PALIYAN, (KH),– Masih cukup terawat, namun karena umur yang sudah cukup tua, buku atau kitab kumpulan kidung atau tembang Jawa di Paliyan ini nampak kusam. Sampulnya yang tebal berwarna kehitaman. Sementara warna lembaran kertas di dalamnya berwarna kecoklatan. Meski begitu tulisan aksara Jawa masih cukup jelas terlihat.
Pemiliknya, Sutoyo (43) mengaku mendapat warisan dari ayahnya. Dirinya merupakan keturunan ke-7 pewaris buku kuno tersebut. Buku yang masih terus ia rawat itu diperkirakan berisi 500-an halaman.
Menurutnya, buku berisi tembang macapat. Sering dilantunkan pada beragam kegiatan. “Bagi masyarakat Jawa Tembang Macapat dilantunkan saat kelahiran bayi maupun upacara di kediaman seseorang yang belum lama melahirkan buah hatinya,” ujar lelaki yang memiliki nama lain Ki Sabdo Mandi ini, Senin, (10/9/2019) disebuah agenda Sedekah Labuh. Buku tersebut menjadi salah satu peninggalan leluhur yang dipamerkan selain benda pusaka.
Lebih dalam diutarakan, melantunkan tembang Macapat dilakukan supaya sang buah hati senantiasa diberi kesehatan sekaligus keselamatan. Adapun waktu yang dibutuhkan biasanya berlangsung sampai 35 hari.
“Tembang Macapat menjadi doa agar anak tumbuh dewasa, jadi anak sholeh sholehah berbakti pada orang tua berguna bagi nusa dan bangsa,” kata Sutoyo.
Ritual tersebut dewasa ini diakui sangat jarang ditemui. Namun dirinya sesekali masih melakukannya. Terlebih saat buah hati rewel. Melantunkan tembang Macapat sembari mengelus rambut anak balita, dapat membuatnya berangsur tenang lalu pulas tertidur.
Tembang Macapat menurut lelaki yang tinggal di Desa Karangduwet, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunungkidul ini belakangan juga dipakai sebagai media spiritual. Seperti untuk menghilangkan sawan (hal buruk atau sakit pada balita karena pengaruh hal gaib)
Sutoyo mengaku tak dapat menerjemahkan keseluruhan tulisan tangan aksara Jawa yang ada di buku kuno tersebut. Dikisahkan, ayahnya, Romo Darmo Winoto lebih dulu berpulang sebelum menerjemahkan buku dari aksara Jawa ke huruf latin.
Dari orang tuannya, Sutoyo memperoleh keterangan bahwa benda bersejarah tersebut dibuat di era Sri Sultan Hamengkubuwono IV, antara tahun 1814-1822.
11 tembang Macapat yang ada di dalam buku diantaranya; Maskumambang, Mijil, Kinanthi, Sinom, Asmarandana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh dan Pucung,” rinci Sutoyo.