Pagelaran Puisi Sirkus Akademik: Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus Harus Dihentikan

oleh -934 Dilihat
oleh
puisi
Banal Komunal menggelar "Pagelaran Puisi Sirkus Akademik" di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. (ist)

YOGYA, (KH),– Sebuah sorotan tajam terhadap masalah kekerasan seksual di lingkungan kampus datang dari Banal Komunal melalui acara “Pagelaran Puisi Sirkus Akademik” yang digelar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pagelaran puisi ini bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan bentuk protes keras terhadap lemahnya kebijakan hukum yang seringkali gagal melindungi para korban pelecehan seksual, khususnya di dunia akademik.

Banal Komunal, sebagai gerakan seni protes, memilih puisi sebagai senjata untuk mengungkap dan menggugat budaya impunitas yang mengakar di perguruan tinggi. Dalam acara yang sarat dengan pesan sosial ini, mereka tidak hanya menyuarakan dukungan bagi para korban, tetapi juga mengajak seluruh masyarakat kampus untuk melawan kebudayaan kekerasan seksual yang masih sering dianggap remeh.

“Kami percaya bahwa trauma seumur hidup tidak boleh dianggap remeh, dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk mendengarkan dan mendukung para korban,” ujar Yoman Making selaku Manager Program Banal Komunal belum lama ini.

Masalah kekerasan seksual di kampus seni, yang selama ini belum mendapat perhatian yang cukup, dipandang sebagai isu yang mendesak untuk diselesaikan. Sering kali, perhatian hanya tertuju pada oknum dosen sebagai pelaku, padahal mahasiswa juga turut berperan dalam membudayakan perilaku merugikan ini. Dalam banyak kasus, pelecehan seksual dianggap sebagai hal sepele, tanpa menyadari bahwa hal tersebut menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi para mahasiswa dan staf.

Melalui puisi-puisi yang tajam dan penuh makna, Banal Komunal berusaha membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai kekerasan seksual di lingkungan akademik. Beberapa puisi mereka, seperti “Badut Bergelar,” mengungkapkan dengan kuat citra dosen yang melakukan pelecehan, sementara “Kantin Kanibal” dan “Perpustakaan Hantu” mengeksplorasi bagaimana sistemik kekerasan seksual berjalan tanpa terkendali di dalam kampus.

Tujuan dari pagelaran ini lebih dari sekadar menyoroti masalah; mereka ingin mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama menciptakan lingkungan kampus yang aman, inklusif, dan penuh rasa hormat.

“Kami ingin membuka ruang aman untuk suara-suara yang selama ini terpendam,” ungkapnya.

Mereka berupaya untuk membongkar topeng institusi pendidikan, yang seringkali hanya memperlihatkan fasad kebaikan, sementara di baliknya terdapat realitas kelam tentang kekerasan yang dialami para korban.

Dengan memanfaatkan ruang publik kampus—dari halaman hingga perpustakaan—Banal Komunal menghadirkan karya-karya puisi yang mengundang refleksi dan perenungan dari semua pihak. Seni tidak hanya sebagai ekspresi kreatif, tetapi juga sebagai alat perjuangan. “Pagelaran Puisi Sirkus Akademik” ini menjadi langkah nyata dalam upaya untuk mengubah narasi dan membawa perubahan mendalam dalam sistem pendidikan, terutama dalam hal perlindungan terhadap hak-hak dan keselamatan mahasiswa.

Banal Komunal menegaskan bahwa gerakan ini bukan hanya tentang kritik terhadap sistem, tetapi juga tentang membangun solidaritas dan dukungan bagi korban kekerasan seksual di kampus. Ini adalah panggilan untuk kita semua agar lebih peka dan bertindak nyata dalam menciptakan lingkungan akademik yang aman dan bebas dari kekerasan.

Dengan pagelaran puisi ini, Banal Komunal bukan hanya menciptakan sebuah aksi seni, tetapi juga menghadirkan kesempatan untuk sebuah perubahan yang lebih besar dalam sistem pendidikan, yang lebih berpihak pada korban dan memprioritaskan keselamatan setiap individu. (*)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar