Pergeseran Makna Rasa Syukur Menjadi Hitungan Untung Atau Rugi

oleh -1470 Dilihat
oleh
hajatan
Penerimaan tamu yang hadir dalam sebuah hajatan Pernikahan. (KH/ Kandar)
Penerimaan tamu yang hadir dalam sebuah hajatan Pernikahan. KH/ Kandar
Penerimaan tamu yang hadir dalam sebuah hajatan Pernikahan. KH/ Kandar

GUNUNGKIDUL, (KH)— Masyarakat di manapun tempat pasti memiliki tradisi ungkapan wujud syukur dan bersuka cita atas tercapainya atau terlaksananya suatu peristiwa penting. Karena penting, sehingga dianggap patut menjadi kenangan dikemudian hari, maka sebuah ungkapan itu diwujudkan kedalam sebuah upacara, seremonial, atau perayaan.

Di Gunungkidul hal tersebut lazim dinamakan menggelar hajatan, ewoh, atau duwe gawe. Bertujuan memberikan kesan kenangan menarik maka dibuatlah acara hajatan pernikahan, supitan, dan lain sebagainya semeriah mungkin. Dilengkapi hiburan berupa pentas Campur sari, Wayangan, Karawitan, atau Sholawatan, dan lainnya.

Dalam sebuah acara wujud syukur tersebut, pemilik hajat tentu tidak dapat terlepas dari bantuan orang lain, tetangga dan kerabat, umumnya, berlandaskan rasa keguyuban, kegotong-royongan tetangga akan membantu kelancaran prosesi tersebut, yang dinamakan rewang, nyinom dan sejenisnya.

Atas karena keguyuban dan kegotong-royongan pula, tamu yang mendapat undangan akan hadir, pemilik hajat berharap tamu undangan yang hadir turut merasakan kebahagiaan, sekaligus ikut mendoakan apa yang telah terselenggara berjalan lancar, serta berharap, kedepan kebaikan dan keberkahan selalu tercurah.

Tradisi para tamu yang datang, selain memberikan doa restu, juga memberikan dukungan materiil baik berbentuk uang maupun barang, biasa disebut nyumbang, njagong, ngamplop, dan lainnya. Ini juga dimaknai sebagai bentuk gotong-royong, guyub-rukun.

Sayang, saat ini sudah ada pergeseran makna, hal semacam ini mulai luntur. Ketua Dewan Budaya, CB Supriyanto secara sekilas mengamati fenomena momentum hajatan terkadang bukan lagi sebagai wujud syukur, dan suka cita, tetapi menjadi suatu upaya memperoleh keuntungan materiil, bisnis.

Lumrah terdengar diperbincangan masyarakat, pada akhir hajatan ditanyakan, mentas apa tidak, rugi apa bathi, dan seterusnya. Hal ini untuk mengetahui apakah seluruh pembiayaan hajatan dapat ditutup dengan perolehan jagongan dan sumbangan dari para tamu.

“Ya ada sekarang yang seperti itu, meski tidak banyak tetapi kenyataannya memang ada,” ujarnya, Senin, (19/4/2016). Ia menyebut hal tersebut merupakan pergeseran makna dari sebuah hajatan sebagai bentuk syukur.

Kenyataan adanya pemilik hajat yang memiliki niat mencari untung rugi atau bisnis, cukup disayangkan, dapat diartikan hanya mementingkan hal materinya saja, hal tersebut tabu dan menciderai serta lepas dari filosofi guyub-rukun.

Disinggung mengenai besar kecilnya sumbangan yang diberikan kerabat, tetangga dan tamu undangan sebagai bentuk ukuran keguyuban dan kerukunan ia menilai hal tersebut merupakan bentuk kepedulian dan kekeluargaan terhadap pemilik hajatan.

Menurutnya juga tidak selalu positif, karena ukuran kemampuan setiap keluarga berbeda-beda, sebenarnya jangan sampai terlalu dipaksakan, tetapi biasanya ada rasa pekewuh, ini yang masih kuat dipegang masyarakat. Meski harus mengorbankan alokasi kebutuhan lain untuk kebutuhan umum sanak (nyumbang, jagong dan lainnya).

Ia menganggap bahwa orang yang mendapat undangan seolah mendapat penghormatan dan penghargaan. Undangan untuk datang mestinya dianggap sebagai bentuk penghargaan.

Hal tersebut menurutnya merupakan pergeseran nilai dan makna, ia mengaku, budaya dan tradisi berlandas kegotong-royongan tersebut melenceng dari nilai yang ada. Dalam hajatan lain, panen raya, dahulu ada tradisi Nebo, gotong-royong panen secara bersama, bergantian antara keluarga satu dengan yang lain. hal ini tidak ada materi. Mestinya, pesan dia, gotong-royong dalam hajat ewuh juga tidak semata materi, karena pada akhirnya juga akan bergantian.

“Budaya dalam beberapa hal tidak harus stagnan, tetapi mengikluti perkembangan zaman, tetapi ada hal-hal yang harus dijaga jangan sampai melenceng terlalu jauh,” tandasnya. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar