Perjalanan menelusuri jalur siklus hidrologi Gunungkidul bersama Komunitas Resan Gunungkidul (Sabtu, 29/8) membawa KH menginjakkan kaki di salah satu wilayah Pegunungan Batur Agung Utara, tepatnya di Gunung Keruk, Dusun Glompong Kalurahan Pengkol Kapenewon Nglipar. Dusun Glompong terletak di ketinggian kurang lebih 500 meter DPL. Hari telah beranjak siang ketika kami sampai di sana. Meski siang, matahari yang terik tak mengubah suasana sejuk di Glompong. Angin sering berhembus, semilirnya hilir mudik menerpa wajah kami. Gunung Keruk berada di sisi barat daya Pegunungan Sriten. Menurut kabar, Pemerintah akan membangun akses jalan menuju ke Sriten, melalui bagian bawah Gunung Keruk, membelah perkebunan sengon, akasia, dan mahoni milik warga. Kami njujug di tepi dusun di sebuah gubuk yang biasa disebut ‘markas’ oleh para anggota Karang Taruna “Putra Bakti Arga”, yaitu Karang Taruna Dusun Glompong. Gubuk itu kecil, berada di bawah jalan cor blok, sebagai tempat ngaso para taruna ketika mengelola kebun pembiakan sengon di sebuah pekarangan berundak yang cukup luas.
“Putra Bakti Arga adalah wadah komitmen kami sebagai pemuda bagaimana mengabdikan diri untuk tanah kelahiran kami sendiri, Mas,” sambil mengistirahatkan tubuhnya di sandaran bambu Supriyanto menceritakan motif awal kerja mereka di karang taruna. “Ada banyak sumber air di sini, Mas, tapi tinggal beberapa yang debitnya bisa mencukupi kebutuhan masyarakat,” Sugiyanto, pemuda berambut gondrong yang kesehariannya bekerja sebagai pembiak madu hutan, mulai membuka kegelisahannya tentang sumber air di dusunnya.
Begitu obrolan kami tentang kondisi sumber air di Dusun Glompong. Obrolan kami lanjutkan sambil menanam stek batang ficus (beringin Arjuna dan bulu) yang dibawa oleh Komunitas Resan Gunungkidul. Bibit-bibit ficus pada nantinya kelak, jika benar-benar sudah siap hidup di alam, akan ditanam di beberapa sumber air di Glompong sebagai salah satu upaya konservasi, dan mencoba mengembalikan siklus hidrologi di daerah Gunung Keruk agar kembali normal. “Ini investasi alam untuk masa depan generasi kami,” ujar Wasono penuh harap.
Matahari berada di atas kepala. Diantarkan oleh Sugiyanto dan Sunardi, KH dan Komunitas Resan Gunungkidul mulai melakukan tracking sumber air di Dusun Glompong satu demi satu. Pertama, Sumber Air Kembang. Sumber Air Kembang berbentuk sumur. Ada 7 pompa air yang dipasang warga Glompong di Sumber Air Kembang. “Satu KK satu pompa, Mas,” terang Sugiyanto. Sumber-sumber air kecil banyak bermunculan di sekitar Sumber Air Kembang, di petak-petak lahan pertanian di sisi bawah. Kemungkinan besar konsentrasi alur air terfokus di sekitar Sumber Air Kembang ini.
Sumber Tapan adalah sumber air yang terbesar di Dusun Glompong. Sekitar 20 meter dari resan petilasan, muncul sumur yang digunakan untuk warga Glompong. Sumur berada di dalam rumah warga bernama Manto Diarjo. Di tahun 1999, oleh Lembaga International CARITAS, sumur ini dipasangi pompa, airnya ditampung di bak penampungan, dan dialirkan untuk memenuhi kebutuhan 28 KK. Hingga sekarang, distribusi air dari Sumber Tapan diurusi oleh warga sendiri dan warga lain menyetor uang pengganti biaya listrik.
Ada dua resan tinggi besar yang menjaga Sumber Tapan. Di bawah resan di Sumber Tapan setahun sekali, pada hari Jumat Legi, yaitu sesudah waktu para petani panen atau menyongsong labuh, diadakan Upacara Adat Arakan. Upacara Adat Arakan adalah upacara adat warga Glompong dimana seluruh warga dusun mengadakan kendhurenan atau kenduri bersama di bawah resan dalam rangka menghaturkan rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta karena masih diberi air suci kehidupan dan panen pertanian. Dengan membawa uba-rampe berbagai jenis wulu-wetu bumi (hasil bumi) yang diwadahi tampah, seperti brakahan (umbi-umbian kimpul, gadhog, uwi, gembili, dsb.) dan berbagai hasil pertanian lainnya, dan dipimpin oleh kepala dusun, para warga melaksanakan upacara dengan sukarela.
Pak Gino, seorang tetua di Glompong, mengatakan, “Upacara Adat Arakan tidak untuk menyembah kayu watu, Mas, tapi sebagai bentuk rasa syukur kami karena hasil bumi yang melimpah, dan sebagai wujud rasa hormat dan terima kasih kami untuk para leluhur cikal-bakal, yang telah bersusah payah membuka Hutan Glompong menjadi pemukiman atau dusun.” Pak Gino menambahkan keterangan, jika adat Arakan ditinggalkan, maka para warga Glompong takut dianggap durhaka kepada leluhur, atau kualat, karena melupakan jasa para orang leluhur dusun yang dulu telah berjuang. Para anak cucu bisa merasakan manfaatnya. Ibaratnya, menurut pak Gino, para anak-cucu di Glompong sekarang ini tinggal nglungguhi klasa gumelar.
Sesampai di puncak keringat kami yang bercucuran terbayar lunas dengan pemandangan indah sebatas cakrawala. Seluas mata memandang, bisa dikatakan bahwa hampir semua wilayah Gunungkidul kelihatan dari Puncak Gunung Keruk. Puncak Gunung Keruk merupakan Sultan Ground (SG) seluas kurang lebih 200 meter persegi. Di wilayah SG ini terdapat beberapa pohon pule yang sudah cukup besar. “Tempat ini dulu pernah dipakai untuk Camping Ground, Mas, atas inisiatif karang taruna. Area ini dulu tampak bersih. Akses jalan dibuka. Sempat ramai ketika malam minggu,” ujar Sugiyanto. Kami masih menyaksikan masih ada sebuah gasebo atau gardu pandang di puncak Gunung Keruk. Kata mereka, gasebo dibangun atas bantuan program SP2. Area camping tampak sudah tak terurus, ditumbuhi rumput dan perdu tinggi. “Terus terang kami para pemuda agak kecewa, Mas. Saat kami berusaha membuka wilayah Gunung Keruk menjadi tempat wisata minat khusus, dan sudah mulai ramai, harga tanah menjadi naik. Beberapa bidang tanah milik warga dijual ke orang luar. Kami takut wilayah Gunung Keruk ini semuanya menjadi milik investor,” Sunardi berkata dengan wajah sedih.
Semoga segera ditemukan sebuah solusi bagaimana memberdayakan potensi Gunung Keruk tanpa mengganggu keseimbangan alamnya, bahkan menjadikannya kawasan wisata berbasis pemberdayaan ekonomi masyarakat. Mengapa? Menurut pandangan kami, potensi wilayah Gunung Keruk tidak jauh berbeda dengan apa yang dimiliki oleh Kawasan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Begini kami berangan-angan sambil mengendalikan laju Honda Win tanpa rasa ‘takut-takut’ menuruni jalan cor blok menurun tajam, menjauh dari Gunung Keruk di belakang, meninggalkan Dusun Glompong kala petang.
[KH/Edi Padmo]