Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada hari Sabtu 8 Agustus 2020, Kabar Handayani (KH) berkunjung ke tempat tinggal seorang teman-lama di Dusun Pringombo Kalurahan Natah Kapanewon Nglipar Kabupaten Gunungkidul. Di tengah proses perubahan adat kebiasaan masyarakat dari format “desa” ke “kelurahan”, KH bermaksud mengulik tradisi berdesa yang masih ada di wilayah teman-lama KH itu. KH ingin mencari tahu tradisi “berdesa” apa yang asli dan masih hidup di sana karena teringat penggalan kalimat dalam Undang-undang Desa: “Desa adalah institusi dan identitas masyarakat berdasar hukum tertua dan bersifat asli”. Tradisi berdesa mengacu kepada adat kebiasaan di desa yang bersifat turun-temurun dan dilakukan oleh masyarakat desa. Tradisi berdesa oleh masyarakat desa itu di antaranya: bergotong-royong, bermusyawarah, menjaga toleransi, membudidayakan tanaman pertanian khas tertentu, melaksanakan upacara adat, menerapkan unggah-ungguh dan tata krama, dan lain lain.
Beberapa tanaman buah yang ditanam di Gunung Sumilir seperti sirsak, durian, kelengkeng, dan manggis memang mengalami kematian akibat tiupan angin yang agak kencang di sana itu. Adanya water-torn (tangki-air) di Puncak Semilir berkapasitas 5000 liter, yang airnya dinaikkan vertikal sejauh 200 meter, tampak kewalahan menjaga keberlangsungan kehidupan beberapa tanaman buah di sana. Tradisi berkebun buah-buahan di Gunung Sumilir sudah dilaksanakan oleh masyarakat Pringombo beberapa tahun lalu. Mereka juga memanfaatkan lahan di sekitar Gunung Sumilir yang merupakan Sultan Ground (SG) untuk menanam tanaman pertanian dan rumput pakan ternak. Rata-rata warga Pringombo beternak hewan ternak dua sampai tiga ekor. Hewan ternak mereka sapi dan kambing. Sapi dan kembing merupakan sumber kekayaan meskipun biaya pakan untuk merawatnya lebih tinggi dibanding nilai jualnya. Ketika memiliki hajat tertentu, seperti ewuh, bahkan ketika sakit, kekayaan berupa sapi dan kambing digunakan oleh warga Pringombo untuk membiayainya.
Sementara itu tempat tinggal teman lama KH berada di sisi timur Dusun Pringombo. Tepi rumahnya jurang pula seperti tepi utara Puncak Semilir. Teman lama KH itu bernama Eko. Eko Sujatmo lengkapnya. Ada tradisi berdesa lain yang menarik perhatian KH yang muncul saat KH singgah, wedangan, serta membangun obrolan-obrolan di rumahnya. Waktu penyambutan itu Eko ditemani adiknya, yang merupakan dukuh (kepala dusun) Dusun Pringombo, Pak Ristadi.
Setelah KH disuguhi teh panas dan dhawet ganyong khas Pringombo yang sangat menyegarkan, obrolan kami bertiga mulai melebar tentang tema sambatan atau gotong-royong. Ternyata orang tua Eko bersama beberapa ibu rumah tangga lain di Pringombo memiliki tradisi membuat dhawet dari ganyong dan memasarkannya ke beberapa pasar tradisional di Nglipar dan Ngawen. Sembari KH meminum dhawet ganyong, Eko menerangkan teoritis bahwa sambatan adalah istilah bagi pekerjaan seorang warga yang pelaksanaannya dibantu oleh banyak warga. Sambatan adalah tradisi khas pedesaan yang sudah turun-temurun, namun saat ini sudah banyak berkurang bahkan luntur, digantikan dengan pekerjaan sistem borongan atau upah. “Lunturnya tradisi sambatan tidak boleh terjadi di Pringombo!” tegas Eko dengan muka serius. “Beberapa tahun yang lalu kami, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat Pringombo, mencetuskan tekad dan semboyan “guyub rukun salawase“. Ini komitmen kami untuk menjaga tradisi leluhur,” ungkap Eko penuh semangat.
“Kekompakan dan guyub-rukun seperti ini yang kami tidak mau kehilangan. Sambatan adalah modal-sosial dasar yang tetap harus dimiliki oleh masyarakat desa, karena di situ terkandung nilai-nilai kebersamaan, toleransi, kerukunan, solidaritas, dan lain lain,” terang Eko panjang lebar.
“Apakah cost untuk ngingoni, medangi, dan ngududi tidak terlalu besar di sistem sambatan ini?” KH bertanya penasaran karena pasti biaya dapur si empunya gawe akan sangat luar biasa untuk konsumsi ratusan orang. “Betul, biaya konsumsi dan lain-lain memang sangat besar. Tapi ada banyak keuntungan didapatkan dari sistem gotong-royong ini. Pertama, pekerjaan akan cepat selesai. Kedua, tetangga-tetangga yang nyander (datang membantu) tidak lembean (datang tak membawa apa-apa), sebaliknya membawa apa pun yang dia punya. Ada yang membawa beras, gula, teh, kelapa, bahan sayur mayur atau yang lain. Bahkan material bangunan seperti kayu dan bambu,” Pak Dukuh Ristadi menjawab pertanyaan KH.
“Pada proses membangun rumah dan membutuhkan ilmu tekhnik bangunan, memang ada kepala tukang yang memimpin pekerjaan. Semua yang membantu harus manut dan menyesuaikan arahan kepala tukang. Sambil bekerja bareng itu, kami biasa garap-garapan, poyok-poyokan, atau diskusi bebas tentang program dusun ke depan. Panas matahari dan lelah bisa terlupakan. Tahu tahu pekerjaan selesai,” begini Eko menggambarkan suasana ketika dia ikut bergotong-royong membedah rumah Lik Legimin.
Kenyataannya sekarang, banyak dusun atau desa di Gunungkidul mulai kehilangan semangat kebersamaan seperti itu. Tradisi bergotong-royong mulai tergerus jaman. Tugas kita bersama untuk kembali menggaungkan dan menjaga semangat bergotong-royong karena dengan modal sosial atau modal dasar seperti gotong-royong ‘entitas desa’ akan mampu bertahan dari gempuran jaman.
[KH/Edi Padmo]