Bencana hidrometeorologi jika dijabarkan adalah sebuah bencana yang diakibatkan oleh keadaan cuaca ekstrim. Imbas ekstrimnya cuaca bisa mengakibatkan banjir, angin puting beliung, tanah longsor, pohon tumbang, dan sebagainya. Bahkan, bencana hidrometerologi bisa mengakibatkan masyarakat mengalami kekeringan lahan, kekurangan air bersih, ataupun gagal panen. Perubahan cuaca yang ekstrim (climate change) di suatu wilayah tertentu bisa dipengaruhi oleh keadaan cuaca global sebagai pemicu bencana hidrometeorologi.
Tercatat di tahun 2017 Badai Cempaka melanda Gunungkidul dan sebagian wilayah Indonesia serta menciptakan curah hujan tinggi. Bencana banjir dan tanah longsor terjadi di banyak tempat. Gunungkidul telah mencatat bahwa bencana banjir kala itu terjadi di berbagai wilayah, baik Daerah Aliran Sungai (DAS) ataupun luweng-luweng sebagai jalur sungai bawah tanah di Zona Selatan Gunungkidul. Bencana tanah longsor banyak terjadi di wilayah Zona Batur Agung Utara, meliputi wilayah Kapanewon Nglipar, Patuk, Ngawen, Gedangsari, dan Semin. Daerah-daerah tersebut memang memiliki struktur tanah yang cenderung labil. Tanah seakan hanya menempel di permukaan lempengan batu-batu utuh sehingga jika tanah rekah dan termasuki air hujan, tanah beserta apa yang ada di atasnya akan beresiko longsor.
Memang, itu merupakan desain antisipasif yang layak dan harus dilaksanakan. Kerangka berfikirnya menempatkan manusia pada posisi obyek atau penerima akibat, sementara alam sebagai subyek atau potensi penyebab. Jika kita memerhatikan rangkaian kata “bencana alam”, secara tidak langsung menggiring pemikiran kita bahwa alam lah yang menyebabkan sebuah bencana (alam sebagai subjek/pelaku). Beberapa memang demikian, terjadinya banjir, tanah longsor, angin puting beliung, pohon-pohon roboh, kekeringan, dll. pelakunya adalah alam. Mari kita berpikir lebih jauh lagi! Mengapa hal itu bisa terjadi?
Perubahan iklim global memengaruhi iklim mikro di sekitar kita. Kebudayaan pertanian masyarakat lokal, khususnya Gunungkidul, juga terimbas. Masyarakat petani Gunungkidul mempunyai perhitungan tentang siklus alam yang dikenal dengan “pranata mangsa” (ilmu titen) yang telah lahir ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Beberapa petani di berbagai wilayah masih menggunakan pranata mangsa sebagai patokan dalam perhitungan bercocok-tanam. Perubahan iklim global mendesak sistem ilmu pengetahuan tradisional pranata mangsa menjadi “tidak aktual” lagi. Tanda-tanda alam (titenan) yang biasa digunakan sebagai patokan dalam sistem pranata mangsa mulai berubah. Perubahan pada tanda-tanda alam berdampak pada pengelolaan kehidupan pertanian. Kasus-kasus kegagalan panen sering diakibatkan oleh ‘ketidakpastian’ iklim yang sukar diprediksi (dititeni). Kegagalan panen menambah daftar bencana hidrometeorologi.
Beberapa kajian ilmu menyatakan bahwa sebenarnya siklus dan proses alamiah alam sudah teratur dan seimbang. Alam merupakan tempat hidup segala jenis kehidupan di dalamnya, terutama manusia. Manusia, bersama dengan hewan dan tumbuhan, mengambil kebutuhan dari alam untuk hidup. Manusia sering mendominasi hal ini. Eksploitasi alam secara berlebihan oleh manusia tentu memengaruhi pola keseimbangan alam. Maka, tahun demi tahun demi tahun frekuensi bencana semakin naik grafiknya.
Apa yang telah dilakukan dan dirintis oleh masyarakat dan Karang Taruna Dusun Pringombo Kalurahan Natah Kapanewon Nglipar beberapa waktu lalu di Gunung Sumilir mungkin bisa dijadikan sebagai contoh kecil di antara langkah-langkah yang ‘secara bersama-sama’ bisa dicanangkan oleh manusia dalam kerangka sinergitas itu. Rengkahnya Gunung Sumilir (742 dpl) akibat curah hujan tinggi tahun 2017 dan mulai menyusut serta matinya sumber air di Pringombo menjadikan masyarakat di sana mulai berpikir tentang pentingnya mengonservasi lahan di wilayah mereka. Masyarakat Pringombo mulai melaksanakan penanaman pohon konservasi secara mandiri. Eko sujatmo (37) dan Dukuh Ristadi (35) merupakan tokoh masyarakat Pringombo yang mengajak karang taruna dan masyarakat untuk segera menyadari kondisi kritis lingkungan mereka. Program penanaman pohon konservasi mandiri bertujuan untuk menyelamatkan sumber mata air dan mencegah tanah agar tidak longsor.
Banjir, kekeringan, tanah longsor, dan sebagainya adalah sinyal bagi kita untuk segera sadar bahwa sinergitas manusia dan manusia dengan unsur-unsur alam sedang pecah. Menjadi program utama bagi kita kiranya untuk bersama-sama menjaga dan merawat alam demi keberlangsungan kehidupan kita sendiri karena pada hakekatnya kita tidak bisa hidup tanpanya.
[Edi Padmo]