Angkringan Sutomo, Generasi Awal Angkringan Malam Hari di Wonosari

oleh -3117 Dilihat
oleh
Sutomo dengan angkringannya Foto : Kandar

WONOSARI, (KH) — Memanfaatkan ramainya malam hari di pusat Kota Wonosari, Gunungkidul telah dilakoni Sutomo sejak Tahun 2001. Warga Padukuhan Kentheng, Desa Mulusan, Paliyan ini hingga sekarang tetap bertahan berjualan nasi kucing.

Dirinya mengatakan, warung tenda yang populer disebut angkringan itu ia buka bersamaan dengan satu pedagang lain di area alun-alun Pemda Gunungkidul. “Untuk penjual angkringan, saya termasuk yang mengawali. Waktu itu baru ada dua, saya dan seorang lagi buka di sekitar Kantor Pos,” kenangnya saat ditemui 26 April 2015.

Lelaki beranak tiga tersebut menyebutkan, belum lama ini ia berjualan secara mandiri, tepatnya sekitar awal 2014 lalu. Sebelumnya dagangan dan gerobak angkrigan yang dipakainya bukan milik sendiri, melainkan sistem bagi hasil atau setoran dengan penyedia menu jajanan, atau ia menyebutnya juragan angkringan.

Pasang surut dalam berdagang selalu ditemui. Meski demikian Sutomo mengaku akan bertahan selama masih mampu berjualan. Aneka menu yang disediakannya hampir sama seperti warung nasi kucing pada umumnya, nasi bungkus, gorengan, sate, sambal, dan berbagai minuman (wedang), seperti kopi, teh, susu jahe, dan lainnya.

Pelanggan yang datang bervariasi, pelajar dari SMP hingga orang dewasa biasa ‘ngangkring’ di warung tendanya. Silih berganti datang dan pergi, atau berlama-lama dengan lesehan beralaskan tikar di trotoar Jl. KH. Agus Salim depan Kantor DPU untuk menikmati suasana hiruk pikuk malam di Wonosari.

Meski kini, ketika malam hari di Wonosari telah banyak menjamur warung tenda serupa; bahkan banyak juga warung dengan berbagai macam menu, angkringan Sutomo tetap setia menunggu pelanggan dari pukul 17.00 sore hingga 05.00 WIB pagi.

“Selalu seperti itu jadwal jualannya, mungkin tinggal saya yang jualan hingga dini hari, bahkan menjelang esuk (pagi). Kecuali jika sudah habis, saya tutup lebih awal,” katanya sembari menyeduh teh pesanan pelanggan, Sabtu sore, (25/4/2015).

Urusan harga, Sutomo tidak berani mematok mahal. Secara umum sama dengan warung lainnya, bahkan pada beberapa menu ada yang lebih murah. “Susu jahe saya hanya Rp 2.500, tempat lain ada yang lebih mahal,” tambahnya.

Hasilnya berjualan digunakannya sebagai sumber utama untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, selain mata pencaharian lainnya sebagai bertani. “Rata-rata kalau dagangan habis untung bersih antara Rp 50 hingga 70 ribu,” pungkasnya. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar