surakartan dibanding Ngayogyan.

Gendhing-gendhing yang dijadikan sebagai gendhing pilihan-bebas dalam festival biasanya dipilih yang alusan atau lirihan; dimaksudkan agar bisa menggambarkan rasa-mendalam gendhing karawitan yang lembut, yang lungid. Meskipun sebenarnya instrumen gamelan soran (instrumental) juga mendukung kelembutan rasa sebuah pertunjukan karawitan, bergantung teknik garapnya. Beberapa gendhing yang dipilih di antaranya: 1) Ladrang Pariwisata munggah Ketawang Sinom Wenikenya mlebet Playon kaseling Rambangan Pangkur, 2) Ladrang Nuswantara munggah Ketawang Mijil Wedharing Tyas mlebet Playon kaseling Rambangan Dhandhanggula Pelog Pathet Nem, 3) Ladrang Gonjing Miring minggah Ketawang Pawukir mlebet Playon kaseling Rambangan Kinanthi Laras Slendro Pathet Manyura, dan 4) Ladrang Eling-eling munggah Ketawang Sinom Parijatha mlebet Playon Durma kaseling Rambangan Sekar Durma Laras Pelog Pathet Barang.

Dan konsep munggah/minggah (dalam hal ini naik ke ketawang), merupakan fase yang harus ditapaki dalam perubahan irama di gendhing karawitan. Urutan wirama dalam gendhing karawitan, misalnya ladrang, biasanya dimulai dari yang bersifat lancar, cepat, atau gegas dulu (lancaran), baru dinaikkan ke yang lambat (wirama-siji), dinaikkan ke wirama-loro yang lambat lagi (biasanya ketawang). Setelah itu wirama naik (munggah atau minggah) ke wirama-telu yang lebih lambat lagi, lantas munggah atau minggah ke wirama-papat yang sangat sangat lambat lagi. Munggah atau minggah (meninggi) sama dengan gerak mlebet: masuk jauh ke kedalaman. Gambaran gerak wirama karawitan yang meninggi ini pada dasarnya merupakan gambaran gerak masuk ke kelembutan, ketajaman-rasa, atau spiritualitas manusia. Rasa ingin meninggi ke awang-awang. Seperti menghirup harum bunga: sekaring-bawana. Puspa yang harumnya semerbak hingga ke langit. Bagaimana nalarnya? Dunia-yang-dilipat (meminjam istilah dalam semiotika) itu serba cepat gerak iramanya. (Barangkali ini juga berlaku di dunia multi-dimensi). Irama di dalam dunia-terlipat, yang cepat geraknya, berpindah menuju dunia yang diluaskan semesta nadanya dan dalam waktu bersamaan dilambatkan iramanya. Tambah lambat. Sampai pada sangat lambat gerak iramanya. Perlambatan menghasilkan kondisi dunia-berhenti (seperti kondisi ragawiah: sembah-hyang, shalat, meditasi, samadi, dst.), namun secara batiniah atau ruhaniyah meninggi. Setelah ulihan, dunia bergerak cepat kembali. Ini lah gerak siklik dalam karawitan: sakulihan, sakkenongan, sakgongan.

iklan golkar idul fitri 2024

Gendhing karawitan adalah gerak siklus kehidupan: laku atau lampah untuk kembali, mulih ke asalnya. Memang, yang ditembangkan dalam karawitan adalah tembang-gedhe, tembang-tengahan, dan tembang-alit yang menggunakan pola-lampah, atau guru yang telah dicontohkan polanya secara berulang-ulang sejak purwa (arketip). Lampah adalah pola pengucapan sebuah tembang (nembang, melagukan) berdasar jumlah wanda atau suku kata dalam satu baris. Cara melagukannya dengan medhot, membuat jeda (pedhotan), dengan penulisan notasi tiap empat angka, untuk suatu saat kembali kepada purwa siklusnya. Fenomena tubuhnya berlipat-lipat, berpangkat-dua, bertiwikrama, yaitu: empat, kemudian delapan, enambelas, yang terakhir tigapuluh dua.

Laku empat, berlipat, kemudian dilanjutkan laku memusat: menyatu atau satu.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar