Anoman ‘mbedhol’ gunung. Ia persembahkan khasiat sebuah pohon
untuk kehidupan Lesmana yang di ambang kematian.
Konon, berdasar pernyataan-ilmiah para ilmuwan yang alim, alam menyimpan bahan-bahan alamiah yang mujarab untuk menyembuhkan; alam adalah tempat manusia mengadu(h). Sebenarnya, pernyataan-pernyataan ilmiah para ilmuwan yang kehadirannya bisa dikatakan baru saja ini, melalui lembaga yang disebut sekolah, atau perguruan, hanya memperkukuh pernyataan alamiah para leluhur suatu komunitas dalam rentang yang sangat panjang: melalui cerita-cerita suci kolektifnya. Tak bisa dipungkiri bahwa India, Cina, Eropa, Amerika, Afrika, ataupun Nusantara, merupakan negara/wilayah yang akhir-akhir ini melakukan gerak kembali ke alamnya, ke naturnya (yang kadang bersembunyi di balik korporasi-korporasi atau proyek-proyek pengembangan iptek modern). Lantas menciptakan suatu formula, memroduksi masal, menjadikannya teknik penyembuhan yang mujarab. Kadang untuk kompetisi. Juga peperangan: terbuka atau terselubung.
Sering terdengar gerak kembali ke alam ini hanya semacam euforia, juga retorika: sehat itu dari alam. Dengan alam. Di dalam alam. Alam tujuannya. Manusia modern ingin sehat dengannya. Namun, dalam waktu bersamaan, dilahirkanlah jurang yang dalam: antara yang ‘pura-pura alam’ dan terbungkus komoditas tertentu dengan yang ‘sesungguhnya alam’, bertelanjang-diri. Yang terakhir ini biasanya malah dicibir di sana-sini. Mengingatkan pada nalar Victorian (Kolonial, Modernisme) yang menciptakan formula iptek dan pengobatannya salah satunya ‘di’ dan ‘dari’ kepulauan Nusantara, lantas di waktu-waktu kemudian datang kembali dengan ‘superioritas’. Di banyak ruang, sistem kesehatan pribumi tak diberi ruang. Di ujung ketika pengobatan ala modernisme menyerah, pengobatan kolektif yang turun-temurun, yang sepi, yang sangat kuna tersembunyi di pelosok pepohonan, dengan ‘malu-malu’ dijadikan ruang untuk kembali.
Sistem pengobatan suatu kolektif yang diwariskan turun-temurun, yang oleh Badan POM RI dikategorikan sebagai etnomedisin, termasuk unsur-unsur ekologi di dalamnya, sangat pantas untuk ditetapkan sebagai folkologi, sistem ilmu-pengetahuan suatu komunitas. Bukan sekedar label folklore yang selama ini dilekatkan. Bahkan, bagi suatu kolektif-tradisional, sistem-pengetahuan ini beyond-logos, njangkungi, di atas sistem ilmu pengetahuan manusia biasa. Karena sistem seperti ini terberi rasa orang tradisional bilang. Yaitu rasa-pangrasa tentang alam dan lingkungannya. Rasa-pangrasa itu mengunggulkan kejujuran. Sama seperti semangat riset modern: jujur. Sistem pengobatan semacam ini sering berhubungan dengan unsur-unsur alamiah pepohonan, hewan, juga sumber air, yang oleh bidang ekologi-lingkungan sering disebut situs-keramat alamiah.
Situs-keramat-alami biasanya bersentuhan dengan hal-hal yang oleh komunitas disebut supraduniawi, atau adiduniawi. Istilah kramat ini layaknya kehadiran suatu agama melalui simbol-simbolnya. Alih-alih mencari tahu apa itu relasi-makna kramat, kenapa disebut keramat, apa saja kemungkinan etimologinya, kontribusi kramat itu bagi kelestarian lingkungan apa-wae, mana-mana yang bukan dan yang kramat, bla bla bla…. seringnya manusia modern melihat istilah kramat itu, dalam semesta nalar-umum, dianggap nirlogik dan tidak berkonotasi terhadap presentasi ketuhanan (untuk tak mengatakan: biasanya kramat linier dengan syirik; menyekutukan Tuhan). Nalar-nalar (logos) yang lekat pada yang disebut kramat sepantasnyalah ditinggalkan, ditanggalkan, dijatuhkan. Karena pandir dan tak bisa dipertanggungjawabkan (meminjam istilah James Danandjaya). Begitu saja.
Padahal, kawasan ekologis-keramat-alami dapat tetap bertahan sampai sekarang dan selalu dijadikan tujuan manusia untuk meraih kesembuhan, kebahagiaan, dan kedamaian, karena atribut kramat yang melekat padanya. Bayangkan jika manusia-arkais, manusia tradisional, tidak melekatkan label kramat ini pada pohon, hewan, telaga, sumber, belik, alas (hutan), dan tempat-tempat tertentu (seperti Pohon Bibisan di pucuk Gunung Pendhem sekitar Embung Nglanggeran itu misalnya). Biasanya dengan border kayu, batu, atau kain mori. Atau border berbentuk tabu, pepali, pantangan, dst. Maka, tentu saja semua akan menjadi profan. Kesakralan luntur. Manusia menjadi hanya sekuler, soliter terhadap alamnya. Ini laksana nalar-terbalik terhadap mitos-mitos modern tentang negara, pembangunan, pemanasan global, jangkauan manusia ke luar angkasa, dan seterusnya, yang selalu dianggap kramat meskipun negara, atau NASA, atau Amerika, adalah pusat nalar-empirik. Lama-lama yang kramat di lingkungan lokal tersedak, terdesak. Manusia modern kering, manusia gering (sakit).
Dalam sistem ikatan-bersama (religi) masyarakat sekitar Gunung Wayang, atau Gunung Api Purba Nglanggeran, untuk menyembuhkan beberapa jenis penyakit mereka memercayai kasiat suatu pohon yang diberi nama pohon termas atau pohon obat. Begitulah, masyarakat memberi label ilmiah pada lingkungannya. Sederhana. Dan bukan dengan nama penemunya. Kasiat sang pohon adalah getahnya, untuk menyembuhkan penyakit liver, ginjal, tipes, maag, dan kuning . Yang pada waktu malam hari, setelah dilaksanakan ritual oleh Mbah Juru Obat, yaitu Kyai Rejo, dideres untuk dikeluarkan getahnya. Kisahnya, dulu ada orang tua di sekitar Gunung Wayang yang menerawang dan melihat Gunung Wayang atau Gunung Api Purba Nglanggeran sedang dilingkari oleh ular. Air liur ular menetes. Air tetesan Sang Ular menjelma pohon obat. Pohon obat diberi nama pohon termas. Sampai sekarang getah pohon ini, simbolisasi air liur Sang Ular, dipercaya oleh masyarakat sekitar Gunung Wayang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Begitu tuturan Kyai Rejo, sang penerus sistem penyembuhan ini.
Kyai Rejo memanjangkan tuturannya. Pohon termas dulunya tumbuh di lahan milik kakeknya, Wongso Complong. Pohon tersebut tumbuh di sebelah utara Kalisong, Gunung Wayang, subur di sela-sela batu besar yang sekarang disebut dengan Gunung Kelir. Pohon termas tidak bisa tumbuh membesar, meninggi, tapi menjalar dengan akarnya yang menancap di Gunung Kelir. Setelah Wongso Complong tua, pohon termas diwariskan kepadanya. “Kau harus meneruskannya!”, pesan Kyai Rejo. Sejak saat itu Kyai Rejo mulai mengambil getah pohon termas yang letaknya di atas gunung. Di waktu selanjutnya, ia meminta ijin kepada roh penjaga Gunung Nglanggeran, sebagai penghormatan kepada roh leluhur yang menjaga pohon itu, untuk diperbolehkan memindahkannya ke pekarangan rumah, agar lebih mudah ketika menggunakannya, senyampang tubuhnya yang menua. Pemindahan dilakukan dengan ritual. Penderesan dengan ritual. Pengobatan juga dengan ritual.
Ritual adalah telangkai yang menghubungkan antara situs-keramat dengan manusia. Ritual pengambilan getah pohon termas merupakan simbol permohonan ijin kepada alam, agar alam yang diwakili oleh tumbuhan dan roh penjaga tumbuhan menjadi perantara kesembuhan penyakit yang diharapkan nantinya diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena tajalli, atau rasa-pangrasa tentang ketuhanan adalah melalui alam. Ritual dilaksanakan berdasarkan ketentuan tertentu dan tidak dilaksanakan secara sembarangan. Untuk memperkuat makna ritual, dari kata-kata Durkheim misalnya, ritus adalah tindakan-moral berdasarkan kekhasan hakikat apa yang jadi objeknya. Ritus–ritus merupakan aturan tentang laku-laku yang menentukan bagaimana manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang sakral. Dengan ritual, seluruh anggota masyarakat diingatkan kembali bahwa kepentingan kelompok lebih utama ketimbang kepentingan pribadi.
Seperti yang dituturkan oleh Ibu Ngatirah warga Dusun Soka yang tersembuhkan dari penyakit kuningnya. Ia telah menjalani berbagai pengobatan modern namun tak berhasil. Saat melakukan pengobatan dengan Juru Obat Termas, Ibu Ngatirah membawa persyaratan berupa: kembang wangi, minyak wangi, pisang raja, abon-abon, dan botol yang akan dibutuhkan untuk tempat membawa air getah hasil nderes pohon termas. Ibu Ngatirah percaya jika pengobatan ini sudah ditentukan Tuhan menjadi obatnya, maka air getah pohon termas akan keluar dari batang pohon ketika dideres, artinya akan tersedia sebagai obat. Tetapi jika belum menjadi obatnya, maka air getah yang dibutuhkan untuk pengobatan tidak tersedia.
Setelah melakukan pengobatan berulangkali, Ibu Ngatirah dapat tersembuhkan penyakitnya. Setelah proses ini, yaitu setelah tersembuhkan, oleh Kyai Rejo Ibu Ngatirah disuruh membuat ingkung-ayam (bermakna manekung; selalu ingat kepada Tuhan) untuk disedekahkan, sebagai rasa syukur atas tersembuhkannya penyakit kuning yang dideritanya sekaligus urip-urip agar penyakitnya tak kambuh lagi. Kesembuhan yang didapatkan merupakan sistem yang dibangun atas: khasiat getah pohon termas, keyakinan Ibu Ngatirah yang pasrah kepada Tuhan, juru kunci atau juru sembuh pohon termas, dan ritual yang dilaksanakan dengan kesungguhan.
Dan keyakinan, atau keimanan terhadap hal-hal sakral dalam suatu komunitas, melalui ritus, seringkali tidak membutuhkan bukti-bukti empiris-objektif seperti kedokteran modern untuk bisa dipercayai sebagai ngelmu. Itulah kenapa keyakinan semacam ini disebut dengan ikatan-bersama (religi) suatu komunitas. Pengobatan tradisional (etnomedisin) memang tak bisa lepas dari ciri etnik masyarakat tertentu, yang memiliki ciri spesifik sebagai fenomena pengobatan lokal. Seperti nalar dalam psiko-sosial, kepercayaan rakyat terhadap khasiat getah pohon termas merupakan stimulus alamiah yang hidup di tengah masyarakat di kawasan Gunung Wayang atau Gunung Api Purba Nglanggeran agar meresponnya dengan tindakan positif berupa pelestarian.
Sekurang-kurangnya, eksistensi sistem pengobatan ini, terutama bagi kebanyakan manusia modern yang sering mengalih-ubah sakralitas menjadi sesuatu yang melulu sekuler, yang mendefinisikan animisme sebagai sebuah ateisme tanpa peduli apa itu teisme, padahal saban hari mendapatkan guna namun selalu memungkirinya, merupakan sinyal terhadap suatu fenomena atau kompleks kode-kode informasi kuna (arkais) yang ditempatkan oleh masyarakat pendukungnya sebagai khasanah ngelmu, metalogos, prinsip dasar, yang supra-natur, untuk mencoba selalu bersikap dan berperilaku alamiah di kehidupan padinan yang semakin semu. Stimulus, yang kali ini tentang kealamiahan pohon termas, dapat menjadi perangsang bagi masyarakat sekitar Gunung Wayang atau Gunung Api Purba Nglanggeran, atau wangsa Gunungkidul, atau masyarakat Nusantara lebih luas, untuk bersikap dan berperilaku ‘dekat dengan alam’ dalam rangka mempertahankan kesehatannya. Kemudian melebar, banyak kelompok masyarakat yang menggali lagi, atau mengembangkan, atau membentuk sistem pengobatan tradisional ala lokalitasnya masing-masing.
Yaitu pengobatan dengan dialeknya sendiri.
[KH/WG]