Warung Bakmi Mbah Noto, Saksi Awal Mula Musik Campur Sari

oleh -10011 Dilihat
oleh
Warung Bakmi Mbah Noto. Foto : KH/Kandar

PLAYEN, (KH) — Mungkin tidak banyak yang mengetahui, kalau perkembangan musik aseli Gunungkidul; Campur Sari, erat kaitannya dengan salah satu kuliner bakmi yang berada di Logandeng, Playen, Gunungkidul.

Warung Bakmi Mbah Noto menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita bagaimana musik Campur Sari menjadi populer di Gunung Kidul khususnya, DIY dan Jateng pada umumnya seperti sekarang ini. Yanto Godot, menantu Mbah Noto Suwito (Almarhum) mengisahkan kepada KH beberapa waktu lalu.

Cerita diawali saat Radiyo (Noto Suwito muda) berjualan bakmi secara keliling di wilayah Yogyakarta sekitar Tahun 1970-an. Pada Tahun 1987 Ia membuka warung bakmi di Jl wonosari-Yogya Km. 3,5 Padukuhan Logandeng, Desa Logandeng, Kecamatan Playen, Gunungkidul.

Selain menjual bakmi, adanya jiwa seni yang mengalir dalam darahnya, membuatnya memiliki profesi lain, yaitu sebagai Wiyaga (anggota penabuh/pengiring musik gamelan) dan juga pemain Kethoprak. Saat menjadi Wiyaga Ia berperan sebagai pemain alat musik Siter (alat musik petik).

“Seperti biasa, kalau warung sepi, Bapak Mertua itu iseng memainkan Siter. Terkadang bersama rekan-rekan sesama seniman lokal memadukannya dengan dua gitar yang dimainkan oleh Legowo keponakannya sendiri dan Suhardi,” kenang Yanto.

Suatu ketika, lanjut Yanto, Yunianto adik Manthous datang ke warung bakmi untuk mencari rekan pemain sepak bola yang akan  berlaga pada lomba Pordes kala itu. Melihat Mbah Noto dan kawan-kawannya bermain musik, lantas Yunianto berniat gabung sebagai pemain Biola. Dari situ, mereka mulai sering bermain musik di Warung Bakmi tersebut.

Waktu itu mereka menamai perminan musik tersebut dengan Cokek’an. Dengan Coke’an mereka melayani tanggapan (baca: pementasan musik) hajatan warga sekitar, seperti sunatan, puputan, dan terkadang tradisi Midodareni.

“Hasil tanggapan waktu itu, sekitar Rp. 15.000,” tutur lelaki kelahiran 1964 ini.

Sementara mereka terus bermain Cokek’an, Manthous (Almarhum), sebelum akhirnya bergabung dengan salah satu orkes keroncong di Jakarta, kemudian mendirikan band. Awalnya mememulai kisah dalam berkesenian, sekaligus bertahan hidup di Jakarta dengan menjadi pengamen.

Singkat cerita, nama-nama seperti Heru dan Minul (penyanyi berbasis keroncong) dan juga Harjono ikut meramaikan musik Cokek’an tersebut. Setelah itu, dengan modal berhutang, ditambahkan alat musik Keyboard electune dan soundsystem. Pada masa ini, tidak ketinggalan Sutrisno pemilik Bus Maju Lancar membantu dalam hal pendanaan.

Lantas pada Tahun 1993, Manthous yang piawai bermain bass serta memiliki pengalaman dibidang musik, tertarik untuk mengembangkan. Setelah melihat berapa saudara dan seniman lokal Gunungkidul merintis kelompok kesenian, maka berdirilah Campur Sari Maju Lancar Gunungkidul.

Seiring berjalannya waktu, lanjut lelaki yang hobi sepak bola ini, kelengkapan instrument musik ditambah. Perangkat musik gamelan ditambah Keyboard, Bass, Kencrung, Kendang, Gong, Siter dan Gender.

Awal Pementasan besar musik campur sari dilakukan di kediaman Mbah Noto saat pernikahan putrinya yang terakhir. Setelah itu berkembang, berkolaborasi dengan pagelaran Wayang Kulit. Kemudian campur sari malang melintang melayani pementasan dengan tarif yang bersifat fleksibel. “Kisarannya sekitar Rp. 250 ribu waktu itu,” tambah Yanto.

Kemudian periode 1995-1997 lagu berjudul Campur Manis menjadi lagu awal yang masuk dapur rekaman kaset. Seiring bertambahnya penyanyi, seperti Waljinah, lagu-lagu baru bermunculan seperti Konco Tani, Camur Manis 2 dan 3, Nginang Karo Ngilo, Bowo Dandang Gulo, serta Begadang.

Garapan khas Campur Sari berpakem pada Langgam-langgam jawa, kemudian bervariasi langgam-dangdut (ceria). Seingat Yanto, Permainan Siter Mbah Noto ikut mengisi gending campur sari hingga album ke-tiga. Semakin populernya campur sari di telinga masyarakat Gunungkidul, tak ketinggalan dengan warung Bakmi Mbah Noto juga semakin banyak pelanggan.

Saat ini, Warung Bakmi Mbah Noto memiliki tiga menu pilihan. Soto dari pagi hingga siang. Menjelang sore berganti bakmi jawa, ditambah ayam goreng kampung. Warung kuliner ini seakan tak pernah sepi pengunjung. Banyak warga perantauan yang selalu singgah, jika sedang mudik.

Karena ramainya pengunjung, saat ini memiliki sedikitnya 13 karyawan dari saudara dan tetangga sekitar, untuk membantu memberikan pelayanan. Sesuai rutinitas harian, warung bakmi buka dari pagi hingga pukul 23.00 WIB. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar