Mahasiswa ISI Yogya Sulap Pos Ronda Jadi Galeri Seni

Pos ronda jadi ajang pertunjukkan seni. (dok. IKMT/istimewa)

YOGYAKARTA, (KH),– Siapa sangka pos ronda bisa menjadi ruang galeri seni yang hidup? Di RT 07 Prancakglondong, Sewon, Bantul, mahasiswa dari Ikatan Keluarga Mahasiswa Timur (IKMT) ISI Yogyakarta membuktikan bahwa ruang publik sederhana bisa menjadi panggung untuk tradisi dan kreativitas.

Melalui program bertajuk “Rakat-Rekat #2: Tabakar”, IKMT menghadirkan pameran dan pertunjukan seni bertema revolusi budaya dari 29 hingga 31 Mei 2025. Pos ronda yang selama ini hanya menjadi tempat jaga malam dan main kartu warga, disulap menjadi ruang pameran karya visual bertajuk “Ronda-Ronda Sayang”, sementara lapangan kampung menjadi panggung utama pertunjukan seni bertajuk “Bara Rasa dari Timur”.

Bacaan Lainnya

Kurator pameran, Chalien Pramesti Indrawati, menyebut pendekatan ini sebagai bentuk laboratorium kultural, tempat seni tradisi, modernitas, dan identitas lokal berjumpa dalam ruang sosial yang alami.

“Pos ronda tidak pernah meminta untuk menjadi galeri, tetapi ruang ini justru menyajikan kejujuran yang tidak dimiliki gedung pameran mewah,” ungkapnya.

Sebanyak 14 karya seni visual dari 9 perupa muda asal Indonesia Timur dipamerkan di dalam pos ronda berdinding kuning yang masih menyisakan aroma kretek dan jejak sandal jepit warga. Nama-nama seperti Sandroseni, Yano Ropa, hingga Santy Wulo menghadirkan karya yang tidak hanya indah, tetapi juga mengakar kuat pada narasi identitas.

Pameran ini juga mengusung metode kuratorial unik: diskusi langsung di dalam pos ronda sambil main catur, kritik dari warga tanpa latar belakang seni formal, dan penghapusan batas antara seniman, karya, dan penonton. Hasilnya: seni yang lebih hangat, membumi, dan bermakna.

Puncak acara pada 31 Mei 2025 diwarnai oleh penampilan etnik dari Indonesia Timur, menghadirkan kelompok seperti SOUL OF CELEBES, SOKA SAE, dan penari muda berbakat asal Manggarai, Eman Jemalik. Penampilan ini bukan sekadar pertunjukan, tetapi perjalanan spiritual yang membawa penonton dari refleksi personal menuju kegembiraan komunal.

Instalasi obor menyala secara bertahap, menandai transformasi emosi dan spiritualitas yang diusung dalam pertunjukan bertema “perjalanan transformatif” tersebut.

Melalui program ini, IKMT ISI Yogyakarta membuktikan bahwa seni tidak harus berada di ruang steril, megah, dan eksklusif. Kampung bisa menjadi galeri, dan warga bisa menjadi apresiator sejati. Seni pun kembali ke akarnya: menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

“Ini bukan tentang membawa galeri ke kampung, tapi membiarkan kampung mengajarkan galeri bagaimana cara bernapas,” tutur Chalien.

Program ini membuka jalan baru bagi pengembangan seni budaya inklusif di Yogyakarta, memperkuat kohesi sosial, sekaligus melestarikan kekayaan budaya Indonesia Timur yang kerap termarjinalkan dalam arus modernitas.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar

Pos terkait