
WONOSARI, (KH),– Ada banyak orang berpendapat, Gunungkidul itu nggak mungkin terlanda banjir. “Ora masuk akal kui! Yen Gunungkidul wae kebanjiran, mengko teneh kutha Ngayogyakarta iso klelep“. Demikian ujaran yang sering terdengar di berbagai obrolan. Ada lagi obrolan yang demikian, “Gunungkidul itu Jogja lantai dua. Tempatnya lebih tinggi, gak mungkin ada banjir!”
Apa iya, wilayah Gunungkidul karena wilayahnya berbukit-bukit, dan elevasinya lebih tinggi lantas tidak mungkin dilanda banjir? Boleh-boleh saja berpendapat demikian, dan tidak ada yang bakal melarang argumentasi diyakini sampai mati. Dalam beberapa tahun terakhir, sudah tampak tanda-tanda semakin sering terjadi genangan air hujan yang melimpas keluar tak tertampung di badan sungai. Airnya melimpas menggenangi permukiman rendah di bantaran sungai. Air hujan juga tak seperti jaman dulu lagi yang cepat beringsut dari permukaan tanah, entah di pekarangan, di lapangan, atau di jalan raya.
Sebenarnya ada apa dengan gejala banjir ini? Apa iya saat ini air hujan yang membasahi bumi lebih tinggi intensitasnya? Apakah doa-doa permohonan dalam setiap upacara bersih kali atau merti dusun/desa sudah tidak mujarab dan tidak diijabahi Sang Pencipta lagi? Sebenarnya, adakah faktor-faktor lain yang menjadi penyebab banjir karena ketelodoran manusia? Semenisasi, betonisasi, aspalisasi yang tak menghiraukan aspek-aspek keseimbangan alam kah?
Bagi orang-orang yang tinggal di wilayah pegunungan karst ini semenjak dulu kala, air sesungguhnya menjadi sesuatu yang sangat sangat dihargai. Air adalah sumber kehidupan. Sungai permukaan tanah yang terbesar dan terpanjang di Gunungkidul dinamai Sungai Oya, berasal dari Toya, berarti air itu sendiri.
Air menjadi media pencuci dan pembersih untuk aneka hal, mulai bahan pangan, pakaian, hewan ternak, maupun badan manusia sendiri. Air menjadi “barang suci”, dalam tradisi keagamaan manapun, ada unsur air sebagai pen-suci diri. Air untuk wudhu, air untuk baptisan, air pensuci raga dan pikiran yang ditaburkan para brahmana atau pandita sewaktu upacara.
Lantas, apakah air hujan yang bertransformasi menjadi banjir yang terkadang memporakporandakan rumah, jembatan, jalan, dan aneka bangunan itu sesungguhnya juga menjadi “pencuci” atau “pembersih” aneka kedurhakaan pikiran, perkataan dan perbuatan manusia? Ini menjadi bagian para pemuka agama, penghayat ketuhanan, dan ahli filsafat untuk mengungkapkannya.
Jelas, secara ilmu pengetahuan, unsur air di manapun senantiasa sama. H20, ada unsur hidrogren dan oksigen. Unsur-unsur yang sangat menunjang kehidupan manusia. Air dalam bentuk butiran hujan, limpasan banjir di sungai, air tersimpan di gentong, air di bak penampungan, air genangan di halaman rumah atau jalan raya, semua tetap mengandung unsur yang sama. Yang berbeda adalah, adanya senyawa atau material yang ikut terbawa dari mana dan ke mana air itu mengalir. Sesungguhnya, dari manakah air itu berasal? Mari, kembali membuka kembali pelajaran dasar, dengan apa yang disebut sebagai Siklus Hidrologi.
Ketersediaan air di daratan bumi dapat tetap terjaga karena adanya hujan. Hujan dapat tercipta karena adanya suatu mekanisme alam yang berlangsung secara siklus dan terus menerus. Dalam pengaturan penyebaran air di daratan bumi, mekanisme alam yang dimaksud tersebut dikenal dengan istilah siklus hidrologi atau siklus air.
Pengertian Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi adalah suatu siklus atau sirkulasi air dari bumi ke atmosfer dan kembali lagi ke bumi yang berlangsung secara terus menerus. Siklus hidrologi memegang peran penting bagi kelangsungan hidup organisme bumi. Melalui siklus ini, ketersediaan air di daratan bumi dapat tetap terjaga, mengingat teraturnya suhu lingkungan, cuaca, hujan, dan keseimbangan ekosistem bumi dapat tercipta karena proses siklus hidrologi ini. Gambar berikut menjelaskan siklus hidrologi. Disebut siklus adalah karena proses berupa mata-rantai kejadian yang berulang dan terus-menerus terjadi.

Proses Terjadinya Siklus Hidrologi
Dalam siklus hidrologi, air melalui beberapa tahapan seperti dijelaskan gambar di atas. Tahapan proses terjadinya siklus hidrologi tersebut antara lain evaporasi, transpirasi, evapotranspirasi, sublimasi, kondensasi, adveksi, presipitasi, run off, dan infiltrasi. Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing tahapan siklus tersebut.
- Evaporasi
Siklus hidrologi diawali oleh terjadinya penguapan air yang ada di permukaan bumi. Air-air yang tertampung di badan air seperti danau, sungai, laut, sawah, bendungan atau waduk berubah menjadi uap air karena adanya panas matahari. Penguapan serupa juga terjadi pada air yang terdapat di permukaan tanah. Penguapan semacam ini disebut dengan istilah evaporasi.
Evaporasi mengubah air berwujud cair menjadi air yang berwujud gas sehingga memungkinkan ia untuk naik ke atas atmosfer bumi. Semakin tinggi panas matahari (misalnya saat musim kemarau), jumlah air yang menjadi uap air dan naik ke atmosfer bumi juga akan semakin besar.
- Transpirasi
Penguapan air di permukaan bumi bukan hanya terjadi di badan air dan tanah. Penguapan air juga dapat berlangsung di jaringan mahluk hidup, seperti hewan dan tumbuhan. Penguapan semacam ini dikenal dengan istilah transpirasi.
Sama seperti evaporasi, transpirasi juga mengubah air yang berwujud cair dalam jaringan mahluk hidup menjadi uap air dan membawanya naik ke atas menuju atmosfer. Akan tetapi, jumlah air yang menjadi uap melalui proses transpirasi umumnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah uap air yang dihasilkan melalui proses evaporasi.
- Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah penguapan air keseluruhan yang terjadi di seluruh permukaan bumi, baik yang terjadi pada badan air dan tanah, maupun pada jaringan mahluk hidup. Evapotranspirasi merupakan gabungan antara evaporasi dan transpirasi. Dalam siklus hidrologi, laju evapotranspirasi ini sangat mempengaruhi jumlah uap air yang terangkut ke atas permukaan atmosfer.
- Sublimasi
Selain lewat penguapan, baik itu melalui proses evaporasi, transpirasi, maupun evapotranspirasi, naiknya uap air dari permukaan bumi ke atas atmosfer bumi juga dipengaruhi oleh proses sublimasi.
Sublimasi adalah proses perubahan es di kutub atau di puncak gunung menjadi uap air tanpa melalui fase cair terlebih dahulu. Meski sedikit, sublimasi juga tetap berkontribusi terhadap jumlah uap air yang terangkut ke atas atmosfer bumi melalui siklus hidrologi panjang. Akan tetapi, dibanding melalui proses penguapan, proses sublimasi dikatakan berjalan sangat lambat.
- Kondensasi
Ketika uap air yang dihasilkan melalui proses evaporasi, transpirasi, evapotranspirasi, dan proses sublimasi naik hingga mencapai suatu titik ketinggian tertentu, uap air tersebut akan berubah menjadi partikel-partikel es berukuran sangat kecil melalui proses kondensasi. Perubahan wujud uap air menjadi es tersebut terjadi karena pengaruh suhu udara yang sangat rendah di titik ketinggian tersebut.
Partikel-partikel es yang terbentuk akan saling mendekati dan bersatu satu sama lain sehingga membentuk awan. Semakin banyak partikel es yang bergabung, awan yang terbentuk juga akan semakin tebal dan hitam.
- Adveksi
Awan yang terbentuk dari proses kondensasi selanjutnya akan mengalami adveksi. Adveksi adalah proses perpindahan awan dari satu titik ke titik lain dalam satu horizontal akibat arus angin atau perbedaan tekanan udara. Adveksi memungkinkan awan akan menyebar dan berpindah dari atmosfer lautan menuju atmosfer daratan. Perlu diketahui bahwa, tahapan adveksi tidak terjadi pada siklus hidrologi pendek.
- Presipitasi
Awan yang mengalami adveksi selanjutnya akan mengalami proses presipitasi. Proses prepitasi adalah proses mencairnya awan akibat pengaruh suhu udara yang tinggi. Pada proses inilah hujan terjadi. Butiran-butiran air jatuh dan membasahi permukaan bumi.
Apabila suhu udara di sekitar awan terlalu rendah hingga berkisar < 0 derajat Celcius, presipitasi memungkinkan terjadinya hujan salju. Awan yang mengandung banyak air akan turun ke litosfer dalam bentuk butiran salju tipis seperti yang dapat kita temui di daerah beriklim sub tropis.
- Run Off
Setelah presipitasi terjadi sehingga air hujan jatuh ke permukaan bumi, proses run off pun terjadi. Run off atau limpasan adalah suatu proses pergerakan air dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah di permukaan bumi. Pergerakan air tersebut misalnya terjadi melalui saluran-saluran seperti saluran got, sungai, danau, muara, laut, hingga samudra. Dalam proses ini, air yang telah melalui siklus hidrologi akan kembali menuju lapisan hidrosfer.
Nah, di bagian run-off (terjemahan bebasnya: air yang berlarian bebas di permukaan tanah) inilah aspek genangan permukaan tanah yang menjadi banjir itu terjadi. Ketika lapisan tanah telah jenuh air, maka aliran air di permukaan tanah menjadi genangan. Genangan akan menjadi semakin besar manakala alirannya tidak mampu lagi tertampung mulai dari selokan atau got sekitar rumah, selokan di pinggir jalan, saluran anak sungai, sampai dengan badan sungai-sungai besar.
Ketika permukaan tanah hampir sebagian besar diperkeras entah dengan plesteran semen, diubin, diaspal, dicor beton, sampai dengan tutupan lahan dengan permukiman yang padat, maka hal ini juga menjadi penyebab run-off ini menjadi semakin besar. Mengapa? Karena sulitnya air hujan masuk meresap dalam pori-pori tanah karena tertutupnya permukaan dengan semen, ubin, aspal cor beton, termasuk atap-atap rumah.
Sesungguhnya sudah ada contoh nyata, bagaimana para warga kuno terdahulu itu bijak menabung run-off atau air yang mengalir bebas di permukaan tanah. Dengan cara bagaimana? Dengan membuat ledokan-ledokan memanjang pada lahan pertanian tadah hujan. Dengan membuat blumbang atau kolam di pekarangan rumah. Dengan membuat bak tandon air dari aliran teritisan rumah, dengan pemanfaatan telaga-telaga besar yang tersebar di penjuru Gunungkidul sebagai tandon air yang dimanfaatkan secara komunal. Upaya ini sesungguhnya merupakan praktek riil manajemen sumber daya air masyarakat yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Sayangnya, kemajuan jaman dan gengsi modernitas membuat pemanfaatan sumber daya air melalui telaga di wilayah Gunungkidul dicap sebagai sebuah tanda “ke-ndeso-an”, tanda “ketertinggalan” atau bahkan tanda “kebodohan”. Kalau belum muter kran PDAM di rumah itu dianggap belum berkemajuan. Warga dibuat lingsem atau malu ketika diolok-olok ndesit banget karena masih mandi di telaga, masak air dari telaga.
Fenomena yang nge-trend saat ini adalah pembangunan embung-embung di puncak-puncak bukit. Apa beda kolam tampungan air bikinan bikinan jaman modern ini dengan ratusan telaga-telaga alamiah yang tersebar di wilayah Gunungkidul? Barangkali kelebihan telaga-telaga modern di puncak-puncak bukit tadi adalah pada gebyar pariwisatanya yang konon indah untuk potret-memotret, sementara dilihat dari fungsi dasarnya sebagai kolam tampungan air hujan belum optimal pemanfaatannya.
- Infiltrasi
Tidak semua air hujan yang terbentuk setelah proses presipitasi akan mengalir di permukaan bumi melalui proses run off. Sebagian kecil di antaranya akan bergerak ke dalam pori-pori tanah, merembes, dan terakumulasi menjadi air tanah. Proses pergerakan air ke dalam pori tanah ini disebut proses infiltrasi. Proses infiltrasi akan secara lambat membawa air tanah kembali ke laut.
Nah, setelah melalui proses run off dan infiltrasi, air yang telah mengalami siklus hidrologi tersebut akan kembali berkumpul di lautan. Air tersebut secara berangsur-angsur akan kembali mengalami siklus hidrologi selanjutnya dengan di awali oleh proses evaporasi.
Aneka Macam Siklus Hidrologi
Berdasarkan panjang pendeknya proses yang di alaminya siklus hidrologi dapat dibedakan menjadi 3 macam. Macam macam siklus hidrologi tersebut yaitu siklus hidrologi pendek, siklus hidrologi sedang, dan siklus hidrologi panjang.
- Siklus Hidrologi Pendek
Siklus hidrologi pendek adalah siklus hidrologi yang tidak melalui proses adveksi. Uap air yang terbentuk melalui siklus ini akan diturunkan melalui hujan di daerah sekitar laut. Berikut penjelasan singkat dari siklus hidrologi pendek ini:
- Air laut mengalami proses evaporasi dan berubah menjadi uap air akibat adanya panas matahari.
- Uap air akan mengalami kondensasi dan membentuk awan.
- Awan yang terbentuk akan menjadi hujan di permukaan laut.
2. Siklus Hidrologi Sedang
Siklus hidrologi sedang adalah siklus hidrologi yang umum terjadi di Indonesia. Siklus hidrologi ini menghasilkan hujan di daratan karena proses adveksi membawa awan yang terbentuk ke atas daratan. Berikut penjelasan singkat dari siklus hidrologi sedang ini:
- Air laut mengalami proses evaporasi dan berubah menjadi uap air akibat adanya panas matahari.
- Uap air mengalami adveksi karena angin sehingga bergerak menuju daratan.
- Di atmosfer daratan, uap air membentuk awan dan berubah menjadi hujan.
- Air hujan di permukaan daratan akan mengalami run off menuju sungai dan kembali ke laut.
3. Siklus Hidrologi Panjang
Siklus hidrologi panjang adalah siklus hidrologi yang umumnya terjadi di daerah beriklim subtropis atau daerah pegunungan. Dalam siklus hidrologi ini, awan tidak langsung diubah menjadi air, melainkan terlebih dahulu turun sebagai salju dan membentuk gletser. Berikut penjelasan singkat dari siklus hidrologi panjang ini:
- Air laut mengalami proses evaporasi dan berubah menjadi uap air akibat adanya panas matahari.
- Uap air yang terbentuk kemudian mengalami sublimasi
- Awan yang mengandung kristal es kemudian terbentuk.
- Awan mengalami proses adveksi dan bergerak ke daratan
- Awan mengalami presipitasi dan turun sebagai salju.
- Salju terakumulasi menjadi gletser.
- Gletser mencair karena pengaruh suhu udara dan membentuk aliran sungai.
- Air yang berasal dari gletser mengalir di sungai untuk menuju laut kembali.
Itulah penjelasan penting tentang siklus hidrologi, proses dan tahapan, serta macam-macamnya. Air terus menjalani “rantai kehidupannya” secara alamiah. Air terus menjalani siklusnya, ia sesunggunya terus menjalani daur hidupnya, tak peduli apakah baik atau jahat perlakuan mausia yang dilakukan terhadap air itu sendiri. Karena itu, adanya gejala banjir atau bencana banjir yang telah melanda, sesungguhnya menjadi pertanda agar manusia menelisik diri apa saja yang sudah dilakukan terhadap alam lingkungan tempat tinggalnya. Merawatkah? Atau justru secara rakus dan tamak memperkosa alam lingkungannya?
—-
Penulis: S Yanto.
Referensi lanjut: http://ebiologi.com