Jangan Lombok dan Mitologi

oleh -2936 Dilihat
oleh
Jangan-Lombok yang Disajikan. KH/WG.
Jangan-Lombok yang Disajikan. KH/WG.

Makanan lah yang menjadikan manusia mengingat surga,
merindukan surga

Budaya makanan setua keberadaan manusia. Makanan adalah pasangan kempel kehidupan. Kebutuhan terhadap makanan memang merupakan kerja manusia di awal waktu mitis. Jenis makanan yang dikonsumsi akan berubah dengan sendirinya sejalan dengan perubahan suatu wangsa manusia, dengan gerak kehidupannya. Kelestarian kehidupan suatu wangsa disejajarkan dengan cadangan makanan di tempat wangsa itu tinggal, tempatnya menegakkan apa yang dinamakan ‘peradaban’. Ada yang memilih bertanam (pribumi). Ada yang memilih berpindah (nomad), yang kelak di kemudian waktu menjulangkan apa yang disebut koloni(sasi). Bahkan, di masa yang katanya pos-kolonial sekarang, agresi terhadap ‘sumber-makanan’ masih kenthel tampak di banyak wilayah, menguatkan apa yang terkenal dengan istilah neo-koloni(alisasi): investasi. Yang semangatnya bahkan menelusup di dalam nalar pribumi: wangsa yang secara turun-temurun menetap di suatu wilayah. Sementara wangsa-pribumi adalah kelompok yang dekat dengan sumber makanan; nyawiji dengan berbagai jenis bentuk mentah (raw) dan matang (cooked) makanan.

Berbagai jenis makanan yang dikonsumsi suatu wangsa mau tak mau menyesuaikan dengan kondisi lingkungan tinggalnya. Dan suatu wangsa hidup berganti masa. Kemudian muncul lah makanan-makanan yang bernuansa mitologis, atau meta-logos, yang menggambarkan nalar-lembut: bagaimana cara suatu wangsa berfikir tentang sumber daya di tempat lingkungannya tinggal, bagaimana teknik pengolahannya, bidang kerja apa yang dipilih untuk melangsungkan kehidupan, bagaimana melekatkan brand pada jenis makanan tertentu karena memang selaras dengan kualitasnya, bagaimana jenis makanan berkelindan dengan unsur-unsur budaya suatu wangsa secara keseluruhan, bagaimana spiritualitasnya, bagaimana makanan memengaruhi gerak perekonomiannya, bagaimana menyusun menu yang ‘nikmat’ dan ‘sempurna’ ala makanan surgawi, dan seterusnya dan seterusnya.

Budaya makanan terdiri dari makanan pokok, lauk-pauk, makanan olahan pendamping makanan pokok, juga sayuran. Wangsa Gunungkidul sangat dekat dengan sayur jangan-lombok, yang dalam ‘banyak kondisi’ biasanya (di)ada(kan) di Gunungkdiul. Jangan-lombok menggambarkan struktur kompleks unsur-unsur pendukungnya, yaitu kulawangsa Gunungkidul yang mengolah jenis makanan ini dan bahan-bahan yang digunakan. Memang, sumber daya tanaman, dimensi kerja, jenis makanan, teknologi, dan religi suatu wangsa merupakan hubungan yang korelatif. Wangsa Gunungkidul yang bidang kerjanya bercocok-tanam, biasanya di pekarangan dan di tegalan menanam pohon kelapa. Buah kelapa yang muda digunakan untuk membuat aneka sambel. Buah kelapa yang telah dewasa digunakan untuk membuat santen (sari pati daging kelapa) untuk keperluan sayur yang bersantan. Santen juga digunakan untuk pengolahan berbagai jenis makanan selain sayuran. Bagian-bagian pohon kelapa banyak dimanfaatkan untuk kerajinan, kayu rumah, dan lain-lain. Degan, kelapa muda, merupakan sumber daya yang manjur untuk kesehatan, juga seing digunakan sebagai materi simbolik dalam sistem religi tentang kelahiran dan kematian. Ada yang menyadap nira, untuk gula. Selain kelapa, di pekarangan rumah atau di sawah atau tegalan yang distren masyarakat menanam lombok. Lombok yang ditanam kecil bentuknya, namun pedas. Dan lombok, bagi masyarakat yang bidang kerjanya pertanian atau perkebunan, merupakan tanaman yang ‘harus ada’. Kedelai, atau dhele, merupakan salah satu tanaman palawija andalan di daerah Gunungkidul. Dhele digunakan untuk membuat makanan tempe, melalui proses peragian. Tempe lah yang digunakan untuk ampas (isi) di jangan-lombok. Tempe berpadu dengan pedasnya lombok, menghasilkan sayur yang nikmat.

Korelasi kompleks antar unsur pembentuk jangan-lombok merupakan sistem nalar masyarakat Gunungkidul yang tersembunyi tentang bagaimana masyarakat berbudaya, laras dengan alam lingkungannya. Variannya adalah yang tampak dalam jangan-lodheh, yang menggunakan santen pula. Santen itu, yang memunculkan kegurihan, berasal dari perasan buah surgawi, buah pohon kalpa. Barangkali etimologi pohon ‘kelapa’ berakar dari ini (Jawa Baru: kalapa). Yang dalam nalar kuna pohon ini tumbuh di Langit. Produk olahan yang lahir dari pohon kalpa tentu saja berkualitas ‘langit’. Substansi santen, sekurang-kurangnya oleh masyarakat desa, dianggap sebagai titik pusatnya jangan (sayur). Ia berwarna putih-kenthel, semacam bentuk purwa alam semesta. Langit yang putih. Yang karena kerja manusia (dunia-tengah, berwarna merah), bumi (hitam, seperti warna dark-matter semesta) menghasilkan tumbuhan tanam. Bentuk santen seperti adonan semesta, yaitu samudera-susu dalam cerita kuno, juga dalam penamaan galaksai Milky-Way, merupakan nalar kuno tentang bagaimana bentuk semesta di awal waktu. Dan turunan nalar-kuno santen-jagad masih hidup sampai dengan masa Mataram Baru, yaitu nglodheh pitung warna, sebagai bentuk dialektika, atau sajian, kepada alam, karena alam berkomunikasi dengan manusia melalui gunung meletus atau gempa. Sementara lombok, yang setelah manusia mengonsumsinya, aliran darah akan cepat, bregas, dan sumber vitamin C yang tinggi. Artinya, lombok adalah pemicu gerak manusia. Semangat manusia. Jika dianggap sebagai organ yang bekerja, gerak manusia menggunakan bahan bakar santen dan lombok. Ditambahkan tempe sebagai pengasup protein-nabati: ornamennya.

Jangan-Lombok yang Disajikan. KH/WG.
nJangan Jangan Lombok. KH/WG.

Kompleksitas relasi dalam jangan-lombok bukan sekedar memenuhi syarat metabolisme tubuh manusia yang memang harus tetap berlanjut. Budaya jangan-lombok tak bisa lepas dengan ‘kelas’ sosial masyarakat yang mula menciptakannya. Jangan-lombok adalah makanan desa. Ia diciptakan oleh orang desa. Ada dua kutub dalam teori kelas, desa dan kutha. Ada makanan-desa, ada makanan-kota. Karena gerak kelas sosial masyarakat, ada makanan-desa yang ngutha. Dalam arti, ada makanan-desa yang diinginkan oleh masyarakat kota, sehingga (seakan-akan) kelas makanan ini mengalami pergerakan selaras dengan pergerakan masyarakat desa yang ngurban: makanan desa menjadi makanan kota. Meskipun ini cenderung masalah gaya. Jangan-lombok ngurban. Segmentasinya berubah, bergerak. Jangan-lombok diangkat ke maqam ‘lebih tinggi’. Oleh orang kota, yang banyak di antaranya adalah orang urban dari desa, jangan-lombok dilabeli semboyan “kembali ke desa”, untuk meminimalisasi kecurigaan tentang gerakan ini hanya melulu menjual komoditas. Karena memang orang kota, sebagai wali modernisme, barangkali telah kehabisan stok tentang hal-hal yang laku untuk ‘dijual’, ‘dikoleksi’, atau juga dipajang sebagai hiburan. Lantas modernisme ‘meminta-pertolongan’ ke pelosok-pelosok budaya desa, ke dunia tradisional-lokal, demi sebuah gaya (model), untuk keberlangsungan hidupnya. Kota pun mendapat pertolongan dari makanan seperti jangan-lombok yang ndesa.

Akhirnya jangan-lombok sebagai nalar desa berkembang. Jangan-lombok yang ndesa begitu diapresiasi. Dengan mempertahankan bentuk aslinya ketika di desa, jangan-lombok disajikan ulang di ruang-ruang perkotaan seperti bumbu-desa, jangan-desa, dan sebangsanya di kota. ‘Politik-etis’, politik balas budi, kepada sayur yang disebut jangan-lombok tak terelakkan. Budaya kota yang di dalamnya lekat dengan budaya urban barangkali lahir atas inisiasi desa, yaitu yang di awal waktu mitis disebut paradeҫa (bentuk desa yang paling kuno bagi orang pribumi), kemudian lidah modernisme menamainya paradise, atau paradisso. Barangkali paradeҫa ini sejajar dengan apa yang disebut oleh beberapa peradaban dengan kota-kota awal di bumi. Bentuk desa di masa sekarang merupakan turunan dari paradeҫa, moyangnya desa. Kota, dengan demikian, turunan desa pula.

Kosmopolitnya kota, yang lidahnya ‘nano-nano’ karena memang tempat perjumpaan banyak budaya, ditambah stimulan kemajuan teknologi yang sering mengabarkan keseragaman, mencapai puncak kejenuhan cita-rasa kota terhadap berbagai jenis masakan. Di puncak kejenuhan terhadap masakan atau makanan ini, seiring kejenuhan mereka kepada gerak, atmosfer, dan lingkungan kota yang serba gegas dan cepat, gerak kembali ke cita-rasa masakan atau makanan desa merupakan salah satu pilihan, atau terkadang satu-satunya pilihan. Masyarakat kembali ke selera di awal waktu ketika sebelum ngurban dulu mereka merasakan pengalaman mitis terhadap suatu masakan. Dan di masa ketika banyak hal serba terlipat, cepat, gerak ini akan sangat masif diikuti. Menjadi sebuah trend yang trendy. Jangan-lombok termasuk yang trendy. Jangan-lombok menyimpan selera purwa: yang santen, yang gurih, yang pedas. Selera masyarakat kota atau masyarakat urban-kota mulai bergerak menuju ndhesit. Hal ini menjadikan dua kelas yang hirarkial dalam beberapa sudut menjadi lebur. Batas-batas kategori desa-kota melalui jangan-lombok runtuh. Karena kebanyakan yang kota adalah dulunya desa. Ada ingatan-ingatan kuno masyarakat kota tentang santen-nya kosmos mereka di awal waktu, juga tentang susu kehidupan: yang memperluas wangsa mereka ke kota-kota.

Sebelum melakukan gerak ke luar daerah, ke kota, wangsa Gunungkidul menyimpan pengalaman-bersama yang hampir sama tentang jangan-lombok. Pengalaman ini tersimpan dalam memori. Ketika dalam rentang waktu yang lama berada di tempat baru, di kota-kota, atau di luar wilayah pribumi mereka, mereka tentu teringat jangan-lombok, di waktu-waktu mitis akan memanggil ulang memori-memori itu, kemudian membuat arca (baca: menghadirkannya) di dalam kehidupan kekiniannya. Ingatan bersama tentang jangan-lombok itu di antaranya tentang jangan-lombok lombok-ijo gebrus. Yaitu jangan-lombok yang tanpa menunggu santannya umub semua bumbu dan materialnya langsung digebruske di dalam santan, dimasukkan ke wajan atau panci yang digunakan untuk njangan-lombok. Atau jangan-lombok glombyar, yaitu jangan-lombok dengan material tempe yang jumlahnya sedikit, lombok-ijonya banyak, kuahnya banyak, yang sangat uhah-uhah ketika disantap. Model jangan-lombok ini biasanya dibuat oleh dulur-dulur wangsa Gunungkidul sebelah selatan. Atau ingatan tentang jangan-lombok lombok-abang, yaitu jangan-lombok yang bumbu dan irisan lombok-abangnya digangsa dulu, baru ditambahi santan. Biasanya jenis jangan-lombok ini dibuat di tempat wong ewuh. Jika dingat-nget berulang-kali, santennya mengendap dan rasanya menjadi lecit-pedhes. Disajikan atau disantap menggunakan dhong jati atau dhong gedhang. Ulih-ulih dari tempat wong-ewuh biasanya jangan-lombok model ini; beberapa sangat merindukan jangan-lombok ulih-ulih (yang proses membuatnya dalam skala yang besar dan dalam kebersamaan).

Dalam kategori kelas sosial, ingatan tentang jenis-jenis jangan-lombok di atas cenderung mewakili ingatan pada kelas sosial bawah; masyarakat umum. Jenis jangan-lombok lombok-abang menurunkan jangan-lombok bertipe sambel goreng. Material yang digunakan biasanya ditambahkan rambak, kenthang, telur-puyuh, dan ada juga yang ati. Bahan-bahan jangan-lombok sambel-goreng ini memang tergolong ‘mahal’ untuk ukuran masyarakat umum. Sehingga, jangan-lombok sambel-goreng merupakan penanda bagi ‘kelas-piyayi’, yang untuk mewujudkannya perlu rega, harga: ana rega ana rupa. Teknik penyajiannya pun menggunakan ‘alat-prasmanan’; yang jarang dimiliki oleh masyarakat umum. Meskipun demikian, di beberapa tempat seperti keluarga, dusun, upacara tradisional, pemerintahan, dan terutama ‘wisata’, kecenderungan jangan-lombok yang ‘mewakili’ kelas sosial tertentu ini pun lebur. Kabur batasnya. Jangan-lombok menjadi ikon bersama dalam organisasi sosial, dalam kriya bersama: gotong-royong, gugur-gunung, sambatan. Jangan-lombok, bahkan, menjelma ikon-wisata Gunungkidul; wisata kuliner.

Dengan adanya dinamika selera jangan-lombok di antara berbagai kelas masyarakat, tempat, atau kepentingan semacam wisata itu, maka jangan-lombok memiliki kekuatan makna sesuai dengan nalar mitis para pendukungnya. Bagi para wisatawan jangan-lombok adalah sayuran yang aneh-beda; bagi orang Gunungkidul yang ngurban, jangan-lombok merupakan ingatan-ingatan kuno berselera kampung yang sangat mulia derajatnya; bagi orang desa jangan-lombok adalah roh kehidupan makanan sehari-hari yang begitu lekat-dekat, untuk tak vulgar mengatakan bahwa mereka terkadang juga ingin seperti masyarakat kota yang makan di resto mewah namun tak punya uang yang tak melulu makan dengan jangan-lombok terus-terusan; bagi pemerintah jangan-lombok merupakan ‘objek’ ketradisionalan yang dapat diberdayakan untuk mendongkrak ‘citra’ kedaerahan; bagi kewisataan jangan-lombok adalah sayuran ikonik yang menyentil hasrat para pengunjung untuk mencoba, meski dengan harga selangit, dan meninggikan pendapatan; bagi masyarakat Gunungkidul umumnya atau masyarakat luar Gunungkidul yang memiliki ikatan, jangan-lombok sebagai jati-diri, identitas, yaitu bagian sekaligus kebudayaannya. Makna jangan-lombok mengayomi banyak kategori, dari yang profan-keseharian hingga yang sakral seperti ewuh, bersih desa, bersih kali, nyadran, hari jadi, dst., dari yang sekolah hingga tak sekolah, dari yang rakyat ngisoran hingga piyayi, dari yang tak punya modal kemudian menjajakan jangan-lombok di pinggiran tempat-tempat wisata hingga yang bermodal besar, dari yang tinggal di kampung hingga yang ngurban, dsb. Pada musim mudik di waktu-waktu mitis: Lebaran, Natalan, Rasulan, Nyadran, jangan-lombok ditempatkan pada ruang-waktu persambungan, yaitu ‘sayur-surgawi’ yang menghubungkan keruang-waktuan Gunungkidul dari awal waktu hingga kehidupan sekarang.

Jangan-Lombok yang Disajikan. KH/WG.
Jangan-Lombok dan Gudhangan. KH/WG.

Makna-makna itu, di dunia pos-modern ini, tumpang-tindih dengan makna yang cenderung diwakili oleh ‘selera-globalisasi’ dan pencarian-pencarian ‘gaya-hidup-alternatif’. ‘Kemajuan’ teknologi menjadikan sebuah konsep ‘selera’ mampu memengaruhi kesadaran manusia dalam hitungan detik. Selera bukan lagi sebuah laku-urip yang bersejarah panjang seperti pengalaman anak-anak Gunungkidul dari kecil tentang jangan-lombok yang kemudian melahirkan pernyataan-pernyataan sakral-menggetarkan, namun perjalanan yang sangat singkat, yang dengan mudah dipengaruhi oleh ‘yang kali ini disebut selera’ oleh suatu kelompok. Alih-alih ingin menggapai nalar-mitis desa, melalui jangan-lombok, yang seperti ini tampaknya hanya menyerupai desa, melalui ‘selera’.

Karena jangan-lombok, pada prinsipnya, adalah ornamentasi terhadap sumber daya masyarakat Gunungkidul dan sekitarnya tentang alamnya berupa klapa, gula, lombok, tempe, dst., sebagai dasar alam berpikir masyarakat Gunungkidul dalam kehidupan sehari-hari, baik profan maupun sakral. Terlepas dari jika kebanyakan makan santen menumbuhkan bibit sakit, nalar-lembut masyarakat Gunungkidul tentang jangan-lombok minimal dapat membantu masyarakat berdaya dengan kesederhanaan. Sayang, jika makna jangan-lombok yang sangat polisemi, harus tunduk pada denotasi-kuwalik: komoditi atau komodifikasi.

[KH/WG]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar