PANGGANG, kabarhandayani.– Sekolah Pagesangan merupakan salah satu media belajar secara gratis dengan yang peserta pelajar adalah anak yang sudah tidak tercatat sebagai murid dari sekolah formal maupun anak-anak sekolah namun rentan tidak melanjutkan sekolah formal.
Diah Widuretno selaku kepala komunitas menjelaskan sekolah ini sejak 2009 yang saat itu masih bernama Sekolah Sumbu Panguripan pada tahun 2014 sudah berjalan di 2 padukuhan yakni Padukuhan Waru, Desa Girisekar dan Wintaos, Girimulya, Panggang sedangkan Padukuhan Pejaten masih dalam proses pengorganisasian. Rencananya beberapa waktu ke depan Sekolah Pagesangan akan direplikasi di beberapa titik padukuhan yang lain, terutama di padukuhan dan desa yang tingkat putus sekolahnya tinggi.
Diah memaparkan, di tahun 2014 ini sudah terbentuk kelas di 3 padukuhan sehingga menjadi 3 kelompok belajar yakni Padukuhan Wintaos, Girimulya, Padukuhan Waru, Girisekar, Padukuhan Pejaten, Giriwungu. Setiap jadwal pembelajaran, peserta belajar berkumpul di lokasi belajar yang dilakukan secara bergilir dari rumah ke rumah yang lain dan fasilitator mendatangi kelompok belajar tersebut dengan pertemuan 1-2 kali seminggu di tempat yang sudah disepakati bersama selama 2-5 jam. Metode pembelajarannya pun dikemas beragam seperti permainan, dinamika kelompok, workshop, bazaar dan sebagainya. Evaluasi dan refleksi pun dilakukan untuk mengukur ketercapaian proses belajar yang dilakukan secara rutin dan berkala.
Diah mentargetkan pada tahun pertama, proses belajar di tiga lokasi tersebut mampu berlangsung secara reguler dan membentuk kelompok usaha bersama (KUB). Para tahun kedua, Sekolah Pagesangan dan KUB mulai berjaringan dengan organisasi dan komunitas lain serta kader-kader mulai membuka dan menginisiasi usaha sendiri. Para tahun ketiga, sekolah dan kader yang merupakan alumnus mereplikasi kegiatan dan proses Sekolah Pagesangan di lokasi lain dan memfasilitasi serta berbagi pada kelompok lain.
“Secara umum untuk lulus dari sekolah pagesangan peserta belajar diminta membuat karya atau pekerjaan yang juga sebagai media belajar,” ujarnya.
Diah menjelaskan, sekolah yang merupakan komunitas nirlaba ini dikelola secara gotong royong oleh relawan dan masyarakat dengan beragam latar belakang serta simpatisan pendukung kegiatan. Para peserta mempelajari ilmu dasar seperti ilmu berhitung, IPS, IPA, leadhership dan enterpreneur. Kurikulum dan konten belajar disusun bersama antara peserta dan fasilitator kegiatan dengan proses pembelajaran berbasis kelompok dan metode pembelajaran yang beragam.
“Pada dasarnya mereka adalah para pemberani yang menempuh segala resiko untuk hidup di tengah alam yang kritis ini, tipe pekerja tangguh hasil tempaan alam dan kehidupun yang keras. Hal ini sudah menjadi modal dasar untuk perjuangan hidup. Namun untuk keluar dan melawan kemiskinan, mereka perlu merubah pola pikir dengan dasar kepedulian, merasa punya tanggung jawab sosial dan tidak mencabut mereka dari akar budayanya,” jelasnya. (Mutiya/Hfs)