“Dhuh-dhuh Bathara kang Maha Luhung . . . ”
Komunitas manusia, di mana pun, dalam payung kulawangsa atau kulawarga, yaitu seorang ‘kula‘ sebagai bagian tunggal-mendua dari sebuah ‘wangsa‘ (kumpulan wwang) atau seorang ‘kula‘ sebagai bagian otonom-universal dari kumpulan ‘warga’, memiliki semangat bekerja sama untuk merampungkan suatu pekerjaan dalam perjalanan hidupnya.
Motif primordial kulawangsa manusia, salah satunya, adalah ‘bersama dengan yang lain’. Untuk bergerak, berjalan, bekerja. Hidup bersama. Bantu-membantu. ‘Nyawiji‘ (bersatu). Hal ini karena, mungkin, ketidakberdayaan akal manusia untuk benar-benar bisa memahami, memrediksi, serta mengendalikan gerak alam. Alam terkadang bergerak dalam keteraturan yang terjangkau oleh nalar serta kebijaksanaan kulawangsa manusia. Kadang tidak: kaotik. Kulawangsa manusia kewalahan. Apalagi jika Sang Kula sendiri. Berkumpul, berkelompok, bersatu, menjadi laku utama. Sehingga sejak waktu purwa kulawangsa manusia ‘dipaksa’ untuk bantu-membantu. Orang Jawa menamainya “sambatan“. Manusia “sambat-sinambatan“: saling mengaduh di dalam hubungan kekulawangsaan. Dimulai dari sebuah ‘pasambat‘ (aduhan):
“Adhuh!”
Dalam cerita-cerita kuno, Ramayana misalnya, Wangsa Rama sambat (mengaduh) kepada para wangsa Wanara agar dibantu untuk mencari dan memulangkan Dewi Shinta dari Alengka. Sugriwa, untuk memeroleh legalitas kekuasaan di Kiskendha sekaligus ‘kawin’ dengan seorang putri (Tara), sebaliknya, juga ‘sambat‘ kepada Rama agar diberi bantuan. Untuk sampai ke Alengka pun, yang menyeberangi lautan, Rama meminta bantuan wangsa Wanara dan Dewa Penguasa Lautan. Di Mahabharata Suyudana meminta bantuan kepada Karna. Pandhawa kepada Kresna.
Diceritakan pula para ksatria yang sambat kepada para abdi (‘panakawan‘; dapat pula ‘panakawan‘ ini ditafsirkan “kawan yang telah paham tentang suatu ilmu”) agar mendapat pencerahan tentang suatu permasalahannya, dan kepada para Dewa agar mendapatkan petunjuk bagaimana persyaratan itu dan cara mendapatkannya. Artinya, panakawan dan dewa (konsep teologi) adalah pihak (baca: wangsa) yang dianggap lebih ‘paham’ terhadap suatu permasalahan kehidupan kulawangsa manusia. Mereka adalah tempat ‘pasambat‘ tertuju. Tempat pertolongan; bantuan; sumbangan.
Mengaduh adalah gambaran ketakberdayaan manusia (agama) di hadapan Tuhan, Gusti, Pangeran, atau Dewa Tertinggi. Sang Kula dengan Gusti. Ada hal-hal yang berhubungan dengan kekuatan dan kekuasaan manusia yang tak cukup digunakan manusia untuk merampungkan sesuatu. Suatu kerja. Kekuatan dan kekuasaannya serba terbatas. Kesadaran tentang keterbatasan manusia (kula) diungkapkan lewat bahasa emosinya: tangisan. Aduhan. Tangisan (aduhan) yang mengabarkan kebutuhan akan kehadiran seorang teman. “Sambat” pada teman di dalam relasinya dengan Gusti. Sang Kula yang merasa bahwa dirinya adalah terbatas, sendiri, sepi, ‘sambat’ (mengaduh, meminta pertolongan) pada Sang Kula lain; dalam suatu kekerabatan kulawarga atau kulawangsa.
Horisontal dalam vertikalitas; teritorial yang selestial; kebumian yang kelangitan.
Demang Wanap(r)awira nyambat kakaknya, Nyi Niti, untuk melobi Nyi Gadhung Mlathi. Gelar sosial Nyi Niti adalah ‘perewangan‘; manusia yang hidupnya sering berperan sebagai yang ‘ngrewangi’ atau ‘ngrowangi’, yang memberi bantuan. Setelah kesepakatan terjadi, rakyat Piyaman, Siraman, Semanu, dan para lelembut/dhanyang/jin lantas ‘sambatan‘ (bekerja-bersama; seperti halnya Sulaiman dengan para jin) membuka hutan; menegakkan bangunan ‘omah‘ kulawangsa manusia yang akhirnya disebut Desa/Kota Wanasari.
Relasi antara kulawangsa manusia (Piyaman, Siraman, Semanu), komunitas ‘lelembut‘ hutan (mewakili kekasaran dan kelembutan alam), dan realitas ketuhanan bermula dari titik dimana kulawangsa manusia ‘sambat‘ tentang bagaimana melanjutkan dan menegakkan eksistensinya (ke-ADA-annya). Manusia sambat kepada ‘wana‘ (hutan) atas ‘petunjuk‘ Langit. Akhirnya terjadi pembangunan rumah-rumah; setelah berkembang menjelma dusun, desa, pasar, juga kota. Sambatan merupakan gerak ‘mancer‘: memusat. Setelah sebelumnya para kula sebagai bagian (terikat lembut) sebuah kulawangsa ‘mencar‘: menyebar.
Sambat, dalam bentuk pasambat seorang kula yang memencar dari kulawangsanya, dengan demikian, mengulang hasrat-purwa, menumbuhkan adat sambatan. Sebagai gerak mendekat. Mengerabat.
Kekerabatan, atau ‘paseduluran‘, bagi orang desa, atau tradisional, tak hanya terdiri kulawangsa yang satu darah, namun juga tetangga, teman, yang telah dianggap “sadulur“: satu darah. Awalnya memang ‘sadulur‘. Kedekatan ikatan dalam lingkaran “omah-omah” juga dipengaruhi oleh kedekatan rumah tempat tinggal mereka dalam ikatan dusun, desa, atau kampung. Anggota kulawangsa yang berdekatan secara darah, batin, juga bangunan rumahnya, bisa saling “sambat” akan keterbatasan masing-masing. Demikian sebaliknya jika yang lain memerlukan bantuan. Kemudian saling sambat, saling menyambat, saling disambati.
Namun demikian, anggota kulawangsa yang sambat, yang mengaduh, memiliki ukuran tertentu tentang bobot keaduhannya, sehingga tidak ‘digeguyu‘ (ditertawai) oleh sanak-saodaranya karena sedikit-sedikit, untuk ukuran yang lain, aduhan itu belum saatnya. Masih mampu ‘disangga‘ oleh sebuah rumah (satu keluarga). ‘Ewuh‘ (punya hajat tertentu yang dipestakan) sampai batas tertentu bisa dilaksanakan dengan sambatan; terutama oleh yang dikategorikan kulawangsa-dekat. Ukuran seberapa luas anggota kulawangsa yang ikut sambatan biasanya berbanding lurus dengan sebera besar, repot, berat, skala, acara ‘ewuh‘ yang dilaksanakannya. Tentu, skala ‘ewuh‘ yang lebih besar membutuhkan sambatan oleh para anggota kulawangsa yang lebih besar pula. Anggota kulawangsa memberikan sumbangan (bantuan) apa saja: tenaga, uang, perkakas acara, bahan mentah, dsb. Mereka berkorban. Mereka ‘nyumbang‘ sebagai bentuk pengorbanan kepada sanak-saodara. Seperti halnya Si Kula, yaitu yang punya hajat, penyambat, yang mengorbankan apa yang miliki untuk menjamu sanak-saodara yang memberikan bantuan (tersambat).
Di tataran mitologis, ‘sambatan ngedegake omah‘ (bekerja bersama-sama mendirikan rumah) atau ‘ndhudhah omah‘ (membongkar rumah, kemudian membangunnya) adalah hasrat purwa kulawangsa manusia dalam rangka ‘omah-omah‘ (berumah-berkeluarga-bertetangga). Menegakkan sebuah arca atau reca (wali, tajalli, pengganti-material) dari Sang Diri, Si Aku, atau Sang Dalem dalam bentuk ‘omah‘.
Rumah tak lain adalah meru: gunung-diri. Giri. Giria: semoga (diharapkan, divisikan) menjadi meru (giri) yang sesungguhnya. Maka, ‘omah‘ (rumah) juga disebut ‘griya‘ (gunung-diri) dan ‘dalem‘ atau ‘adalem‘ (kata ganti paling hormat di tingkat tutur bahasa Jawa terhadap Sang Kula). Sang Kula atau Kawula adalah ‘abdi‘ atau ‘abdi-dalem‘ dalam relasinya dengan Gusti (Tuhan, atau konsep ketuhanan lain). ‘Omah‘ (rumah) adalah wali bagi si ‘abdi-dalem‘, ‘adalem‘, ‘dalem‘: Sang Diri atau Sang Kula.
Sambatan mendirikan rumah, dengan demikian, merupakan motif purwa untuk menegakkan kehidupan Sang Kula dalam naungan kulawangsa (ikatan-bersama) sebagai perlambangan gunung yang menjulang ke langit. Sambatan ‘ndhudhah omah‘ seumpama nalar Siwa yang merusak atau mendekonstruksi sebuah bangunan rumah lantas menegakkan dan membangunnya kembali menjadi lebih indah. Omah Sang Kula atau Kulawangsa itu, yang sederhana atau yang kompleks, hendak meraih Langit.
Para Wangsa di berbagai kebudayaan di dunia pun menunjukkan ke-kula-annya (kediriannya), dalam hubungannya dengan apa-apa yang oleh masing-masing kebudayaan dikonsepsikan sebagai bentuk atau nilai ketuhanan dan realitas akhir segala hal, dengan mendirikan-menjulangkan ‘omah-omah‘ manusia melalui aksi sambatan; sebagai wali kebersamaan, keagungan, kesatuan, dan kebesaran wangsanya. Baik dalam bentuk struktur kecil atau megastruktur. Mega struktur membutuhkan jumlah tersambat dalam skala mega. Bangunan-bangunan besar merupakan wakil kebesaran suatu wangsa. Para pemimpin suatu wangsa membutuhkan bantuan rakyatnya, demikian sebaliknya. Ada para-syarat, syarat-kuno, bahwa hubungan antara penyambat dan yang disambati bersifat mutual: saling membutuhkan.
Sambatan membutuhkan pengorbanan melalui ritus pengorbanan. Ritus pengorbanan setua keberadaan kulawangsa manusia. Adam dan Hawa yang ‘dipaksa’ mengembara (hijrah) di luasan bumi adalah bentuk pengorbanan. Trah Raksasa Alengka yang harus mati juga pengorbanan. Wangsa Wanara yang kocar-kacir demi ‘kemuliaan’ Rama. Keluarga Bharata yang harus saling bunuh. Arjuna yang harus meniadakan Karna. Suyudana yang harus mengorbankan harta dan jiwanya demi keluhuran Astina (Negeri Gajah; Liman Benawi). Gadhung Mlathi yang harus menepi demi Wanasari.
Untuk sambatan di konteks jaman kekinian adalah ‘ngingoni‘ (memberi makan) dan ‘medangi‘ (memberi minuman) atau ‘ngrokoki‘ (memberi rokok bagi yang merokok). Itu merupakan bentuk pengorbanan bagi pihak yang ‘nyambat‘ (minta pertolongan/bantuan).
Di dunia tarub pun, jika ada kulawangsa yang memiliki hajat (pembangunan, acara, upacara, dll.) maka akan menyediakan sejenis pengorbanan ditujukan kepada anggota kulawangsa lain karena telah sambat kepada para kawannya. Kepada sanak-saodaranya. Jika hendak nanggap seni pertunjukan (campursarian, wayangan, cokekan, reyogan, dll.), atau pentas dalam suatu acara, atau meminta bantuan untuk sebagai peraga, teknisi, dan sebagainya dalam suatu acara namun minim biaya, maka Si Omah (Si Kula yang punya hajat) akan sambat, ‘ngresaya‘, ‘minta-sraya‘ sanak-saodara dan kawannya itu untuk berkenan membatunya. Seringkali seorang seniman melakukan aksi seni di tempat penyambat tanpa bayaran, alias sambatan. Minimal Si Seniman diberi makan-minum konsumsi. Di dunia tarub istilah sambatan beroposisi dengan “peye” atau “payon“, yaitu ketika para pelaku seni setelah selesai melaksanakan kerja diberi honorarium atas jerih-payahnya. Begitu halnya yang berlaku bagi para pelaku sambatan di bidang lain seperti sastra, seni rupa, teknik, dan lain sebagainya. Sumbangan, bantuan, yang telah diberikan oleh anggota kulawangsa yang disambati merupakan pengorbanan. Hal ini dilakukan dengan ‘lila-legawa‘ karena memang yang ‘ngresaya‘ atau ‘minta-sraya‘ dianggap sebagai (bagian dari) diri sang pesambat sendiri.
Maka istilah lain ‘sambatan‘ adalah ‘resayan‘. ‘Ngresaya‘ itu meminta pertolongan; tanpa menjajikan sesuatu diberikan. Kepada yang dianggap ‘batih‘: tempat sambat kala perih. Kepada ‘sanak-saodara‘. ‘Sanak‘ adalah satu anak; ‘saodara‘ adalah satu perut (kandungan). Mereka semua keluarga besar para anak yang asalnya satu perut. Atau dianggap demikian (karena kekerabatannya sudah agak jauh; telah berlangsung lama; digantikan ikatan kedekatan dalam cakupan kewilayahan RT, RW, atau dusun; namun bagi para anak yang benar-benar berhubungan dengan istilah satu perut ibu, atau keluarga dekat). Kulawangsa satu-perut lebih memiliki kewajiban untuk ikut sambatan bahkan menanggung beberapa hal kebutuhan acara sambatan. Tak ada yang harus dibayarkan kepada yang dimintai pertolongan karena mereka adalah bagian dari diri Si Kula. Si (yang punya) Omah itu. Memberi pertolongan tak mengharapkan imbalan. ‘Resiko’nya paling-paling kelak, pada suatu waktu yang lain, ketika yang ‘diresaya‘ memiliki hajat ‘resayan‘ ya dibantu oleh yang lain. Membantu dalam ‘sambatan‘ atau ‘resayan‘ biasanya miskin pamrih.
Hal ini berhubungan dengan sikap hidup orang tradisional (kuno) yang mengedepankan ‘unggah-ungguh‘ (sopan-santun) dalam tata aturan tatakrama pergaulan besar, antara para kula di dalam wangsa, antar wangsa, juga antara kula atau wangsa dengan alam lingkungannya. Menghormati kula yang lain, wangsa yang lain, dan alam (ciptaan tempat manusia ada) tanpa tujuan tertentu; terlebih yang menguntungkan secara pribadi. Begitu pula membantu. Bantu-membantu itu ‘sepi ing pamrih‘. Geraknya berupa ‘sambatan‘, gotong-royong, ‘nyawiji‘ (bersatu-berpadu), ‘saiyeg-saeka‘. Termasuk menggarap tegalan-sawah. Bebersih kali juga sumber air. Tujuannya tak lain ya keguyuban, kerukunan, yang melahirkan kesentosaan (‘agawe santosa‘). Antar kula di dalam wangsa, antar wangsa, antara kulawangsa-kulawangsa dengan alam lingkungannya.
Sambatan dilaksanakan dengan ‘gumyak‘ (gembira), penuh canda. Para pelaku tak mudah merasa lelah. Berat dipikul bersama, ringan dijinjing bersama. Bahan-bahan dalam skala besar dipindahkan dengan teknik ‘diranting‘, ‘diulungke‘, sementara yang besar digotong, dipanggul, disunggi bersama. Ada laki-laki dan perempuan di sana. Anak, remaja, juga orang tua. Secara umum, peran para wanita berhubungan dengan mempersiapkan makanan dan minuman. Yang lelaki yang bekerja merampungkan pekerjaan sambatan. Memang, pada kenyataannya ada pembagian kerja laki perempuan di sambatan.
Yang jelas, pekerjaan sambatan yang memang berat menjadi terasa ringan: “Siji, loro, telu, papat, maju mapat-mapat! Diulang-ulungake mesthi enggal rampunge. Holopis kontul baris, holopis kontul baris. Holopis kontul baris, holopis kontul baris…..“, begini Ki Nartasabda menggambarkan. Dan dengan sambatan pekerjaan berat memang cepat rampung.
Berbeda dengan pekerjaan yang diselesaikan dengan mengupah. Hal utama dalam sambatan bukan merupakan hubungan antara pemodal dengan pekerja yang dihonor. Justru honornya berupa penghormatan yang diberikan-balik oleh tersambat kepada penyambat. Sambatan menihilkan stratifikasi majikan-buruh, pengupah-terupah, dalam makna yang memiliki modal ‘memerintah’ buruh/pembantu untuk menyelesaikan suatu pekerjan dengan upah tertentu (seperti dalam pendirian sebuah rumah yang mengupah buruh/tukang). Yang bermodal tentu memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan ‘memerintah’, untuk tak mengatakan ‘minta-sraya‘ (meminta bantuan) kepada yang lain. Seseorang yang di strata sosial berpredikat guru, pejabat, piyayi, dan setaranya, dalam kegiatan ini luruh. Predikatnya menjadi sama. Yang nyambat dan yang disambati. Sambatan itu ibarat sistem koperasi di bidang ekonomi. Masing-masing anggota mendapatkan keuntungan. Dan setara.
Kini, Wangsa Gunungkidul masih dan sedang beramai-ramai sambatan: ‘memajukan‘ Gunungkidul; menegakkan bangunan kekulawangsaannya seperti yang divisikan sebagai kredo “handayani” itu. Untuk kehijauan, mendapatkan nilai tambah. Keindahan. Untuk keuntungan bersama seluruh kulawangsa Gunungkidul. Jika aksi sambatan dilakukan dengan sesungguhnya, tanpa pamrih, maka kedekatan kekerabatan antar Kula, antar Wangsa, atau antara wangsa manusia Gunungkidul dengan lingkungan alamnya dapat menjelma ‘pancer‘ (pusat), yaitu titik-pertemuan, persatuan, atau pusat gerak-kembali, sebagai buah aduhan (pasambat) Sang Kula kepada Sang Kula yang lain dalam payung kulawangsa, dimana titik ini sekaligus sebagai ruang-waktu perjumpaan dengan apa-apa yang dimaksudkan sebagai Gusti; realitas keberakhiran segala sesuatu di atas itu. Sang Adalem (manusia, rumah) dengan Gustinya (Tuhan, Langit). Melalui sambatan.
Meskipun, pada suatu waktu yang kerontang, ada beberapa anggota kulawangsa yang dengan lembut ‘sambat‘ kepada Ibu Bumi: “Dhuh, Biyung, nyuwun punparingi pepadhang, urip-urip, urub-urub, mugia boten sami dados asu rebatan balung ing siti Panjenengan“. Dan pada suatu musim yang Gunungkidul sungguh ‘thukul’ (tumbuh-ramai) manusia-manusia, seorang buruh-tani ‘sambat’: “Dhuh, Gusti, Biyungku sedang sekarat!“. (Wong Gunung)