“Mangga disekseni ya, Nok, Ngger! Dina iki tekan Wukune Gumbreg. Simbah gawe mong-mong, nyaosi dhaharan Kanjeng Nabi Suleman, sing momong kabeh sato kewan. Sapi, wedhus, pitik, lan sak piturute muga dimong ing sakpinggiring rejeki, dohna seka sakpinggiring geni. Kabeh ngreda, ndrebala, slamet, slamet, seka Kersaning Allah. Uga nyaosi dhaharan kagem sedaya para empu sing gawe lan nyithak gegaman: pacul, gathul, arit, luku, lan sakpiturute. Slameta sing gawe lan slameta sing nggunakake. Kaki Among Nyai Among, aja ngasi bodho sing momong, muga kabeh slamet gangsar sekabehe. Aminnn…”
“Mbang alang-alanggg…bledhuke kaya dluwangggg…..SURAAKKKK IYYYUUUNNNNNN…
Ancak-ancak aliss…Si Alis kebo janggitann … sing dhugul nggo mbrujulll…sing branggahhh nggoo nggarapp sawahhhh…..SURRRAAAKKK IYYYUUUNNNN….”
Gumbregan atau Surakk Iyyun, adalah salah satu ritual para petani di Gunungkidul. Adat gumbregan dilaksanakan ketika Wuku Gumbreg. Gumbregan merupakan wujud permohonan doa serta ucapan penghormatan kepada hewan-hewan peliharaan, seperti: sapi, kambing, ayam, dan lain lain. Dalam jagad pertanian, hewan-hewan peliharaan sangat besar manfaatnya. Hewan-hewan peliharaan sangat membantu dimensi kerja para petani. Sapi untuk membajak. Sementara itu kotoran kambing, ayam, dan peliharaan lainnya, digunakan sebagai pupuk pertanian.
Dalam mantra atau srah-srahan di atas, disebutkan nama Nabi Sulaiman (logat Jawa: Njeng Nabi Suleman). Di sistem kepercayaan Islam, Njeng Nabi Suleman adalah seorang Nabi yang menguasai bahasa hewan. Njeng Nabi Suleman dicaosi dhahar, mengandung arti bahwa masyarakat petani Gunungkidul sangat menghormati leluhur mereka. Dalam mantra itu juga disebutkan bahwa para empu yang membuat senjata, pandai besi alat-alat pertanian pacul, gathul, arit, luku, dan sebagainya juga dicaosi dhahar.
Di dalam ritual gumbregan para petani membuat ambengan berupa nasi tumpeng di tengah, gudhangan (dedaunan yang direbus dan berbumbu sambal kelapa), sayur tempe, serta ketupat di sekelilingnya. Bagi petani yang sapi peliharaannya manak lanang (melahirkan sapi jantan), maka ia akan membuat srah-srahan berupa jadah ketan. Ambengan sebagai bahan srah-srahan ini memang ditujukan untuk hewan peliharaan di kandang. Sembari mengusapkan kembang pada tanduk sapi atau kambing, si petani mengucapkan doa keselamatan dan harapan yang terbaik untuk hewan-hewan peliharaannya, semoga bisa berkembang biak dan jauh dari penyakit.
Satu ambengan lagi juga dibuat oleh si petani. Ambengan ditempatkan pada sebuah tampah beralas daun pisang. Menjelang Maghrib tumpeng beserta gudhangan sayur tempe dan ketupat di sekelilingnya itu dibawa ke pelataran rumah si petani. Anak-anak dusun sudah menunggu di sana dengan riang gembira. Telah menjadi kebiasaan kala Gumbregan hadir, para anak berkunjung dan berkeliling rumah ke rumah untuk ikut kendhuren Gumbreg. Dengan penuh sukacita anak-anak menyaksikan dan mengaminkan si empunya rumah dalam mengikrarkan ambengan. Anak-anak telah bersiaga membawa bakul sendiri-sendiri, sebagai tempat makanan yang akan dibagi rata oleh petani setelah ritual pasrah dan doa telah usai. Setelah itu anak-anak saling mengolok dengan tetembangan lucu:
“Mbang jambuuu…, Basuki nessuuu….!”
Lantas disambut teriakan serentak: “Suurrraaakkk iiyuuuuunnnn….!”
“Mbang kantiilll…, Gendhis gawene menthilllll…!
“Suurrraaakkk Iiyuuuuunnnn….!”
“Mbang jengkolll…, Wijang gawene ngompol….!”
“Suuurakkkk iyyuuunnn…dst..!”
Tradisi Gumbregan merupakan salah satu bentuk kearifan di lingkungan petani. Gumbregan melambangkan keseimbangan jagad pertanian antara manusia, hewan peliharaan, dan bumi. Hewan-hewan peliharaan, yang masuk dalam lingkaran keseimbangan, dimong-mongi (dijaga dengan diberi srah-srahan) oleh petani. Masyarakat petani memiliki anggapan bahwa hewan peliharaan merupakan rekan kerja baginya. Hewan peliharaan merupakan sumber utama kekayaan (rajakaya). Maka, mereka pantas dimong-mongi lewat ritual gumbregan.
Namun ada yang aneh sesaat sebelum ritual Gumbregan pada Selasa 11 Agustus 2020 sore akan dilaksanakan, langit tampak mendung sekali. Ini masih di tengah-tengah ketiga dawa (kemarau panjang). Kala beberapa desa di Gunungkidul selesai melakukan ritual Gumbregan, hujan pun turun. Ada yang gerimis. Ada yang deras. Mungkin ini bukan suatu kebetulan. Ini ilmu titen. Sudah diwejangkan oleh para leluhur dan para orang tua sejak dulu, setiap kehadiran Wuku Gumbreg selalu ditandai dengan mendung, gerimis, atau hujan.
Apakah hal ini pertanda dari alam, bahwa Ibu Bumi telah siap mengandung benih-benih tanaman untuk keberlangsungan kehidupan?
[KH/Edi Padmo]