Cerita tentang Mbah Abu mbencah gunung atau membelah gunung/bukit untuk mendapatkan sumber air sudah lama beredar di masyarakat. Ini menjadi legenda yang terkenal terutama di daerah Kapenewon Playen, tepatnya di Dusun Gedad, Kalurahan Banyusoca. Legenda ini menceritakan kegigihan Mbah Abu Dardak (lebih dikenal dengan nama Mbah Abu) menggali punggung Bukit Grunggung yang terletak di sisi atas Dusun Gedad. Sekarang hasil Mbah Abu membelah gunung dapat dinikmati oleh masyarakat di 4 dusun yang berada di sisi bawah Bukit Grunggung. Kebutuhan air harian masyarakat dicukupi oleh sumber air yang digali oleh Mbah Abu.
“Almarhum Bapak memulai penggalian Bukit Grunggung tahun 1976, Mas,” Kyai Rohmad membuka obrolan dengan KH siang itu. Kyai Hudi Rohmad nama lengkapnya. Beliau anak ke-2 Mbah Abu, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Falah. “Waktu itu saya baru berumur 3 tahun, tetapi saya ingat betul, karena ketika air menyembul keluar dari punggung bukit, saya yang pertama kali dibawa bapak ke sana untuk dimandikan. Dan itu masih jelas saya ingat.”
Tahun 1976 Mbah Abu memulai pekerjaan penggalian. Hanya dibantu oleh satu orang yaitu Pakliknya, Mbah Muhammad Banjari, siang-malam tanpa kenal lelah Mbah Abu menggali bukit dengan alat-alat sederhana, seperti: pukul, linggis, pecok, dan lain lain. Yang Beliau-berdua hadapi pada waktu itu adalah struktur batuan yang sangat keras. Setelah 4 bulan memulai penggalian, dan sudah sedalam 7 meter, Mbah Abu dan Mbah Muhammad Banjari menemukan sumber air, yaitu sebuah sungai bawah tanah. Setelah peristiwa penemuan asal-muasal sumber air ini kemudian masyarakat sekitar Gedad mulai ada yang membantu pekerjaan penggalian.
Setelah menemukan sumber air sungai bawah tanah yang cukup besar, PR terbesarnya adalah bagaimana cara mengangkat air dan mengalirkannya ke rumah-rumah masyarakat. Tahun-tahun itu penerapan teknologi tepat guna belum semasif sekarang. Apalagi Dusun Gedad adalah sebuah dusun yang terpencil di pinggiran Gunungkidul, di bagian paling barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul. Jembatan yang menghubungkan Gedad dengan sisi barat Gunungkidul belum dibangun. Jika ada masyarakat yang mau bepergian ke Bantul harus menyeberang sungai. Listrik kala itu belum menjangkau wilayah Gedad. Bisa kita bayangkan bagaimana permasalahan yang dihadapi Mbah Abu waktu itu.
Akhirnya, air dapat mengalir keluar dari punggung Bukit Grunggung melalui kalenan (parit) buatan sepanjang 30 meter. Masyarakat sekitar Gedad bisa memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari. “Bapak menamakan sumber air ini dengan nama “Sumber Air Gunung Sari Bumi”. Beliau berwasiat jangan sampai sumber air ini dikomersilkan, atau dijadikan bisnis. Penggunaannya harus semata untuk kemaslahatan umat. Sampai saat ini wasiat Almarhum tetap kami pegang teguh, Mas. Ratusan KK di 4 dusun menyalurkan dan menggunakan air secara gratis dari Sumber Air Gunung Sari Bumi,” terang Kyai Hudi Rohmad.
Obrolan kami semakin gayeng. Kyai Rohmad atau Kyai Hudi Rohmad menceritakan kenangan tentang almarhum bapaknya, “Almarhum itu orangnya sangat keras. Dalam memegang prinsip Beliau bisa sekeras besi tetapi dalam keadaan tertentu bisa melunak dan selembut air.” Kyai Hudi Rohmad adalah putra kedua Mbah Abu. Berbincang hingga siang dengan Beliau KH menemukan sosok kyai muda yang sederhana. Ia hanya berkaos oblong dan bersarung tetapi menurut KH memiliki pemahaman ilmu agama dan pemahaman hidup yang mendalam. Suami Latifah dan bapak 5 orang anak (Rifka, Thoriq, Naila, Haikal, dan Umam) ini adalah alumnus Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem Bantul dan Pondok Pesantren Al Falah Ploso Kediri.
Pondok Pesantren Nurul Falah dirintis oleh Mbah Abu sekitar tahun 1977. Kyai Rohmad mulai mengelola pondok pesantren tahun 1998. Kyai Rohmad menjelaskan bahwa mengelola pondok pesantren itu berat, harus banyak ikhlasnya. Namun jika pengelola meniatinya sebagai ibadah, inshaallah akan merasa ringan. Tahun 2011 Kyai Rohmad pernah mengikuti pemberkasan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sebagai penyuluh agama. Saat itu Kyai Rohmad merasakan dilemma: antara melaksanakan wasiat almarhum bapaknya (Mbah Abu) untuk mengurus pondok atau meneruskan menjadi PNS. Dengan niat birul walidain (berbakti kepada orang tua), Kyai Rohmad memutuskan untuk tidak mengambil kesempatan menjadi PNS dan berkonsentrasi mengurus pondok.
Matahari bergeser ke barat, KH pun mohon pamit. Sebelum meninggalkan Gedad, KH menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Mbah Abu. Makam Mbah Abu terletak persis di tengah kompleks pondok pesantren berupa bangunan kayu jati kuno. Makamnya tanpa nisan. Terdapat tulisan-tulisan beraksara Arab dan sebuah cermin di tengahnya.
[KH/Edi Padmo]