Kapenewon Gedangsari, yang merupakan pemekaran dari Kapenewon Patuk, terletak di Zona Pegunungan Batur Agung utara dan berbatasan langsung dengan wilayah Klaten Jawa tengah. Ada suatu wilayah di Gedangsari yang berada di lereng pegunungan sisi utara, bahkan sebagian berada di dataran rendah, seakan telah termasuk wilayah Kabupaten Klaten. Tepatnya, wilayah itu adalah Dusun Sengonkerep Kalurahan Sampang Kapanewon Gedangsari. Bisa dikatakan hilir-mudik aktivitas ekonomi lebih sering dilakukan dengan Klaten dibanding Gedangsari. Kami, KH dan Komunitas Resan Gunungkidul, berkunjung ke sana beberapa waktu lalu.
Air terjun Luweng Sampang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) kecil. Struktur bebatuan unik yang tinggi kemudian merendah menciptakkan air terjun, meskipun tidak terlalu tinggi pula. Struktur batuan yang unik dan bergelombang itulah yang menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan. Sayang, saat kami bertandang ke sana air sungai mengering sehingga air terjun tidak ada lagi. “Ini air terjun kasat mata, ghaib,” seloroh Firman (26tahun), salah satu anggota pokdarwis, disambut tawa kami bersama. “Sungai mengering di musim kemarau. Warga mulai kekurangan air. Ini yang mendorong kami harus bergerak dan berbuat sesuatu,” ujar Ghani. “Salah satu yang kami pikirkan dan kami programkan adalah konservasi. Dan ini harus segera kami mulai sebelum terlambat,” terusnya. “Sekitar 90-an, waktu saya masih kecil, air sungai ini masih mengalir. Betul berkurang debitnya tetapi tidak sampai kering seperti sekarang ini,” sambung Firman.
“Ironis, Mas, wisata kami mengandalkan air, tetapi airnya menghilang,” sambung Eni (21 tahun), salah satu anggota Pokdarwis. “Sebetulnya ada 3 obyek wisata yang ingin kami angkat dan kami kemas dalam paket wisata, yaitu Luweng Sampang, Air Terjun Kluwih, dan Wisata Religi Giri Wening. Itu semua sangat potensial dan punya daya tarik sendiri,” tutur Firman. “Obwis Luweng Sampang berada persis di pinggir jalan arah Klaten. Ini yang akan kami jadikan sentra untuk dua obwis lain, nanti akan menjadi satu paket,” sambung Firman. Dulu saat air masih mengalir, wisata di sini lumayan ramai, Mas. Di bagian atas kami buat taman. Rencananya kami akan membuat wisata kuliner untuk perputaran ekonomi masyarakat,” sambung Eni.
Pembuatan belik berkedalaman 7 meter keluar air dengan debit yang besar telah membuktikannya. Ghani dan teman temannya juga menceritakan bahwa 10 tahun yang lalu Mbah Gito (seorang tokoh masyarakat) menanam beringin di kompleks Giri Wening. Saat ini air keluar dengan debit besar melalui belik di bawahnya. Hal inilah yang meyakinkan Ghani dan teman temannya, yang tergabung dalam komunitas Barisan Pemuda Kedung Banteng (BPKB) atau Karang Taruna “Mudo Makmur”, untuk segera memulai gerakan konservasi. Harapannya, penggalakan penanaman tanaman konservasi dapat menaikkan elevasi sumber air dan bahkan bisa memunculkan mata air.
“Apa yang kami lakukan sekarang semoga bermanfaat untuk ke depan, Mas, karena air adalah hajat hidup utama kehidupan. Dengan menjaga alam, alam akan menjaga kita,” pungkas Ghani menutup obrolan.
[KH/Edi Padmo]