KARANGMOJO, (KH)— Gunungkidul merupakan Kabupaten yang kaya akan ritual adat dan tradisi. Sebagian besar tradisi tersebut berkaitan dengan cerita tutur atau legenda tentang pelarian orang-orang Kerajaan Majapahit. Biasanya tradisi mengisahkan kedatangannya saat kerajaan tersebut kalah dalam perang, serta kiprah dan perannya di tempat baru.
Beberapa tradisi menunjukkan peranan para pelarian yang menghuni berbagai tempat di Gunungkidul, baik mengenai pengaruhnya terhadap kehidupan sosial, kepercayaan hingga sebagai tokoh yang paham mengenai ilmu olah tani dan sebagainya.
Seperti halnya tradisi turun temurun yang masih lestari dilaksanakan oleh warga Desa Gedangrejo Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul ini, ritual upacara adat bernama Cing Cing Goling, sebagaimana disebut tokoh adat setempat, erat kaitannya dengan cerita runtuhnya Majapahit pada sekitar Abad 14 hingga 15 silam.
Masyarakat Desa Gedangrejo, Kamis, (18/8/2016) kembali menggelar tradisi ini, selain dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur hal ini sekaligus sebagai harapan agar hasil panen pertanian lebih baik di musim tanam selanjutnya.
Penuturan Ketua Panitia penyelenggaraan adat tradisi, Suprapto, bahwa Cing Cing Goling merupakan kisah yang menggambarkan tokoh trah Majapahit , diantaranya Wisang Sanjaya, Ki Topoyo dan Ki Yudapati.
“Setelah pergi meninggalkan Majapahit lalu tiba di wilayah Padukuhan Gedangan, mereka diterima oleh sesepuh setempat yaitu Ki Brojonolo, Honggonolo, dan Nolodongso,” jelas Suprapto.
Sebagai balas jasa atas diterimanya kedatangan mereka, tokoh asal Majapahit tersebut membuat bendungan untuk pertanian warga sekitar, Bendungan dikenal hingga saat ini bernama Bendung Kali Dawe.
Prosesi pelaksanaan tradisi, masyarakat setempat memasak nasi gurih dan membuat Ingkung ayam, bersama uba rampe dan kelengkapan ritual lainnya untuk dibawa ke tempat yang telah disediakan. Setelah pemangku adat selesai memimpin doa pada ritual kenduri, kemudian dilaksanakan makan bersama, nasi gurih dan ratusan ingkung dibagikan ke warga dan siapapun yang hadir.
“Prosesi Kenduri berada dekat dengan bendungan buatan trah Majapahit tersebut. Dalam pelaksanaan tradisi Cing Cing Goling juga digelar cuplikan atau fragmen kisah upaya Wisang Sanjaya dan kawan-kawan mengamankan desa dari para perampok,” urai Suprapto.
Beberapa adegan berupa aksi puluhan Perampok mengejar Eyang Wisang Sanjaya dan Istrinya Nyi Wisang Sanjaya, serta Yudapati. Saat berlari Nyi Wisang Sanjaya mengangkat kain jarit yang dikenakannya (Jawa: Cincing) hingga terlihat betisnya, hal ini dilakukan agar lebih leluasa dalam berlari.
Melihat Nyi Wisang Sanjaya Cincing semakin membuat perampok tertarik sehingga terus mengejar, namun Eyang Wisang Sanjaya memiliki pusaka ampuh berupa Cemethi atau cambuk yang mampu mengalahkan perampok. Petikan adegan tersebut, disebutkan, menjadi latar belakang tradisi dinamakan Cing-cing Goling.
Adegan kejar-kejaran, sambung Suparpto, berada di sebuah petak sawah milik warga yang telah selesai musim panen padi ke-dua atau marengan. Meski diinjak-injak, warga yakin tak akan membuat rusak sawah mereka, justru diyakini akan membuat tanah lebih subur pada musim tanam selanjutnya.
Seiring perkembangan wisata dan kemajuan IT, upacara adat ini semakin dikenal luas sehingga mampu mengundang minat masyarakat luar daerah untuk menyaksikan. Banyak diantara penonton mengambil gambar berupa foto dan video dari setiap adegan yang disajikan.
Pada pelaksanaan tradisi yang mengambil hari Senin atauKamis pada hari pasaran Wage atau Kliwon ini dihadiri oleh Kepala Disbudpar dan jajarannya, Muspika dari Kecamatan Karangmojo dan para tamu lainnya, (Kandar)