NGAWEN, (KH),– Ritual Jamasan atau siraman pusaka di bulan Sura/Muharram memang lazim dilakukan oleh masyarakat Jawa. Demikian juga masyarakat di berbagai daerah Gunungkidul, ritual Jamasan atau membersihkan benda-benda pusaka yang dianggap keramat masih dilestarikan.
Berbagai benda pusaka, seperti Keris, Tombak, Pedang dan yang lain, memasuki bulan Sura ini akan dimandikan atau dibersihkan oleh orang tetua adat.
Seperti halnya yang dilakukan oleh warga Padukuhan Ngawen, Kalurahan Kampung, Kapanewon Ngawen, Gunungkidul. Pada hari Jumat Legi (13/8/2021), warga Padukuhan Ngawen melaksanakan ritual Jamasan pusaka tombak Kyai Totok dan puluhan pusaka milik warga.
Ritual dimulai pagi hari, sekitar pukul 08.00 WIB. Belasan warga berpakaian Jawa lengkap mulai berkumpul di salah seorang rumah warga yang dijadikan tempat Jamasan. Ritual dimulai dengan pengambilan air Jamasan di sendang Panguripan yang terletak sekitar 300 meter dari lokasi.
Sumanto (63), selaku ketua paguyuban “Taman Kautaman” menyatakan, bahwa ritual Jamasan ini sudah rutin dilakukan oleh masyarakat Padukuhan Ngawen. Tujuan upacara ini disamping melestarikan tradisi, juga untuk “nguri-uri” budaya warisan leluhur.
“Pada masa Pandemi ini, kita tetap melakukan upacara tradisi, tapi pelaksanaanya tidak seperti biasa, harus taat aturan pemerintah,” terang Sumanto, Jumat (13/8/2021).
Sumanto melanjutkan, Jamasan pusaka ini, jika tidak terjadi pandemi biasanya dihadiri oleh banyak orang dari luar Padukuhan Ngawen. Mereka masing-masing membawa pusaka miliknya untuk dijamas bersama tombak Kyai Totok.
“Tombak Kyai Totok, dipercaya sebagai pusaka Kampung Ngawen, masyarakat percaya, bahwa tombak ini adalah peninggalan kerajaan Majapahit, yang dibawa oleh leluhur mereka untuk membangun pemukiman di kawasan Kampung Ngawen,” lanjutnya.
Dalam do’a yang diucapkan oleh tetua adat, selain permohonan agar seluruh warga Kampung Ngawen selalu selamat dan sejahtera, panen pertanian melimpah juga dimohonkan agar pandemi segera berlalu. Alam dan kehidupan masyarakat kembali aman dan tentram.
“Menurut hitungan Jawa, kita akan memasuki masa “Windu Sancahya”, dalam arti akan kembali bercahaya. Segala ritual ini hanya permohonan, semuanya akan kembali kepada Gusti Yang Maha Kuasa, harapannya Pandemi segera hilang dari bumi Nusantara,” imbuh Sumanto.
Ritual Jamasan sendiri dilakukan di bawah terik matahari, tampak tetua adat yang sudah sepuh dan beberapa orang yang membantu sibuk membersihkan berbagai pusaka yang ada. Dimulai dari Tombak Kyai Totok, kemudian dilanjutkan membersihkan pusaka-pusaka yang lain milik warga.
Purno Jayusman (58), salah seorang warga yang rumah mertuanya digunakan untuk menyimpan tombak pusaka Kyai Totok mengatakan, ritual Jamasan kali ini memang diselenggarakan tidak seperti biasanya.
“Biasanya peserta membludak, tapi karena Pandemi peserta sangat kita batasi, yang terpenting tradisi tetap dilaksanakan dan tidak menyalahi aturan pemerintah terkait penanggulangan Pandemi,” terang Purna.
Purno melanjutkan, acara kali ini memang melibatkan beberapa pemuda, dengan tujuan agar ada pembelajaran bagi generasi penerus, sehingga tradisi ini tidak kehilangan generasi.
“Harus ada regenerasi, agar tradisi bisa lestari,” imbuh Purno.
Mbah Yatmo (83) sang juru Jamas, dengan logat jawa yang kental menerangkan bahwa ritual Jamasan ini menggunakan berbagai bahan dan tata cara atau metode khusus. Tidak semua orang bisa membersihkan pusaka.
“Harus dengan laku prihatin, dan mengetahui ilmunya. Tidak boleh asal membersihkan,” ujar Mbah Yatmo, dengan logat Jawa.
Dengan duduk bersila, Mbah Yatmo tampak sibuk membersihkan pusaka. Beberapa orang yang membantu terlihat juga dengan sigap mengambilkan bahan-bahan yang dibutuhkan Mbah Yatmo.
“Pusaka-pusaka ini direndam dulu pakai air sendang Panguripan, kemudian dibersihkan dengan jeruk nipis, minyak klentik (minyak kelapa), dan Warangan,” lanjut Mbah Yatmo.
Bagian mengoleskan Warangan inilah bagian terakhir dari prosesi. Karena serbuk Warangan ini berfungsi untuk membuat Pamor dari pusaka menjadi lebih tampak. Dari beberapa sumber didapat keterangan bahwa serbuk Warangan ini mengandung racun Arsenik, yang sangat berbahaya jika masuk ke aliran darah manusia.
Tangan-tangan renta Mbah Yatmo tampak masih terampil membersihkan pusaka-pusaka di hadapannya dengan cara memijit dan mengusap.
“Jangan sampai kena yang bagian tajam, membersihkan pusaka harus dari bagian bawah ke arah atas, tidak boleh terbalik, kalau dari atas bisa mengenai,” lanjut mbah Yatmo, sembari memainkan jari jarinya dengan lincah.
Mbah Yatmo sendiri, tentu tidak hapal istilah racun Arsenik, tapi dengan pengetahuan lokal yang dia dapat dari leluhur, tekhnik membersihkan pusaka dan pemahaman “kedah ngati-ati, saget ngenani“(harus hati hati, agar tidak terkena) adalah ilmu lokal atau ketrampilan khusus. Racun Arsenik memang bisa masuk ke aliran darah lewat luka dan bisa berakibat fatal.
Masih dengan logat bahasa Jawa yang kental, Mbah Yatmo menerangkan bahwa ritual Jamasan atau membersihkan pusaka ini, juga dimaknai untuk membersihkan hal-hal negatif pada tubuh, sifat manusia atau alam lingkungan tempat tinggal.
“Mugi kita sedaya saget uwal saking bebendhu, virus korona mugi gek saget ilang, kita sedaya slamet, kalis ing sambikala (semoga kita semua bisa terhindar dari bahaya, virus corona segera hilang, semua selamat dari segala marabahaya),” pungkas Mbah Yatmo setengah berdo’a. (Edi Padmo)