Puli: Pulihnya Kepulangan, Kembalinya Persatuan

oleh -10572 Dilihat
oleh
Simbah penjual puli dan tempe di Semanu. KH/WG.
Simbah penjual puli dan tempe di Semanu. KH/WG.

KABARHANDAYANI, — Harapan-harapan manusia, yang dijaga terus-menerus nyalanya, meski hanya sekerlip damar, seperti berlalunya kesengsaraan, pengembaraan-suci menemukan sang kekasih, dan lenyapnya-keterpisahan dalam narasi Damar Wulan, barangkali pada suatu ‘waktu-akhir’ akan mampu merangkai-mengikat-menyatukan kembali hal-hal yang di ‘waktu-awal’ dalam kondisi kempel (union). Kemudian karena lakon-hidup mengharuskan terpisah, terserak di titik hampir-mati, merana, sengsara, pada suatu waktu-mitis dapat menemukan pasangannya. Hidup bersatu lagi (reunion).

Dan yang mampu mengikat kembali yang-terserak adalah panganan. Salah satunya puli. Puli, atau dalam penulisan lain pulay, termasuk jenis makanan yang sangat kuna. Puli berbahan beras atau beras pulut (ketan). Pulut itu spirit rekat. Wangsa Gunungkidul sangat dekat dengan bahan ini. Banyak yang tahu, bahwa puli dibuat dari nasi. Para orang generasi sepuh terampil membuatnya. Dalam Ramayana (Kern, 1900) disebutkan: “….pana supathya mastawa sugandha mandhaga puli” (….minuman lezat, minuman kebahagiaan nan harum, bubur nasi, puli). Artinya, kekunaan puli adalah setua para leluhur (wangsa manusia, ras manusia) menapakkan jejaknya di bumi. Melekatkan nama padanya. Melalui kebiasaan-kebiasaan (adat) para leluhur yang tersebut dalam narasi-purwa.

Laku dalam diri puli adalah menjunjung tinggi sesuatu yang hampir sungkur. Memberi harga pada yang miskin nilai. Di dusun-dusun, puli dibuat dari nasi, yang seringnya berada pada kondisi lingir atau tepi atau limit. Ini berarti kondisi ambang antara seger dan wayu. Daripada wayu atau basi, maka dihidupkanlah kembali.

Nasi diberi roh. Dibuatlah olahan berbahan nasi yang bernama puli. Kerja-operasionalnya mumule. Ini adalah kata dalam Bahasa Jawa Kuna yang berarti ‘menghargai tinggi-tinggi’; ‘memberikan penghargaan khusus’. Dalam upacara-upacara tradisional, para anak-cucu menggunakannya untuk memule. Memule itu meninggikan, menghormati, menjunjung tinggi para leluhur yang telah mati-raganya, yang dimantrakan oleh tetua kampung, agar roh leluhur memeroleh ketentraman di alam kelanggengan. Sungguh, ini adalah sebuah penghargaan khusus untuk roh para leluhur, bibit-kawit, yang telah tilar. Agar rohnya kembali suci, rahayu-langgeng, bersatu dengan Sang Maha Roh.

Penghargaan-tinggi dipersembahkan oleh anak-cucu agar para leluhur menggapai tingkatan mulya, mulia. Para leluhur diharapkan masuk tataran kemuliaan. Pada akhirnya, kemuliaan leluhur dapat menular (sumarambah) pada anak-cucu. Di dalam kehidupan material, anak-cucu memperoleh hidup yang terhormat, di hadapan manusia-alam, juga di dalam kehidupan spiritual terhormat di hadapan Sang Parama Atma (Moyangnya Roh). Kemuliaan diperoleh dengan kerja-keras, benturan-benturan, peperangan, atau pertempuran.

Bebak, tutu, tumbuk, gepuk, jojoh, sosoh, dengan teknologi lumpang-alu atau stereotipnya merupakan teknik untuk membuat jalinan yang rekat, erat, kuat, kenthel dalam puli. Ini semacam adu senjata dalam peperangan. Menimbulkan suara: blak-bluk, dhak-dhuk, dhes, plak, plek.

Puli itu pulian, atau pulen kata Si Simbok, bersifat empuk-kenyal. (Tekstur empuk-kenyal dibuktikan setelah puli hasil tutuan dibuka pembungkusnya, yang baru saja dijojohialu, kemudian didemok-demok dengan jejari, dicokot dengan dua kubu gigi). Nasi yang tadinya tegak sendiri-sendiri, sebagai alih-bentuk dari sebutir wos (biji), dengan sedikit stimulan borak atau bleng, ditambah santan sebagai ‘air-sari-pati’nya, di waktu kemudian berjalinan, berkelindan, selaras dengan kecepatan dan kuantitas alu menumbuknya. Campuran borak atau bleng dalam pembuatan puli, tentu dengan takaran yang pas tersebut justru melahirkan kenikmatan.

Barangkali seperti kebutuhan akan unsur-unsur yang terkandung dalam psikotropika dan ganja, namun dalam takaran yang pas, atau seperti rasa-pahit, luka, sakit, kejatuhan, dan seterusnya dalam kehidupan manusia. Justru karena hal ini, puli menjadi dirinya. Ada bagian yang minir, ada yang nyinyir. Kerja alu adalah melilitkan (Jawa Kuna: amulet) ‘rambut-rambut halus yang saling melekat’ antara bulir bersantan dengan sesuatu yang nyinyir (bleng) tadi. Para nasi, dengan perantara bleng, berjalinan dengan santen (sari daging buah kelapa; sari kehidupan). Bersatu, berpadu.

Jalinan, lilitan, perpaduan antara beras (nasi) dengan santan (sari-pati), atau unsur lain sebagai bagian dari Pohon Kalpa, atau pohon kelapa, atau turunan Kalpataru di Langit. Biasanya daging kelapa yang diparut atau diiris kecil-kecil, merupakan simbolisasi ‘ikatan-persatuan-manusia’. Laki-perempuan. Sang Raja dan Sang Ratu. Damar Wulan dan Anjasmara. Mantenan. Produknya juga disebut puli. Puli berbahan beras-pulut (ketan). Puli-ketan. Biasanya merujuk pada jadah, atau sampai batas tertentu lemper (namun cara memadukannya dengan didang).

Bahan puli-ketan adalah beras pulut. Jadah dan lemper, yang kalau di Gunungkidul predikat puli pada dua panganan ini lenyap, biasanya yang disebut puli adalah puli-beras, merupakan tanda pengikat, pelilit, pelingkar. Ketika masyarakat melaksanakan hajatan mantu, panganan ini ada. Harus ada. Sedangkan simbol pengikat bagi Sang Manten adalah kalpika (cincin, ring). Yang digunakan sebagai pengikat jalinan rumah-tangga, yaitu perkawinan antar tipe-tipe Sang Pangeran, Damar Wulan, dengan Sang Kenya, yang tak lain adalah Anjasmara.

Jalinan, lilitan, perpaduan, yang erat dalam olahan puli melahirkan produk Logenderan (produk ke-2; kedudukan patih dalam narasi Damar Wulan). Ya, krupuk-karak atau legendar. Kadang, produk ini sengaja dibuat (bukan melulu alasan ‘menyelamatkan’ nasi yang nyaris basi) untuk jual-beli. Di sekitaran pertunjukan kethoprak di balai dusun, atau balai desa, sebagai pertunjukan dalam rangka memperingati ‘hari-jadi’ dusun-desa, atau hiburan dalam prosesi upacara rasulan, atau pentas perayaan Hari Merdeka, dengan mengambil lakon persatuan Damar Wulan – Anjasmara. Produk-produk olahan panganan yang disebut puli yang berupa: krupuk-karak (legendar), puli tempe-bacem, dan jadah, juga lemper, atau produk olahan beras-pulut lain semacam wajik, dijajakan di warung-warung kecil dadakan sebagai pelengkap pertunjukan kethoprak. Atau bisa juga sebagai pacitan untuk panitia dan pemain pertunjukan. Peristiwa-peringatan, ritual-ritual, upacara-upacara, pertunjukan-pertunjukan, seperti kethoprak Damar Wulan-Anjasmara ini pula yang ‘memulihkan’ masyarakat kembali pada kondisi mula: kebersamaan, kerukunan, dan persatuan.

Puli(h) itu kembali ke keadaan semula. Bisa juga berarti sembuh. Tindakannya disebut amulih: memulihkan, mengembalikan pada asalnya. Puli adalah pamulih (kata Jawa Kuna): sarana untuk memulihkan. Caranya dengan mulih: kembali ke asal; kepada Sang Asal. Akhirnya, puli, sebagai pamulih, mengajak tedhak-turun Wangsa Gunungkidul selalu ingat bahwa kemenjadian baru, kelahiran baru, bertengger di sarang baru, haruslah menapaki jalan yang berat, berliku, bertabrakan, juga melakoni peperangan, untuk kembali pulang (mulih) ke kondisi awal: kemenangan, kebahagiaan. Dan kemenangan, serta kebahagiaan, berasal dari suatu tempat dimana Si Puli berasal.

Pada suatu waktu, para keturunan Wangsa Gunungkidul meminta dengan sangat kepada Si Simbok agar dibuatkan puli-beras lagi. Kalau Simbok tak luang, mereka tetap akan mencari asal puli: ke Pasar Pahing Karangmojo, Kliwon Munggi, Pon Nglipar, Kliwon Trowono, Pon Semin, atau ke Pasar Argosari. Pada suatu waktu pula, ketika puli dan tempe-bacem bersatu dalam mamahan yang ritmis, seiring senyumnya yang bahagia, jalinan persatuan keduanya melahirkan kenikmatan. Tak jauh dari kenikmatan makan jadah sisa acara mantenan tetangga yang disunduk, dibakar di tungku, kegosongan, kala musim hujan.

Setelah sekian waktu, persatuan para puli itu diharap kembali. Selalu kembali.

—-

[KH/WG]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar