GUNUNGKIDUL, (KH),– Budi Suwito memiliki nama kecil Sukiyo. Ia dilahirkan di Gunungkidul, 31 Desember 1951. Budi Suwito merupkan seorang seniman. Ia mempelajari dan memainkan Reog, seni pertunjukan rakyat yang populer di Gunungkidul. Dia juga aktif melatih dan mendampingi kelompok-kelompk seni yang sejenis.
Warga yang kini tinggal di Tunggul Barat, Semanu, Semanu, Gunungkidul ini belajar kesenian reog secara otodidak. Darah seninya barangkali muncul dari ayahnya. Dahulu almarhum ayahnya merupakan pegiat kesenian yang sama.
Selepas G30S PKI dia mulai mengikuti kemanapun ayahnya, So Dinama pentas. Ke pelosok-pelosok dusun dan desa selalu ikut. Ayahnnya merupakan penari reog yang menampilkan fragmen perang. So Dinama memegang pedang sebagai prajurit. Menempati barisan depan layaknya pemimpin pasukan.
Lama-lama proses menyertai orang tuanya menarik minatnya untuk belajar. Pelan-pelan Sakiyo muda belajar dan sekali dua kali ikut menari. Ia ingat saat itu sekitar tahun 1975, persis saat usianya menginjak 20 tahun.
Sakiyo lebih banyak terlibat dalam kelompok penari yang membawa rontek atau panji. Tak sebatas menari, Sakiyo yang banyak bergelut dibidang kesenian di kampungnya kemudian melatih anak-anak, remaja termasuk membentuk kelompok usia dewasa.
Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) kemudian turut andil mendukung kelompok-kelompok seni di daerah. Termasuk mendampingi kelompok-kelompok yang Sakiyo dirikan.
Sosialisasi dan sedikit corak baru dari BKKNI yang dipelajari kelompok Sakiyo mengantarkan pada perolehan juara pada lomba tingkat kabupaten suatu ketika.
“Kehadiran BKKNI memberikan sedikit perbaikan iringan music ritmis dan gerak tari pada kelompok reog kami. Tak banyak berbeda dengan yang dipelajari sebelumnya,” tutur Budi suatu ketika saat ditemui di rumahnya.
Usai menikah, Sakiyo lebih akrab disapa Budi Suwito. Ia masih bermain reog dan membentuk kelompok baru. Bahkan, kepiawaiannya perihal seni melebar ke jenis kesenian pertunjukan yang lain, yakni ketoprak, jatilan dan doger.
Samahalnya dengan reog, Budi Suwito juga bermain dan melatih kelompok ketoprak di berbagai wilayah. Mencakup Wonosari, Karangmojo, Rongokp, Girisubo, dan Ponjong. Dalam setiap wilayah kapanewon, tak hanya berhenti pada satu kelompok saja, bahkan sampai 3 hingga 4 kelompok.
Dia tak merasa letih diminta melatih. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain disela kesibukannya jualan kerupuk keliling. Pengakuannya, bermain dan melatih reog serta kesenian yang lain menjadi semacam spirit hidup dan penyembuhan. Budi berkelakar, berinteraksi bersama anak muda dalam latihan dan pentas, seolah membuatnya tak pernah bertambah tua. Sekalipun perjuangannya tak mudah. Dulu, ia harus rela naik truk trasnportasi umum saat hendak melatih reog dan ketoprak di wilayah Rongkop. Karena jauh, ia terpaksa menginap di wilayah kelompok seni yang dilatih.
Berkesenian pada jaman dulu segala sesutunya serba terbatas. Kostum reog seperti penutup kepala atau kuluk berbahan kardus yang dibalut kertas warna merah dan putih. Baju lengan Panjang dan rompi pun juga seadanya.
Untuk kelompok di kampung halamannya, pengadaan seragam haruslah ditebus dengan uang hasil patungan. Masyarakat menyumbang hasil panen, seperti kacang, jagung dan lain-lain. Oleh panitia pengadaan kostum, kemudian hasil panen itu dijual lalu uangnyaa untuk membeli kostum.
Sebagai pemain dan pelatih Budi Suwito tak pernah meminta bayaran. Ia lakukan atas dasar kecintaannya pada kesenian daerah. Kalau periode orangtuanya, kayu satu bongkok dan air beberapa pikul pernah didapat usai pentas. Era Budi Suwito sekedar uang pengganti bensin atau BBM saja. Tanpa diberi uangpun Budi tetap menyanggupi untuk pentas.
Kiprah Budi melatih tak berhenti sampai sekarang, bahkan kelompok doger asal Imogiri juga memintanya sebagai mentor. Budi juga masih sibuk melatih manakala terjadi regenersi pada tiap-tiap kelompok. Kalau kelompok seni di suatu wilayah sudah ada yang mumpuni untuk melatih, ia hanya sesekali diundang.
Suami Tarmilah ini merupakan pembelajar yang baik. Apa yang pernah ia temui terekam dalam memorinya. Semua Gerakan tari reog, termasuk urutan lakon-lekon ketoprak ia hafal. Modal itu yang kemudian mengantarkannya menjadi pelatih kelompok seni-kelompok seni di berbagai wilayah kapanewon.
“Dalam perjalanan berkesenian, saya juga kerap tampil bersama seniman lain di seputar Gunungkidul, seperti bersama Joni Gunawan, Angger Sukisno, dan lain-lain,” imbuhnya.
Berkesenian yang tanpa pamrih membuatnya mirip relawan. Relawan dalam dunia kesenian tradisional yang akan senantiasa berjuang agar seni dan tradisi warisan nenek moyang tak lenyap tergilas zaman. Kebahagiaan selalu akan meletup-letup pada benaknya setiap kali pentas atau saat sedang melatih menari reog. Terlebih, anak didik yang dilatih dengan cepat menguasai gerak tari yang diajarkan.
Guratan wajah dan tubuh yang tampak mulai mengeriput, menandakan bahwa Busi Suwito sudah tidak muda lagi. Di usia senja akativitas melatih dan membina kelompok seni tidak kendur sedikitpun. Pada usia yang sudah menginjak 72 tahun, kegigihan dan pengabdiannya terhadap seni budaya tak kunjung pudar.
Kelompok-kelompok seni pertunjukan maupun seni kerakyatan yag telah dibentukdan bina cukup banyak, berikut beberapa contohnya:
- Seni Jathilan di wilayah Kalurahan Sidorejo dan Bedoyo Kapanewon Ponjong.
- Seni Jatilan di wilayah Pucung, Jerukwudel, Nglindur dan Karangawen Kapanewon Girisubo
- Seni jatilan padukuhan Gandu, Semugih, Kapanewon Rongkop
- Seni Reyog dan Jathilan di wilayah Kalurahan Semanu, Kapanewon Semanu.
- Seni Reyog di wilayah Bedoyo dan Sidorejo Kapanewon Ponjong.
- Seni Ketoprak di wilayah Pucung dan Jerukwudel kapanewon Girisubo.
- Seni Ketoprak di wilayah Bedoyo dan Sidorejo Kapanewon Ponjong
- Seni Ketoprak di wilayah Semanu, Kapanewon Semanu.
Budi Suwito bersama istrinya Tarmilah mempunyai 3 anak, antara lain Indah Triwahyuni, Artama, dan Akhirani. Sejauh ini Artamalah yang punya kemiripan dengan Budi, turut terjun ke dunia seni. Ia belakangan intens belajar sebagai penabuh kendang. (Kandar)