Gendhing-gendhing yang dijadikan sebagai gendhing pilihan-bebas dalam festival biasanya dipilih yang alusan atau lirihan; dimaksudkan agar bisa menggambarkan rasa-mendalam gendhing karawitan yang lembut, yang lungid. Meskipun sebenarnya instrumen gamelan soran (instrumental) juga mendukung kelembutan rasa sebuah pertunjukan karawitan, bergantung teknik garapnya. Beberapa gendhing yang dipilih di antaranya: 1) Ladrang Pariwisata munggah Ketawang Sinom Wenikenya mlebet Playon kaseling Rambangan Pangkur, 2) Ladrang Nuswantara munggah Ketawang Mijil Wedharing Tyas mlebet Playon kaseling Rambangan Dhandhanggula Pelog Pathet Nem, 3) Ladrang Gonjing Miring minggah Ketawang Pawukir mlebet Playon kaseling Rambangan Kinanthi Laras Slendro Pathet Manyura, dan 4) Ladrang Eling-eling munggah Ketawang Sinom Parijatha mlebet Playon Durma kaseling Rambangan Sekar Durma Laras Pelog Pathet Barang.
Dan konsep munggah/minggah (dalam hal ini naik ke ketawang), merupakan fase yang harus ditapaki dalam perubahan irama di gendhing karawitan. Urutan wirama dalam gendhing karawitan, misalnya ladrang, biasanya dimulai dari yang bersifat lancar, cepat, atau gegas dulu (lancaran), baru dinaikkan ke yang lambat (wirama-siji), dinaikkan ke wirama-loro yang lambat lagi (biasanya ketawang). Setelah itu wirama naik (munggah atau minggah) ke wirama-telu yang lebih lambat lagi, lantas munggah atau minggah ke wirama-papat yang sangat sangat lambat lagi. Munggah atau minggah (meninggi) sama dengan gerak mlebet: masuk jauh ke kedalaman. Gambaran gerak wirama karawitan yang meninggi ini pada dasarnya merupakan gambaran gerak masuk ke kelembutan, ketajaman-rasa, atau spiritualitas manusia. Rasa ingin meninggi ke awang-awang. Seperti menghirup harum bunga: sekaring-bawana. Puspa yang harumnya semerbak hingga ke langit. Bagaimana nalarnya? Dunia-yang-dilipat (meminjam istilah dalam semiotika) itu serba cepat gerak iramanya. (Barangkali ini juga berlaku di dunia multi-dimensi). Irama di dalam dunia-terlipat, yang cepat geraknya, berpindah menuju dunia yang diluaskan semesta nadanya dan dalam waktu bersamaan dilambatkan iramanya. Tambah lambat. Sampai pada sangat lambat gerak iramanya. Perlambatan menghasilkan kondisi dunia-berhenti (seperti kondisi ragawiah: sembah-hyang, shalat, meditasi, samadi, dst.), namun secara batiniah atau ruhaniyah meninggi. Setelah ulihan, dunia bergerak cepat kembali. Ini lah gerak siklik dalam karawitan: sakulihan, sakkenongan, sakgongan.
Gendhing karawitan adalah gerak siklus kehidupan: laku atau lampah untuk kembali, mulih ke asalnya. Memang, yang ditembangkan dalam karawitan adalah tembang-gedhe, tembang-tengahan, dan tembang-alit yang menggunakan pola-lampah, atau guru yang telah dicontohkan polanya secara berulang-ulang sejak purwa (arketip). Lampah adalah pola pengucapan sebuah tembang (nembang, melagukan) berdasar jumlah wanda atau suku kata dalam satu baris. Cara melagukannya dengan medhot, membuat jeda (pedhotan), dengan penulisan notasi tiap empat angka, untuk suatu saat kembali kepada purwa siklusnya. Fenomena tubuhnya berlipat-lipat, berpangkat-dua, bertiwikrama, yaitu: empat, kemudian delapan, enambelas, yang terakhir tigapuluh dua.
Laku empat, berlipat, kemudian dilanjutkan laku memusat: menyatu atau satu.