Perilaku Menyimpang Pelajar, Segarkan Kembali Gerakan 1:5

oleh -576 Dilihat
oleh
Kepala Disdikpora Gunungkidul, Bahron Rosyid. KH/ Kandar.
Bahron Rasyid, Sekertaris Disdikpora Gunungkidul. KH/ Kandar
Bahron Rasyid, Sekertaris Disdikpora Gunungkidul. KH/ Kandar

WONOSARI, (KH)— Sebagai antisipasi perilaku menyimpang di kalangan pelajar yang terjadi belakangan ini perlu adanya tindakan nyata semua pihak. Karena tidak sedikit tindakan menyimpang dari pelajar mengakibatkan mereka harus berurusan dengan masalah hukum.

Peran institusi pendidikan diupayakan dapat menjadi lembaga yang mampu memberikan kontribusi besar dalam menangkal penyebab munculnya perilaku negatif pelajar. Meski tantangan berat sekolah harus mengaplikasikan fungsi pendidikan dan pengawasan.

“Sejak beberapa tahun lalu ditingkat SMP/ SMA, Disdikpora telah merintis gerakan 1:5 atau 1:10, ini harus ada penyegaran kembali degan lebih intens. Guru menjadi wali layaknya orang tua, satu guru lima murid atau satu banding 10,” kata Sekertaris Disdikpora, Bahron Rasyid mengawali perbincangan beberapa waktu lalu.

Tidak sebatas sebagai guru, jelas dia, tetapi juga harus mengawasi, sangat dekat sekali dengan siswa, layaknya teman, selain sebagai pendidik juga menjadi teman curhat, bahkan bercanda, ini diupayakan dapat membantu setiap permasalahan yang dihadapi siswa saat memasuki usia remaja.

Sehingga, setiap permasalahan yang dihadapi murid dapat secara terbuka tanpa sungkan disampaikan. Diharapkan, bisa dicari jalan keluar hingga tidak sampai pada kejadian yang lebih fatal lagi. Materi dalam beberapa mata pelajaran, lebih lanjut Bahron menambahkan, seperti mata pelajaran agama, lebih ditekankan kepada internalisasi nilai.

“Semua sebenarnya tahu ilmunya, bagaimana norma atau sikap siswa kepada guru atau kepada orang yang lebih tua, tetapi ini jarang ditemukan saat ini,”

Dengan begitu, hal yang dianggap sepele dapat berlanjut kepada kesalahan yang lebih besar. Diakui saat ini kewenangan sekolah dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan instrumen, mendidik dan melatih kedisiplinan siswa seakan dibatasi.

Setiap sekolah memiliki tata tertib yang mesti di taati seluruh warga sekolah, bagi pelanggar tentu ada aturan main yang diterapkan sebagai konsekuensi. Pembiaran perkara kecil apalagi pembelaan akan mengakibatkan pelanggaran yang lebih berat lagi.

“Terkadang kebijakan sekolah bertabrakan dengan masyarakat, tidak hanya itu, terkadang kebijakan konstitusi kita saling bersinggungan dan bertabrakan,” tandas Bahron.

Dicontohkan, ada siswa medapat perigatan dari guru tetapi wali tidak terima karena beralasan azas kemanusiaan, HAM dan sebagainya. Sehinngga penerapan tata tertib sekolah seakan mendapat penentangan.

Pengambilan kebijakan sekolah terkadang berhadapan dengan hal kontrapositif, misalnya ada sekolah yang tetap memperbolehkan pelajar mendapat haknya memperoleh pendidikan meski melakukan pelanggaran yang berat, sehingga muncul ungkapan yang kontrapositif.

“lha kalau terus muncul ungkapan, kalau begitu melanggar aturan itu tidak apa-apa,” ujar dia. Walau sebetulnya itu pengecualian, tegasnya. Hak-hak perlindungan itu benar adanya, hak pendidikan dan hak-hak lain yang dibungkus hak asasi manusia terkadang dianggap dilanggar oleh kebijakan atau pelaksanaan fungsi pendidikan.

Disayangkan jika sampai muncul sikap skeptifitas dari para pendidik, karena banyaknya tuntutan dan tentangan dari banyak pihak sehingga dalam menjalankan tugasnya lebih memilih dalam taraf sekadarnya saja, tidak secara maksimal untuk mengawasi anak berperilaku menyimpang atau nakal, karena resiko mendapat perlawanan dari orang tua atau pihak lain karena dianggap melanggar azas kemanusiaan atau hak asasi manusia. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar