Wonosari (KH). Suasana halaman Balai Dusun Seneng Kalurahan Siraman Kapanewon Wonosari siang itu (Jum’at, 13/11/2020) tampak meriah. Warga Seneng dan sekitarnya berkumpul di halaman balai dusun, bertebaran di antara dua beringin besar di sana. Anak-anak berseliweran, bergembira ngalor-ngidul menunggu kedatangan reyog yang akan beber nantinya. Hari Jumat itu adalah jumat pon. Jumat Pon merupakan hari pasaran yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur Dusun Seneng sebagai hari pasaran Pasar Kawak (Pasar Lama). Setiap tahunnya pada hari pasaran jumat pon dilaksanakan ritual Midang oleh masyarakat Seneng. Untuk tahun ini ritual Midang dilengkapi dengan prosesi penyulaman pohon beringin.
Tak selang beberapa lama suara tabuhan gamelan grup kesenian reyog dari Karangrejek muncul dari arah selatan menuju pusat ritual di halaman balai dusun, mengiringi hadirnya rombongan kirab masyarakat Seneng yang berpakaian adat Jawa dan membawa ubarampe ritual. Cerita tutur di Seneng mengatakan bahwa tempat yang sekarang menjadi Balai Dusun Seneng dulunya adalah sebuah pasar, yaitu cikal-bakal Pasar Argoasri (Arga-asri) atau Argosari (Arga-sari) Wonosari. Sampai sekarang tersebut sebagai Pasar Kawak (kawak: lawas). Setelah kerja Babad Alas Nangka Dhoyong (cerita muasal Wonosari/Wanasari) usai, yang mampu menciptakan sebuah pemukiman yang ramai, Pasar Argoasri dipindahkan ke kpusat kota, yaitu Wonosari. Konon proses pemindahan dilakukan oleh Pakubuwana VI dari Kasunanan Solo.
Cerita tutur yang disampaikan oleh Sigit (cucu Mbah Darso Rejo, pemangku adat Pasar Kawak) menginformasikan bahwa hari pasaran pon menjadi hari pasaran Pasar Argosari, sementara Jumat Pon merupakan hari ketika masyarakat sekitar bisa nguri-uri tinggalan leluhur Seneng di bekas Pasar Kawak. Hingga sekarang tradisi itu terkenal dengan ritual Midang. Ritual Midang dimaksudkan sebagai prosesi upacara memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar niat atau nazar masyarakat Dusun Seneng dikabulkan. Ritual Midang menggunakan ubarampe upacara yaitu kelapa, gula merah, pisang, nasi tumpeng, ketupat berjenis “kopat luwar”. Dalam ritus Midang ketupat luwar sebagai simbol telah lunas, bebas, dan selesainya (luwar: bebas, selesai) nazar warga masyarakat.
“Semua ini hanya sarana. Kita tidak meminta atau memohon kepada kayu atau batu. Ini semua sarana permohonan kepada Gusti Allah,” begini petuah Mbah Darso.
Namun ada yang berbeda dalam prosesi ritual Midang Jumat siang itu. Kala iring-iringan reyog hadir di tempat upacara, tampak Sang Beles membopong sebuah pohon beringin dalam sebuah wadah. Kemudian ia sowan dan bersimpuh di hadapan Mbah Darso Rejo sebagai pemangku adat yang duduk di tikar bersama dengan Ibu Dukuh Seneng di antara dua pohon beringin besar di Pasar Kawak. Sang Beles masrahake sarana upacara kepada Mbah Darso serta pohon beringin agar secara simbolik ditanam oleh beliau. Sang Beles pun memohon agar Mbah Darso mengikrarkan doa keselamatan untuk masyarakat Seneng dan sekitarnya. Setelah Mbah Darso menerima pohon beringin dan merapalkan doa.
Sesaat kemudian beberapa pemuda membimbing Mbah Darso yang sudah sepuh dengan kondisi fisik yang melemah menuju tempat penanaman yang telah dipersiapkan. Di tempat penanaman simbolik itu sebenarnya telah ditanam pohon beringin cukup besar yang dimaksudkan untuk menambah pohon beringin di sana yang sudah menua. Beringin dalam wadah itu kemudian secara simbolik ditanam oleh beberapa pemuda. Seperti yang sudah dikabarkan Kabar Handayani sebelumnya bahwa satu dari dua resan pohon beringin besar di Pasar Kawak memang sedang sekarat. Separuh bagian tubuhnya tampak kering merangas. Daunnya sudah habis berguguran. Setelah dilakukan penggalian tanah di bawah pohon, warga menemukan akar beringin yang ‘sengaja’ dilukai dan dibakar, disiram dengan minyak solar dan oli. “Ini kemungkinan besar terdapat unsur kesengajaan. Sampai saat ini kami tidak tahu, apa niat dan maksudnya,” ujar Olan, salah satu tokoh pemuda Seneng.
“Ritual hari ini, selain dalam rangka melaksanakan upacara Midang, kami mengadakan prosesi nyulam. Satu kami tanam di tanah, satunya di tengah pohon beringin besar di atas sana,” cerita Sigit dengan mata sembab karena merasakan keprihatinan mendalam. Ritual Midang dan Nyulam hari itu memang tampak sangat emosional bagi Sigit. Ia adalah cucu Mbah Darso yang digadang oleh warga untuk meneruskan ketugasan simbahnya sebagai pemangku adat Pasar Kawak. “Melihat keadaan beringin ini hati saya sangat sedih. Rasanya seperti kehilangan anggota keluarga. Beringin ini setia menemani warga Dusun Seneng berates-ratus tahun, dari generasi ke generasi. Di bawah rindangnya menjadi pusat berbagai kegiatan masyarakat Seneng,” ujarnya sambil menyeka air mata.
Upaya yang dilakukan masyarakat dan pemuda Seneng untuk melestarikan budaya dan simbol kehidupan mereka berupa menyulami resan pohon beringin Pasar Kawak adalah sebuah perjuangan yang bisa dikatakan melampaui jaman. Di jaman modern yang kita dituntut untuk berpikir dan bertindak instan, nguri-uri budaya leluhur sering dikatakan sebagai sebuah kekolotan dan pembuangan waktu. Selain bermanfaat untuk menjaga kondisi lingkungan dengan mengayomi dan meneduhkan serta memberikan pasokan oksigen yang besar, pohon resan merupakan penjaga sumber air. Fungsi lainnya sebagai tenger (penanda jaman), juga sebagai saksi hidup perjuangan para leluhur dalam rangka menyiapkan masa depan generasinya. Resan adalah pengeling-eling (pengingat) agar kita sebagai generasi penerus tidak gampang silau oleh gerak jaman dan keadaan. Resan mengingatkan kita untuk memegang teguh weling (pesan) orang tua agar tidak begitu saja melupakan asal-usulnya (cikal-bakal). Keberlangsungan dan kelestarian resan di suatu situs sejarah dusun dan desa, terlebih berhubungan dengan ritual atau upacara khas, memang layak untuk diberi perhatian khusus dan dimasukkan sebagai heritage alam.
[Edi Padmo]