Usaha Konservasi Lahan oleh Kelompok Prambutan Indah di Kedung Wanglu

oleh -2479 Dilihat
oleh
Visual Delta Kedung Wanglu dari kejauhan, Pinggir Sungai Oya
Visual Delta Kedung Wanglu dari kejauhan, Pinggir Sungai Oya

Jika kepepet kepentingan ekonomi, masyarakat cenderung akan menghabiskan apapun yang ada di alam. (Sofyan Effendi)

Penggalan kalimat di atas adalah ucapan Sofyan Effendi (42 tahun), seorang tokoh pemuda Dusun Kedungwanglu. Itu merupakan ungkapan keprihatinan mendalam terhadap perubahan ekosistem dan lingkungan alam di sekitar dusunnya. Sofyan Effendi menginformasikan bahwa sejak 5 tahun belakangan ini, bisa dikatakan jika memasuki musim kemarau 30 persen wilayah Kedungwanglu akan kesulitan mengakses air bersih. Matinya beberapa sumber air, dan mengecilnya debit air pada sumber-sumber air lain, adalah faktor utama. Menurutnya, masyarakat di dusunnya sejak dulu dimanjakan oleh melimpah-ruahnya air di dusun mereka, baik air dari sumber mata air ataupun air dari dua sungai yang mengapit wilayah mereka.

Memang kondisi itu ironis. Sebenarnya Kedung Wanglu, dusun tempat tinggal Sofyan Effendi, terletak di sebuah wilayah yang kaya sumber air, salah satunya sungai. Kedung Wanglu tepat berada di ujung paling barat wilayah Gunungkidul, berbatasan dengan Kabupaten Bantul hanya dipisahkan oleh Sungai Oya. Wilayah Dusun Kedungwanglu dilewati atau tepatnya dibelah oleh aliran Anak Sungai Oya, yaitu Sungai Prambutan. Bertemunya ibu sungai (Sungai Oya) dan anak sungai (Sungai Prambutan) berada persis di pinggir dusun sebelah barat. Tanah di seberang sungai sudah masuk wilayah Kabupaten Bantul. Menurut cerita tutur di Kedung Wanglu, kata kedung wanglu berasal dari kata dalam bahasa Jawa kedhung, cawang, dan telu. Ketiga kata ini dipendekkan dengan mengurangi suku katanya menjadi dhung wanglu atau kedhung wanglu. Yang dimaksud kedhung cawang telu adalah Kedung Mbanan, Kedung Luwak, dan Kedung Tempuran. Dapat dibayangkan, wilayah Dusun Kedung Wanglu yang dialiri oleh dua sungai besar ini merupakan delta yang tanahnya sangat subur.

Bukit Prambutan yang gundul dan kering, di sisi Sungai Prambutan.[Foto:NR]
Bukit Prambutan yang gundul dan kering, di sisi Sungai Prambutan.[Foto:NR]
Keprihatinan lelaki yang akrab disapa Endi ini membuatnya tergerak untuk berbuat sesuatu bagi tanah kelahirannya. Sejak memutuskan untuk pulang dari merantau di Jakarta beberapa tahun lalu, Endi memulai usaha di rumah. Ia mengawali dengan beternak ayam. Setelah menetap di kampung, Endi merasa ada sesuatu yang berubah di kampung halamannya, terutama soal keadaan alam. Dia terkenang masa kecilnya tentang Kedung Wanglu yang hijau permai. Air mengalir di kalenan kecil samping rumah sepanjang tahun dan tak pernah surut. Berbagai jenis satwa, terutama burung, suaranya memenuhi alam Kedungwanglu yang asri.

Pernah bersama beberapa temannya, Endi mencoba memanfaatkan Sungai Prambutan untuk usaha perikanan dan wisata kecil-kecilan (jeguran dan body-rafting memakai ban-bekas). Sempat berjalan beberapa waktu akhirnya usaha ini terhenti. Disamping kurangnya dukungan sarana dan prasarana yang memadai sebagai daya tarik wisata, surutnya air sungai yang signifikan di musim kemarau juga menjadi sebab. “Sungai menjadi dangkal dan berlumut tebal,” ujar Endi. Pemandangan bukit-bukit di seputar Kedung Wanglu yang gundul dan gersang di musim kemarau juga menambah suasana kering yang tidak enak di pandang mata. “Setahun yang lalu kami mempunyai gerakan konservasi lahan, dengan menanam berbagai jenis tanaman buah, 1000 bibit Jeruk dan 500 bibit mangga. Lahan yang kami tanami adalah lahan milik Kehutanan, di sepanjang Petak 5 dan Petak 6, seluas kira-kira 7 hektar,” lanjut Endi. Kegiatan ini Endi dan teman-temannya ia-wadahi dengan suatu kelompok bernama Kelompok Prambutan Indah. “Dengan kelompok ini kami ingin masyarakat Kedung Wanglu kembali peduli dengan lingkungan, khusunya hutan dan sungai,” lanjut Endi.

Sofyan Effendi, seorang pegiat di Kelompok Prambutan Indah.[Foto:NR]
Sofyan Effendi, seorang pegiat di Kelompok Prambutan Indah.[Foto:NR]
Tekad Endi dan Kelompok Prambutan Indah memang tidak mudah untuk diwujudkan. Kendala aksi konservasi lahan yang pertama adalah soal air. Air yang potensial untuk menyirami tanaman buah berada di sungai yang elevasinya lebih rendah dibanding dengan lokasi kebun buah yang berada di bukit. “Kami tetap berusaha. Beberapa waktu lalu kami menginventarisasi sumber air di Kedung Wanglu, dan kami menemukan suatu sumber yang debitnya besar, walaupun memang letaknya jauh dari kampung, hampir sekitar 2 kilometer. Saat ini kami berusaha mendapatkan teknologi yang praktis dan murah untuk memanfaatkan sumber air ini,” cerita Endi. Sebenarnya di Kedung Wanglu terdapat 6 sumber air yang jaraknya relatif dekat dengan rumah warga, yaitu sumber air Gregak, Dasuli, Banyumili, Klumpit, dan Mbelik. Lima sumber air yang pertama debit airnya sudah mengecil. Sementara Sumber Air Mbelik sudah mengering dan mati.

“Jika kami berhasil menghijaukan Bukit Prambutan, kami yakin nantinya akan menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk warga. Kami ingin belajar soal tanaman konservasi, dan jika ada pihak yang rela menyumbangkan pohon konservasi kami siap menerima dan merawatnya,” ujar Endi setengah berharap. “Di atas Bukit Prambutan, dulu ada sebuah telaga. Namanya Telaga Ngesong. Sekitar tahun 90-an, telaga ini mengering. Alangkah indahnya jika kami mampu merevitalisasi telaga dengan tanaman beringin. Tentu air telaga akan awet lagi. Pemandangan dari puncak Bukit Prambutan sangat indah, terutama ketika matahari terbit,” cerita Endi bersemangat.

Tanaman jeruk; salah satu tanaman konservasi lahan di bukit Prambutan.[Foto:NR]
Tanaman jeruk; salah satu tanaman konservasi lahan di bukit Prambutan.[Foto:NR]
Apa yang telah dilakukan dan menjadi harapan Endi dan teman-teman kelompok Prambutan Indah menurutnya butuh perjuangan dan nafas panjang. Aksi penyelamatan lahan seperti di Bukit Prambutan memang mendesak harus dilakukan segera. Yang telah dilakukan oleh Endi dan Kelompok Prambutan Indah adalah ikthiar untuk masa depan anak cucu mereka sendiri. Pihak-pihak yang berkompeten dan berkapasitas di bidang penyelamatan lingkungan, ia berharap segera merespon gerakan-gerakan seperti ini, tentu saja dengan membuat program yang berkelanjutan dan jangka panjang, bukan sekedar program konservasi jangka pendek yang bersifat seremonial.

Sumber Air Mbelik.[Foto:NR]

Sumber Air Mbelik yang mengering.[Foto:NR]“Semoga impian kami bisa terwujud, Mas. Setelah kelak alam kami kembali menghijau, ketersediaan air semoga sedikit demi sedikit kembali pulih. Tujuan kami selanjutnya adalah konservasi satwa dan siapa tahu kami bisa kami mengkondisikan wilayah Kedung Wanglu sebagai tempat tujuan wisata berbasis edukasi alam. Sekarang kami sadar, Mas, ternyata ketika kita hanya mengambil semuanya dari alam tanpa berusaha memeliharanya, kita sendiri yang rugi dan kesulitan,” ujar Endi lirih sambil mempersilahkan KH untuk menyeruput kopi hitam dan menikmati pisang yang ia-sajikan.

[KH/Edi Padmo]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar