Oleh TATANG YUDIATMOKO
KABARHANDAYANI.– Arus selalu bergerak. Dia tidak bisa dilawan, tidak bisa dibendung. Sifatnya alamiah selalu berjalan. Arus selalu ada di dalam kelompok di mana kebersamaan sikap, keinginan, nilai, dan harapan masa depan. Tiap budaya ada arus bawah. Dia tidak merusak jika diambil dari kearifan local. Bisa diberi arti baru, tetapi dia tidak meninggalkan roh yang ada dalam masyarakat.
Roh itu bukan baru saja ada. Dia sudah ada sejak jaman dulu, lalu menjadi tradisi. Selama penghargaan terhadap tradisi selalu ada, roh itu selalu ada. Meski tradisi bisa luntur, roh itu tidak hilang. Roh terbawa kepada rasa yang ada. Rasa bisa melawan, menolak, rikuh, menghindar tetapi tidak kalah. Hanya pemaksaan nilai baru bisa mendorong rasa, tetapi tidak hilang. Nilai baru, yang dipaksakan, tidak menjadi rasa semua orang, terlebih dalam satu kebudayaan.
Jathilan, yang di dalamnya ada gambaran kuda dalam bentuk kuda kepang, menunjukan kuda bukan hanya hewan tugangan. Kuda menjadi sebuah status, bukan kudanya, tetapi penunggangnya. Dalam jathilan status penunggang kuda bukanlah hak orang tertentu, hak semua orang. Semua prajurit berhak menaiki kuda. Prajurit selalu bagian yang terbanyak dalam pasukan, dan kitapun tahu, rakyatlah yang terbanyak dalam sebuah negara.
Sebuah kuda kepang juga dikendarai wanita, sebuah arus yang menyatakan wanita juga sama dalam tanggungjawab sebagai rakyat. Wanita tidak lagi melambai tangan ketika suaminya, tunangannya, pujaannya, naik kuda untuk berangkat perang. Wanita sudah bisa ikut naik kuda menuju medan perang.
Dalam reog dan atau jathilan di beberapa tempat bisa berbeda. Berbeda dalam corak, penokohan, atau bahkan sekedar dalam pernak pernik. Semua tergantung rasa yang ingin disampaikan. Penokohan dalam reog yang tidak pernah selesai adalah penokohan pihak baik dan pihak buruk, meski pihak yang baiklah selalu menang. Ini sebuah peringatan, bahwa arus bawah yang terbentuk dari bawah, tidak pernah kalah walau berliku dan memakan waktu.
Seorang pemimpin juga digambarkan dalam reog. Rakyat menyadari bahwa seorang pemimpin harus diberi keistimewaan karena tugasnya. Rakyat membutuhkan seseorang yang di depan untuk diikuti. Dalam mengikuti pemimpin, rakyat juga melindungi pemimpin, memberi lebih. Payung yang digunakan dalam pentas reog dapat dilihat sebagai kesadaran memberikan suatu keistimewaan.
Keris bukanlah senjata yang paling handal dalam medan perang. Keris adalah simbol suatu pilihan oleh rakyat untuk menunjuk siapa pemimpinnya. Dulu, seorang pemimpin cukup membawa keris. Berdiri tegak memberi semangat, memberi perintah sambil keris terhunus. Pertempuran pemimpin, kalaupun ada, adalah pertempuran antar pemimpin. Pertempuran yang semuanya menggunakan keris. Sekarang, dalam reog tokoh pembawa keris juga membawa pedang. Pedang yang dia hunus, sementara keris terselip di pinggang. Arus bawah menghendaki pemimpin turun ke bawah. Menghunus pedang. menghadapi musuh bersama. Dan keris, hanya akan terhunus ketika sangat diperlukan. Keris akan menjadi pusaka di pinggang. Dengan atau tampa keris seorang pemimpin sejati bisa dilihat oleh rakyat.
TATANG YUDIATMOKO adalah Staf redaksi kabarhandayani