Ritual Gumbreg: Simbol Permohonan Maaf dan Wujud Syukur

oleh -
Ritual Gumbreg di Panggang, Gunungkidul. (KH/ Ahid)

GUNUNGKIDUL, (KH),– “Jirak bindher bang sisike jingga. Aja kandheg aja mampir! Mandhega kandhang lumbunge, kebo sapine, pitik iwene! Surak, surak iyoooooon!” demikian rapal melodis yang diucapkan Pujo Sumarto (71), modin kampung di Kalurahan Girisekar Kapanewon Panggang Gunungkidul, belum lama ini dalam ritual Gumbregan.

“Gumbregan merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberi karunia. Pelaksanaannya sebagai penghormatan kepada leluhur atas jasa yang diberikan khususnya yang berhubungan dengan hewan ternak atau rajakaya,” papar Pujo Sumarto dalam perbincangan usai Gumbregan selesai.

Menurutnya, Gumbregan atau Gumbreg adalah tradisi Jawa yang dilakukan turun-temurun dan dilestarikan oleh masyarakat umum di wilayah Kabupaten Gunungkidul.

Masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian petani melaksanakan Gumbreg untuk mengucapkan syukur kepada Sang Maha Kuasa. Gumbreg juga bermakna sebagai ucapan terima kasih kepada hewan ternak yang telah membantu dalam mencari rejeki.

Lebih jauh disampaikan Pujo, masyarakat juga mengenal Gumbreg dengan istilah ‘lebaran hewan’. Lebaran hewan yang dimaksud adalah lebaran hewan ternak yang dipelihara oleh masyarakat setempat, seperti: sapi, kambing, ayam, dan hewan ternak lainnya.

Digelarnya Gumbreg diiringi harapan agar hewan peliharaan dapat berkembang biak dengan baik, sehat, aman dari segala mara bahaya atau penyakit, serta mampu memberikan manfaat bagi pemeliharanya.

Panjang lebar Pujo menjelaskan bahwa Gumbreg sebagai wujud syukur atas ternak yang dimiliki, adat tradisi Gumbregan rutin digelar tiap wuku Gumbreg di Bulan Rejeb. Wuku Gumbreg merupakan siklus waktu dalam kalender Jawa. Pada waktu ini hewan peliharaan didoakan oleh para petani karena telah memberi rejeki kepada para petani khususnya di wilayah Gunungkidul.

Sesajian utama dalam Gumbreg adalah ketupat. Ketupat mencerminkan beragam kesalahan manusia. Hal ini bisa dikaitkan dengan rumitnya bungkusan atau anyaman ketupat. Setelah ketupat dibuka terlihat nasi putih. Hal ini mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah memohon ampunan atas segala kesalahan.

Ketupat, lanjut Pujo, menjadi simbol permohonan maaf. Ketupat biasanya dihidangkan dengan lauk bersantan, yang dalam wangsalan Jawa kadang disebut “kupat santen“, memiliki arti “kula lepat nyuwun dipun-apunten” (saya salah mohon dimaafkan).

Ada yang unik dalam perhelatan Gumbreg di Girikarto ini, yakni hewan ternak juga diberi makan ketupat. Warga memercayai, dengan memberi makan ketupat kepada hewan ternak bisa membawa berkah kesehatan dan keselamatan bagi hewan ternak.

“Memberi makan ketupat kepada kerbau, sapi, kambing, dan ayam merupakan kepercayaan kami yang telah berlangsung turun-temurun. Kami mengasihi hewan ternak agar bisa diajak ‘bekerja’ membantu panen tahun depan, kemudian mengadakan syukuran seperti ini lagi,” imbuh lelaki yang ahli membaca pawukon ini.

Ritual Gumbreg di Panggang, Gunungkidul. (KH/ Ahid)

Ritual Gumbregan dilengkapi dengan beberapa sesajian hasil panen seperti ketan dan jagung goreng. Ritual Gumbregan dimulai oleh warga dengan membawa ketupat, kapur sirih, kunyit yang dihaluskan, jadah ketan, serta pulo (jagung goreng dan gula merah yang dihaluskan) ke kandang. Berbagai jenis ketupat juga disajikan, seperti: Ketupat Bucu Lima, Lepet, Cepuk, Pendhawa, dan Bantal.

Aneka makanan sesajian itu diberikan pada hewan ternak. Sedangkan kapur sirih dan kunyit dioleskan ke tanduk ternak. Ketupat diberikan ke ternak agar dimakan, tujuannya agar ternak juga ikut merasakan hasil panen yang didapatkan. Setelahnya ketupat dilemparkan atau dikalungkan ke ternak, tujuannya agar ternak dapat tumbuh sehat dan gemuk seperti ketupat. Sedangkan kapur sirih diadakan sebagai sesajian dengan tujuan agar tulang-tulang sapi menjadi kuat sehingga dapat membantu para petani membajak tanah di sawah atau tegalan.

Dalam prosesi Gumbreg digelar kenduri. Sesepuh masyarakat mengundang para warga melaksanakan kenduri Gumbreg menggunakan kenthongan. Usai kenthongan ditabuh, warga berdatangan. Warga membawa sesajian ketupat dari rumahnya masing-masing. Ada yang membawa sembilan jodoh (18 ketupat), delapan jodoh (16), dan tujuh jodoh (14). Ketupat-ketupat itu kemudian dikumpulkan menjadi satu sebagai sesajian kenduri ritual Gumbreg atau Gumbregan pada Wuku Gumbreg. Uniknya lagi, para pamong desa (kamituo, bayan, modin) bukan membawa sesajian berupa ketupat, akan tetapi nasi liwet.

Salah satu warga Girisekar, Sambudi, memberikan penilaian bahwa setidaknya ada tiga hal penting dalam penyelenggaraan ritual Gumbregan. Pertama, sebagai pernyataan syukur kepada Tuhan. Kedua, pernyataan terima kasih kepada semua bebahu (tenaga) penggarap sawah. Ketiga, sebagai penghargaan kepada rajakaya (ternak), khususnya kerbau atau sapi, yang telah berjasa membantu para petani membajak sawah atau tegalan. (Ahid)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar