Permintaan pasar untuk telur bebek di Gunungkidul masih belum dapat dipenuhi para peternak lokal. Dwi Samhudi (42), salah satu peternak bebek petelur menyatakan bahwa pasokan telur dari peternak lokal masih terhitung sedikit. Berdasarkan pengamatannya, kekurangan pasokan telur bebek ini dipenuhi para pedagang dan peternak dari daerah Klaten, Wonogiri, dan Ponorogo.
Petani muda dari Dusun Nogosari Desa Bandung Playen ini telah menekuni ternak bebek petelur sejak 2015 lalu. Ia memanfaatkan pekarangan di belakang rumah tinggalnya untuk beternak bebek petelur sebanyak kurang lebih 220 ekor. Dalam sehari, dari 220 ekor piaraan pada lahan seluas 15 x 10 m2, ada sebanyak 150-160 butir telur dapat diperoleh.
Setiap hari pula, telur hasil peternakannya langsung habis terjual ke para konsumen yang telah menjadi pelanggan tetapnya. Konsumen tetap yang dipasok Dwi adalah para pedagang martabak dan pembuat telur asin di seputar Wonosari, Playen, dan Patuk. Untuk memenuhi kebutuhan pasar yang masih kurang, Dwi juga membuat jejaring dengan rekan-rekan sesama peternak bebek petelur.
“Saya juga bekerja sama dengan teman-teman peternak bebek. Saling bantu memenuhi pasokan, juga sharing tips memelihara ternak. Kami saling berbagi ilmu, kerjasama mengadakan pakan ternak. Ada 3 kawan peternak, di Banaran sekitar 200 ekor, Ngleri 160 ekor, dan Sambi Ngalang sekitar 100 ekor. Intinya kami saling membantu memenuhi permintaan pelanggan dan juga saling bantu dalam pengadaan bahan pakan,” tutur Dwi.
Dwi menceritakan, usaha ternak bebek petelur awalnya hanya coba-coba. Sebelumnya ia bekerja sebagai sopir angkutan barang tujuan luar kota. Setelah menikah, ia memutuskan berhenti dari pekerjaan sopir yang mengharuskan dirinya bepergian keluar kota, dan mencoba usaha ternak bebek di pekarangan rumah warisan orang tuanya.
“Saya memulai beternak bebek dari tidak tahu apa-apa. Saya belajar ke peternak bebek di daerah Klaten. Saat ini pula pemasok bibit bebek petelur ya berasal dari daerah Klaten. Saya memakai bebek petelur yang disebut Bebek Solo. Menurut saya, jenis bebek ini yang paling cocok untuk saya piara memproduksi telur. Karena telurnya bagus, besar-besar, dan pengalaman saya selama ini konsumsi pakannya termasuk yang paling tidak boros dibandingkan jenis bebek petelur lainnya,” ungkap Dwi.
Bebek petelur yang biasa dipiara para peternak, menurut Dwi umumnya ada 3 jenis. Bebek Solo seperti yang dipiaranya, ada lagi Bebek Magelang, dan Bebek Mojosari Jawa Timur. Dwi menuturkan, masing-masing bebek petelur memiliki ciri khas masing-masing. Bebek Magelang telurnya besar-besar, tetapi lebih boros pakan. Sementara itu Bebek Mojosari telurnya kecil-kecil. Dari ketiga jenis bebek petelur tersebut, Dwi mantap memilih Bebek Solo.
“Pemasok bibit bebek petelur berasal dari Klaten. Untuk cara peternakan bebek, saya memakai sistem peternakan bebek secara kering. Artinya bebek saya piara di lahan kering. Jadi tidak ada blumbang atau bebek digiring ke sawah untuk cara memeliharanya. Pakan disiapkan dan diberikan setiap pagi dan sore. Untuk minum, kami siapkan papan khusus. Menurut saya, cara peternakan kering seperti ini yang cocok untuk wilayah Gunungkidul,” ujar Dwi.
Setiap hari, Dwi menyiapkan pakan dan minum bebek pada pagi dan sore. Untuk pakan 220 ekor bebek, Dwi meracik ransum makanan sebanyak 15 kilogram bahan. Bahan ransum makanan bebek berupa dedak dan konsentrat pakan bebek pabrikan. Konsentrat pakan bebek pabrikan sudah ada pemasok yang menjualnya. Dwi mengaku, dedak untuk bahan pakan masih dibeli dari daerah Klaten. Ia pernah memakai dedak lokal, namun ternyata kualitas yang kurang bagus menyebabkan tingkat produksi telur menurun, sehingga tetap mempergunakan dedak dari luar.
Selama menjalankan usaha beternak bebek petelur, Dwi mengaku belum pernah mendapati kesulitan atau serangan penyakit yang membuat peternakannya berhenti. Kendala-kendala kecil pernah dijumpai, namun dapat ditanggulangi dengan cara belajar dari para peternak bebek di daerah Klaten yang memasok bibitnya. Bibit bebek petelur yang siap produksi, menurut Dwi adalah bebek yang telah berumur sekitar 6 bulan. Kemudian usia produktif untuk menjadi bebek petelur adalah selama 9 – 11 bulan. Bebek yang sudah memasuki umur 11 bulan, produksi telurnya semakin turun. Dwi kemudian menjual bebek afkiran tersebut dan diganti dengan bibit petelur yang produktif.
Sudah sekitar 5 tahun Dwi menjadi peternak bebek petelur. Ia mengaku bangga dan senang menikmati usahanya di dunia peternakan. Dari usaha peternakan yang dijalani, Dwi dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, mencukupi kebutuhan sekolah anaknya yang sudah SMP dan balita. Dwi juga bisa merawat rumah yang ditempati warisan orang tuanya, membeli sepeda motor dan kendaraan minibus untuk mendukung usaha dan keperluan keluarganya. Dari usaha peternakannya, Dwi mengaku juga bisa melakukan kegiatan bakti sosial bersama rekan-rekan klub otomotif minibus Suzuki Carry SCCI Gunungkidul yang diikutinya.
“Adanya wabah Coronavirus saat ini memang ikut membuat penjualan telur bebek tersendat. Karena pembelian dari para konsumen pedagang berkurang. Mereka ada yang tutup jualan, ada yang menghentikan produksi telur asin. Semoga ini cepat teratasi dan bisa pulih seperti semula,” pungkas Dwi. (Tugi).