Girisekar adalah salah satu Kalurahan di Kapanewon Panggang. Di Girisekar terdapat sebuah petilasan yang erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Mataram Islam, yaitu Petilasan Kembang Semampir. Kembang Semampir diyakini sebagai tempat tetirah Ki Ageng Pemanahan. Menilik sejarahnya, Girisekar termasuk desa tua. Nama giri pada Girisekar yang berarti “gunung” dan sekar yang berarti “bunga” atau “kembang” erat kaitannya dengan cerita sejarah Petilasan Kembang Semampir.
Suatu siang menjelang petang KH bertamu ke kediaman Bowo Priananto (47 tahun), inisiator Komunitas Malam Sabtu yang tinggal di Dusun Blimbing, Kalurahan Girisekar, Kapenewon Panggang. Bowo Priananto menginisiasi Komunitas Malam Sabtu sebagai tempat berkumpulnya anggota komunitas setiap malam sabtu. Komunitas Malam Sabtu bertempat di sebuah bekas kandhang yang disulap menjadi sebuah gazebo dan berada di halaman rumah Bowo. Setiap malam sabtu itu para anggota komunitas berkumpul dan mengobrolkan tentang berbagai hal, terutama keadaan dan kemajuan Girisekar.
“Pasaran Sabtu Kliwon, kami biasa menyebut sabtu menthek, dimana setiap pasaran itu kami biasa memprogramkan sesuatu, terkait apa yang akan kami kerjakan ke depan,” pria tinggi kurus yang biasa dipanggil Bowo ini membuka obrolan dengan KH. “Termasuk inisiasi kami yaitu program penanaman seribu batang bambu sebagai upaya konservasi di beberapa telaga di Girisekar, tahun 2017. Waktu itu kita bekerjasama dengan Komunitas Lintas Batas dan Komunitas Gema Angkasa Imogiri Bantul,” imbuhnya.
“Tahun kemarin, kami menanam 200 pohon khusus jenis iprik (beringin) di sekitar Telaga Kembang Semampir. Telaga Kembang Semampir mulai mengering setelah dibangun sekitar tahun 1980,” ceritanya. “Saya ingat di tahun tahun itu Telaga Towet, Panen, dan Ngurik, ketika kemarau panjang seperti sekarang ini, airnya tetap bening. Waktu saya dan teman-teman memancing, ikan-ikan masih banyak tampak di dasar telaga,” Bowo mengenang ketika masa mudanya kondisi telaga masih alami. Bowo melanjutkan ceritanya, di salah satu sisi Telaga Kembang Semampir terdapat sebuah luweng atau lubang, dimana air hujan yang tertampung di dalamnya akan cepat mengering karena mengalir dan menghilang melewati luweng itu.”
“Tahun lalu, dengan biaya sendiri dan hasil saweran teman-teman komunitas, kami menghabiskan 20 sak semen dan hampir satu rit pasir untuk menambal luweng itu. Caranya dengan membuat semacam kurung, dimana ketinggian kurung kami-sesuaikan dengan permukaan talud telaga. Harapannya air telaga akan awet, dan jika curah hujan tinggi, kelebihan air telaga bisa dibuang lewat kurung secara otomatis. Tetapi oleh tangan jahil, kurung itu dilubangi agar telaga cepat kering. Pamrihnya jika kering bisa ditanami untuk pertanian,” ujar Bowo dengan menggeleng-gelengkan kepala.
Suami Prihantini Subekti dan bapak Nanu dan Lintang ini tampak tertegun ketika KH sedikit menyinggung soal pengaruh pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) yang tepat melewati wilayah Girisekar. “Itu lah, Mas, ada pengaruh positif dan negatifnya. Dengan booming wisata dan pembangunan JLS, ekonomi masyarakat berkembang sangat pesat. Akses jalan sekarang ini lebar dan mudah. Harga tanah tinggi, serta modernisasi begitu cepat merangsek daerah kami, sedikit banyak mulai memengaruhi budaya dan perikehidupan masyarakat desa kami,” Bowo mencoba menganalisa.
Bowo menyimpulkan, yang jelas terpengaruh dan mulai memudar adalah kesadaran masyarakat lokal untuk menghargai alam dan lingkungannya. Gotong-royong dan tepa-selira dikatakan olehnya telah berganti menjadi budaya yang semuanya selalu diukur dengan materi. “Salah satu bahasan diskusi Komunitas Malam Sabtu juga sering menyinggung soal soal pergeseran budaya di masyarakat, Mas, dengan upaya konservasi telaga ini. Kami ingin membangun kesadaran masyarakat kembali. Kita tidak bisa hidup lepas dari unsur-unsur alam. Walaupun kebutuhan masyarakat akan air telaga tidak sepokok dulu, karena sebagian sudah di supply oleh PAM, tapi dengan menjaga lingkungan telaga kita sudah berbuat sesuatu untuk menjaga keseimbangan alam,” Bowo menerangkan panjang lebar.
“Kesadaran ini harus kita bangun kembali. Dengan menghargai alam kita akan menghargai kehidupan itu sendiri,” Iwan setiawan (40 tahun) menambahkan. Iwan adalah salah satu anggota Komunitas Malam Sabtu yang kebetulan bergabung dengan kami. “Setahun sekali, bagi masyarakat yang mau bergabung, kami mengadakan kerja bakti membersihkan telaga, baik Telaga Towet, Telaga Paken, maupun Telaga Ngurik,” ujar Iwan. Bowo menambahkan, “Kalau dulu acara bersih telaga selalu menanggap tayub, terakhir sekitar tahun 1980, saat juru kunci telaga masih Mbah Mangun Saeto.”
Harapan Bowo dan Komunitas Malam Sabtu ke depan, telaga-telaga di Girisekar khususnya dan Zona Pegunungan Seribu pada umumnya tetap terjaga kelestariannya, baik air maupun lingkungan telaga. Dengan adanya kesadaran masyarakat untuk menjaga telaga, diharapkan masyarakat akan menjaga budaya-lokalnya sendiri, apalagi sejarah telaga-telaga telah ratusan tahun melekat dan menemani perikehidupan masyarakat.
“Kami sadar, Mas, gerakan dan pemikiran kami selama ini ibarat riak kecil di dalam hiruk-pikuk modernisasi yang mulai pesat di daerah kami. Tetapi dengan riak kecil ini, semoga menginspirasi orang lain untuk berbuat sama. Tentu akan menjadi sebuah bentuk pertahanan masyarakat agar tidak gampang terseret derasnya arus jaman,” Bowo Priananto menutup obrolan kami petang itu.
Kala hari mulai gelap, KH berpamitan untuk pulang, beriringan dengan gerimis membasahi Jalan Lintas Selatan (JLS) yang beraspal lebar nan halus layaknya jalan tol.
[KH/Edi Padmo]