Melacak Jalur Siklus Hidrologi di Gunung Keruk; Mengenal Potensi Gunung Api Purba selain Nglanggeran

oleh -
oleh
Pemandangan dari Puncak Gunung Keruk
Pemandangan dari Puncak Gunung Keruk
iklan dprd

Perjalanan menelusuri jalur siklus hidrologi Gunungkidul bersama Komunitas Resan Gunungkidul (Sabtu, 29/8) membawa KH menginjakkan kaki di salah satu wilayah Pegunungan Batur Agung Utara, tepatnya di Gunung Keruk, Dusun Glompong Kalurahan Pengkol Kapenewon Nglipar. Dusun Glompong terletak di ketinggian kurang lebih 500 meter DPL. Hari telah beranjak siang ketika kami sampai di sana. Meski siang, matahari  yang terik tak mengubah suasana sejuk di Glompong. Angin sering berhembus, semilirnya hilir mudik menerpa wajah kami. Gunung Keruk berada di sisi barat daya Pegunungan Sriten. Menurut kabar, Pemerintah akan membangun akses jalan menuju ke Sriten, melalui bagian bawah Gunung Keruk, membelah perkebunan sengon, akasia, dan mahoni milik warga. Kami njujug di tepi dusun di sebuah gubuk yang biasa disebut ‘markas’ oleh para anggota Karang Taruna “Putra Bakti Arga”, yaitu Karang Taruna Dusun Glompong. Gubuk itu kecil, berada di bawah jalan cor blok, sebagai tempat ngaso para taruna ketika mengelola kebun pembiakan sengon di sebuah pekarangan berundak yang cukup luas.

Lahan tempat Karang Taruna Dusun Glompong melaksanakan pembiakan tanaman.[Foto:NR]
Lahan tempat Karang Taruna Dusun Glompong melaksanakan pembiakan tanaman.[Foto:NR]
Kami disambut dengan hangat oleh Supriyanto (32 tahun), ketua Karang Taruna “Putra Bakti Arga”, tepat di gapura kecil yang menjaga jalan menurun ke bawah menuju lahan pembiakan tanaman, bertuliskan “Lestarikan Hutan demi Anak Cucu di Masa Depan”. Waktu itu Supriyanto bersama dengan teman-teman karang taruna, yaitu: Sunardi, Sugiyanto, Wasono, dan beberapa teman lain, sedang menyemai berbagai bibit tanaman penghijauan. Sejurus setelah kami dipersilakan duduk, dan disuguhi kopi panas dan tembakau, perbincangan “serius” tentang prosesi siklus hidrologi di sekitar Gunung Keruk, yang memang telah kami rencanakan sebelumnya lewat chat WA, pun dimulai.

“Putra Bakti Arga adalah wadah komitmen kami sebagai pemuda bagaimana mengabdikan diri untuk tanah kelahiran kami sendiri, Mas,” sambil mengistirahatkan tubuhnya di sandaran bambu Supriyanto menceritakan motif awal kerja mereka di karang taruna. “Ada banyak sumber air di sini, Mas, tapi tinggal beberapa yang debitnya bisa mencukupi kebutuhan masyarakat,” Sugiyanto, pemuda berambut gondrong yang kesehariannya bekerja sebagai pembiak madu hutan, mulai membuka kegelisahannya tentang sumber air di dusunnya.

Mengolesi ujung batang ficus dengan bawang merah.[Foto:NR]
Mengolesi ujung batang ficus dengan bawang merah.[Foto:NR]
Para Karang Taruna Putra Bakti Arga sedang memasukkan stek ficus ke dalam polybag.[Foto:NR]
Para Karang Taruna Putra Bakti Arga sedang memasukkan stek ficus ke dalam polybag.[Foto:NR]
Supriyanto, ketua Karang Taruna Putra Bakti Arga meletakkan stek ficus di tempat teduh.[Foto:NR]
Supriyanto, ketua Karang Taruna Putra Bakti Arga meletakkan stek ficus di tempat teduh.[Foto:NR]
“Ada 5 sumber air di sini, ada Sumber Air Wiyu, Ngasinan, Song Putri, Kembang, dan Tapan. Yang debit airnya masih cukup itu Sumber Air Kembang dan Tapan. Yang lain mulai menyusut,”  lanjut Sugiyanto. “Kami para pemuda dalam wadah Organisasi Karang Taruna “Putra Bakti Arga” berusaha memulai usaha konservasi dalam bentuk penghijauan, Mas. Di musim kemarau kemarin, banyak KK di dusun Glompong mulai merasakan kesulitan air,” ujar Sunardi.

iklan golkar idul fitri 2024

Begitu obrolan kami tentang kondisi sumber air di Dusun Glompong. Obrolan kami lanjutkan sambil menanam stek batang ficus (beringin Arjuna dan bulu) yang dibawa oleh Komunitas Resan Gunungkidul. Bibit-bibit ficus pada nantinya kelak, jika benar-benar sudah siap hidup di alam, akan ditanam di beberapa sumber air di Glompong sebagai salah satu upaya konservasi, dan mencoba mengembalikan siklus hidrologi di daerah Gunung Keruk agar kembali normal. “Ini investasi alam untuk masa depan generasi kami,” ujar Wasono penuh harap.

Matahari berada di atas kepala. Diantarkan oleh Sugiyanto dan Sunardi, KH dan Komunitas Resan Gunungkidul mulai melakukan tracking sumber air di Dusun Glompong satu demi satu. Pertama, Sumber Air Kembang. Sumber Air Kembang berbentuk sumur. Ada 7 pompa air yang dipasang warga Glompong di Sumber Air Kembang. “Satu KK satu pompa, Mas,” terang Sugiyanto.  Sumber-sumber air kecil banyak bermunculan di sekitar Sumber Air Kembang, di petak-petak lahan pertanian di sisi bawah. Kemungkinan besar konsentrasi alur air terfokus di sekitar Sumber Air Kembang ini.

Resan penjaga di Sumber Tapan; Petilasan Syech Maulana Maghribi.[Foto:NR]
Resan penjaga di Sumber Tapan; Petilasan Syech Maulana Maghribi.[Foto:NR]
Berikutnya, kami naik ke daerah yg lebih tinggi, namun masih satu jalur air bawah tanah dengan Sumber Kembang. Namanya Sumber Tapan atau Pertapan. Disebut tapan (dari kata patapan atau petapan) konon katanya karena sebagai tempat bertapa Syech Maulana Maghribi. Menurut cerita tutur yang diwariskan oleh Mbah Ira Dimeja, dulu ada seseorang berkelana hingga bertapa di sana, sebelum daerah bernama Glompong ada. Jika di kemudian hari sepeninggalnya orang itu ana rejaning jaman, semoga menjadi tenger nama tempat itu. Petilasan tempat si pengelana itu bernama petapan.

Sumber Tapan adalah sumber air yang terbesar di Dusun Glompong. Sekitar 20 meter dari resan petilasan, muncul sumur yang digunakan untuk warga Glompong. Sumur berada di dalam rumah warga bernama Manto Diarjo. Di tahun 1999, oleh Lembaga International CARITAS, sumur ini dipasangi pompa, airnya ditampung di bak penampungan, dan dialirkan untuk memenuhi kebutuhan 28 KK. Hingga sekarang, distribusi air dari Sumber Tapan diurusi oleh warga sendiri dan warga lain menyetor uang pengganti biaya listrik.

Ada dua resan tinggi besar yang menjaga Sumber Tapan. Di bawah resan di Sumber Tapan setahun sekali, pada hari Jumat Legi, yaitu sesudah waktu para petani panen atau menyongsong labuh, diadakan Upacara Adat Arakan. Upacara Adat Arakan adalah upacara adat warga Glompong dimana seluruh warga dusun mengadakan kendhurenan atau kenduri bersama di bawah resan dalam rangka menghaturkan rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta karena masih diberi air suci kehidupan dan panen pertanian. Dengan membawa uba-rampe berbagai jenis wulu-wetu bumi (hasil bumi) yang diwadahi tampah, seperti brakahan (umbi-umbian kimpul, gadhog, uwi, gembili, dsb.) dan berbagai hasil pertanian lainnya, dan dipimpin oleh kepala dusun, para warga melaksanakan upacara dengan sukarela.

Pak Gino, seorang tetua di Glompong, mengatakan, “Upacara Adat Arakan tidak untuk menyembah kayu watu, Mas, tapi sebagai bentuk rasa syukur kami karena hasil bumi yang melimpah, dan sebagai wujud rasa hormat dan terima kasih kami untuk para leluhur cikal-bakal, yang telah bersusah payah membuka Hutan Glompong menjadi pemukiman atau dusun.” Pak Gino menambahkan keterangan, jika adat Arakan ditinggalkan, maka para warga Glompong takut dianggap durhaka kepada leluhur, atau kualat, karena melupakan jasa para orang leluhur dusun yang dulu telah berjuang. Para anak cucu bisa merasakan manfaatnya. Ibaratnya, menurut pak Gino, para anak-cucu di Glompong sekarang ini tinggal nglungguhi klasa gumelar.

Sumber air di DAS Song Putri.[Foto:NR]
Sumber air di DAS Song Putri.[Foto:NR]
Perjalanan kami lanjutkan ke Sumber Song Putri. Karakter Sumber Song Putri agak berbeda dengan yang lain. Sumber Song Putri sebenarnya adalah sebuah jalur sungai. Batu-batu sebesar rumah bertumpuk tumpuk tak beraturan membentuk song (gua), menyebar di kanan-kiri lahan garapan warga. Konon katanya, celah-celah yang membetuk jalur sungai disebut Song Putri karena di sana merupakan  tempat bertapa seorang putri (Dewi Rasa Wulan), yaitu tokoh yang dituturkan oleh mitos sebagai keturunan Majapahit. Air Sumber Song Putri digunakan oleh beberapa warga yang mendiami RT Dusun Glompong paling atas. Jalur air di Sumber Song Putri berasal dari alur sungai dari Gunung Keruk yang mayoritas dipenuhi akasia. Kata Sugiyanto, sebenarnya pohon-pohon akasia di lahan-lahan di atas Song Putri, di lereng Gunung Keruk, telah ditebangi. Tetapi tak selang lama setelah ditebangi maka dengan cepat akan tumbuh lagi. Ketika memasuki musim kemarau seperti sekarang ini, debit air di jalur ini berkurang drastis.

Lahan pertanian di Dusun Glompong.[Foto:NR]
Lahan pertanian di Dusun Glompong.[Foto:NR]
Oleh Sugiyanto dan Sunardi kemudian kami diajak ke puncak Gunung Keruk. Jalur tracking yang lumayan menanjak membuat nafas kami terengah-engah. Di kanan-kiri jalan setapak menuju puncak Gunung Keruk diisi vegetasi perdu dan 90 persennya didominasi tanaman keras berjenis akasia. “Ini tanah person, Mas, dan akasia-akasia ini milik warga, untuk bahan mebel dan bangunan,” terang Sugiyanto. Ketika kami menyinggung tentang pengaruh buruk tanaman Akasia untuk kelangsungan sumber sumber mata air, Sugiyanto dan Sunardi tersenyum kecut. “Kalau sudah berurusan dengan ekonomi masyarakat, urusannya menjadi rumit,” Sunardi berpendapat. Memang, lereng Gunung Keruk adalah daerah utama tangkapan air hujan (cacthment area) yang mensuplai keberlangsungan air area di bawahnya, termasuk sumber-sumber seperti Sumber Song Putri, Sumber Tapan, dan sebagainya. Batu-batu sebesar rumah dan bus berserakan di sepanjang perjalanan. Entah ‘siapa’ dulu yang meletakkannya. Rasanya, jalur tracking ke puncak Gunung Keruk serupa dengan jalur pendakian Gunung Api Purba Nglanggeran.

Sesampai di puncak keringat kami yang bercucuran terbayar lunas dengan pemandangan indah sebatas cakrawala. Seluas mata memandang, bisa dikatakan bahwa hampir semua wilayah Gunungkidul kelihatan dari Puncak Gunung Keruk. Puncak Gunung Keruk merupakan Sultan Ground (SG) seluas kurang lebih 200 meter persegi. Di wilayah SG ini terdapat beberapa pohon pule yang sudah cukup besar. “Tempat ini dulu pernah dipakai untuk Camping Ground, Mas, atas inisiatif karang taruna. Area ini dulu tampak bersih. Akses jalan dibuka. Sempat ramai ketika malam minggu,” ujar Sugiyanto. Kami masih menyaksikan masih ada sebuah gasebo atau gardu pandang di puncak Gunung Keruk. Kata mereka, gasebo dibangun atas bantuan program SP2. Area camping tampak sudah tak terurus, ditumbuhi rumput dan perdu tinggi. “Terus terang kami para pemuda agak kecewa, Mas. Saat kami berusaha membuka wilayah Gunung Keruk menjadi tempat wisata minat khusus, dan sudah mulai ramai, harga tanah menjadi naik. Beberapa bidang tanah milik warga dijual ke orang luar. Kami takut wilayah Gunung Keruk ini semuanya menjadi milik investor,” Sunardi berkata dengan wajah sedih.

Sudut memandang dari Puncak Gunung Keruk sisi timur.[Foto:NR]
Sudut memandang dari Puncak Gunung Keruk sisi timur.[Foto:NR]
Kala itu senja hari sebentar lagi akan menjelang. Mengingat KH dan Komunitas Resan Gunungkidul hendak mampir ke suatu tempat, maka kami mengajak Sugiyanto dan Sunardi untuk segera turun dari puncak Gunung Keruk. Terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi oleh karang taruna Glompong di bidang wisata minat khusus, kami tetap salut atas inisiatif para pemuda Karang Taruna “Putra Bakti Arga” menganalisis dan memperhatikan gunung mereka sendiri. Pada kenyataannya, Gunung Keruk, yaitu arga (gunung) yang berada di dusun mereka, adalah wilayah yang berfungsi menangkap air hujan, dan di musim kemarau seperti sekarang ini mereka andalkan masih mampu merembeskan air kehidupan hingga area bawah. Mereka ingin berbakti kepada arga (gunung) mereka sendiri, warisan leluhur mereka sendiri. Mereka, para anggota karang taruna, masih peduli dengan gerakan konservasi air di tengah-tengah kenyataan bahwa siklus hidrologi di wilayah mereka terdesak oleh dominasi akasia, bahkan oleh sengon yang mereka kembangbiakkan di kebun karang taruna sendiri demi mencukupi kebutuhan ekonomi. Kami juga menaruh rasa hormat kepada Karang Taruna “Putra Bakti Arga” karena memiliki rasa cinta yang kental kepada tanah di dusunnya.

Semoga segera ditemukan sebuah solusi bagaimana memberdayakan potensi Gunung Keruk tanpa mengganggu keseimbangan alamnya, bahkan menjadikannya kawasan wisata berbasis pemberdayaan ekonomi masyarakat. Mengapa? Menurut pandangan kami, potensi wilayah Gunung Keruk tidak jauh berbeda dengan apa yang dimiliki oleh Kawasan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Begini kami berangan-angan sambil mengendalikan laju Honda Win tanpa rasa ‘takut-takut’ menuruni jalan cor blok menurun tajam, menjauh dari Gunung Keruk di belakang, meninggalkan Dusun Glompong kala petang.

[KH/Edi Padmo]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar