Wedangan, Waktu-Senggang, dan Wungon

oleh -12809 Dilihat
oleh
Seorang Bapak Wedangan, Pasar Semanu
Seorang Bapak Wedangan, Pasar Semanu

Aja turu sore Kaki, ana dewa nganglang jagad,
nyangking bokor kencanane, isine donga tetulak, sandhang kalawan pangan,
yaiku bageyanipun, wong melek sabar narima.
[Asmaradana]

Barangkali, Tuhan menciptakan alam ini dengan prinsip paradoksi, seperti percepatan: menyepat atau melambat. Suatu benda dipercepat, percepatannya positif. Diperlambat, negatif. Jika menggunakan pola yang sama hanya saja arahnya berlawanan, maka alam ini juga diciptakan dengan prinsip perlambatan. Dari cepat ke lambat. Dari sibuk ke senggang. Dari sebuah ruang padat menuju cair. Begitu saling bergantian diulang-ulang. Melihat prinsip Tuhan dalam waktu penciptaan ini, maka gerak manusia juga bisa dilihat dari gerak cepat ke lambat, dari ruang yang penuh sesak ke renggang. Namun dua hal ini secara kualitas hasilnya bisa kosok-bali, seperti modernisme dan pra-modernisme. Percepatan menghasilkan perlambatan. Atau, perlambatan menumbuhkan percepatan.

Ini mitologi kuna tentang massa yang merenggang menjelma gugus-gugus di bawahnya; sebagai turunan. Sebagai sub-bagian, ia menjauh, memisah, namun sangat kental menurunkan sifat-sifat di atasnya. Tuhan menebar sabda, sebagai taburan dari sifat-sifat-Nya. Kemudian bersantai di hari tepi. Ngaso. Dalam waktu yang santai, melambat, manusia sangat cepat mengonstruksi nalarnya tentang gerak alam. Akhirnya, manusia, dalam geraknya di dunia, mencoba kembali ke nalar kuna tentang bagaimana gerak menjadinya gugusan, kerumunan, sistem relasi bintang, energi, hakekat semesta, dst., dalam kondisi bisa diperlambat, dibekukan waktunya, dibatukan waktunya, untuk mempercepat pemahamannya tentang gerak alam. Dan, bayangan manusia tentang Tuhan dalam waktu-padat, waktu-beku, atau waktu-batu ini di dalamnya tersimpan ‘bayangan’ sifat ketuhanan yang sangat rileks, cair, geguyonan, ora grussa-grusu, maton, tanpa-kelas, penuh kasih, dinamis, sehingga manusia merasa bahwa nalarnya mampu menggapainya. Ibarat sebuah foto yang membekukan ruang-waktu, manusia ‘seakan’ mampu merangkai tiap bagiannya menjadi konstruksi yang lengkap, paham realitas foto. Dalam kondisi seperti ini, manusia merasa, paling tidak, dapat menguatkan kediriannya yang serba terbatas di hadapan Tuhan. Manusia ‘merasa’ dalam kondisi wungon, terjaga, terhadap mobah-mosiking alam.

Banyak hal lahir, berubah drastis, terselesaikan, terkonsep, ketika gerak gegas manusia dibekukan dalam budaya manusia yang disebut wedangan. Beku dari gerak cepat dalam kerja, cair dalam nalar dibalut canda. Ada beberapa adat lain yang sejenis wedangan, seperti ngangkring (nge-HIK), nyusu, ngrodhe, ngopi, sampai batas tertentu ngafe dan nge-foodcourt, dan seterusnya. Orang pra-modern dan orang modern memiliki budaya ini. Yang akhirnya, kategori wedangan mana yang pra-modern dan mana yang modern saling tumpang tindih. Konsep wedangan modern banyak yang menghidupkan kembali (revival), dalam kemasan baru, wedangan pra-modern. (Orang-orang Eropa yang memiliki tradisi wedangan rempah mencoba menghidupkan kembali, atau memindah, apa yang mereka jumpai, mereka senangi, bahkan mereka-aku, dari pengembaraan mereka di dunia tropis, yang seakan dengan sukarela mau dianggap sebagai koloni). Yang jelas, morfem {-an} dalam {wedangan} itu bukan sekedar main-main, tidak serius, atau tiruan. Wedangan itu kriya, kerja. Bukan melulu kebendaan. Semua kalangan bisa ambyur di ruang-waktu ini. Dari cendekiawan hingga yang tak mambu sekolahan bisa diskusi di sini. Dari pengusaha hingga yang tak punya usaha, lonthang-lanthung, bisa merencanakan bidang usaha dengan guyonan. Wedangan adalah ruang-waktu liminal: perjumpaan-perjumpaan kategori sosial yang ketika mereka kembali ke ruang-waktu asalnya, seringnya para kategori ini adalah oposan. Wedangan itu tempat melebur. Tidak tegang. Kendur. Menciptakan kondisi rileks, santai. Namun nalar tetap bekerja. Layaknya sebuah kantin di kantor-kantor di kota-kota besar, sebagai tempat pencairan watak seorang direktur yang otoriter dan pegawai yang penjilat. Semua luruh. Paling tidak untuk sementara.

Laku wedangan tak bisa lepas dari pembicaraan tentang kelas-sosial, mobilitas-sosial, kepenatan-sosial, kecemasan-sosial (anxiety), spiritualitas-sosial, politik-sosial, mitos-sosial (baca: negara), dan banyak hal serius lainnya. Aneka topik berbaur dibarengi reguk minuman. Omben, minuman, itu serius. Dulu, para dewa dan asura berebut minuman, demi kelestarian. Dan demi narasi manusia di bumi, asura ‘dikalahkan’, mereka tak mendapatkan omben. Omben sempat mampir ditenggorokan asura, namun kemudian dipenggal lah lehernya oleh para dewa. Para asura sempat diampiri omben amerta, tapi tak lama. Dan para asura dengan santai menikmati perannya di dunia.

Mampir ngombe itu sungguh-sungguh dan menurut ukuran masyarakat sangat lah lama waktu ngombe ini. Ngombe sebagai tujuan dan totalitas, meskipun pilihan katanya: mampir. Memang, ada yang melakukan perjalanan jauh, kemudian mampir wedangan. Namun tak sedikit yang menjadikan wedangan itu paran: tujuan pemberhentian suatu gerak. Seperti halnya mbakmi, mbakso, nge-mi ayam, diluar makan makanan pokok bernama nasi, plus lauk. Wedangan lah justru yang meluas-melebarkan gerak manusia. Mbakmi dan wedangan. Mbakso dan wedangan. Nahu kopat dan wedangan. Nyega jangan di pasar dan wedangan. Wedang, air yang telah dimasak, itu sifatnya aktif. Panas, atau katakan saja mewakili api, juga bersifat aktif. Kerja keduanya adalah aktivasi: mengoptimalkan kinerja anggota tubuh, efeknya sampai ke syaraf-syaraf neurotik. Maka, kehendak dalam wedangan, sebagai sebuah jeda yang dengan sangat sadar diluangkan waktunya, adalah kehendak ingin kembali ke kondisi mula: kondisi ketuhanan dalam bingkai menciptakan dunia; semangat-kerja yang tinggi. Melalui serapan energi dari alam di dalam teh, kopi, jahe, dan rempah atau tanaman obat yang lain. Maka, wedangan itu seakan sebagai sebuah sandi tentang pengobatan, rasavatam (Hindu), sementara orang Jawa menyebutnya tamba, usada, yaitu penyembuhan bagi orang-orang sakit, yang diambilkan dari unsur-unsur tanaman. Ngombe itu laku penyembuhan, banyu-tangi masyarakat menyebutnya.

Wedangan merupakan adat yang dilakukan oleh anggota sebuah rumah tangga untuk mengawali, mengisi, dan mengakhiri sebuah laku kerja. Kemudian melebar ke rumah-rumah di lingkungan sosial mereka. Waktu-waktu siklis yang biasanya digunakan oleh masyarakat untuk wedangan: pagi ketika akan bekerja, siang di sela bekerja, sore hari selepas kerja, malam hari ketika bersosialisasi. Bahkan, waktu wedangan terkadang di luar kategori di atas, yaitu menemani kegiatan pokok yang sedang berlangsung. Yang buruh nukang dari jam 7 pagi hingga jam 4 sore misalnya, wedangan sebanyak dua kali, sebelum makan sekitar jam 9 pagi dan setelah makan siang sekitar jam 2 siang. Yang di tegalan, wedang dikirim sekitar jam 9 pagi pula, kemudian jeda di sela mbedholi kacang untuk wedangan. Jika ndina di tegalan, siang sekitar jam dua mindhoni kiriman sambil wedangan. Saking melekatnya adat wedangan ini di kehidupan masyarakat padesan, selama waktu kerja penuh adegan wedangan. Dalam adegan wedangan ada properti bernama pacitan, atau klithikan, yaitu jenis makanan yang ‘tidak-berat’. Misal krupuk-krupukan, intip-intipan, kacang-kacangan, peyek-peyekan, dll. Barangkali disebut demikian karena mereka sebagai teman ketika seseorang klithak-klithik mengaduk gula dalam minuman. Ada pula yang berpacitan umbi-umbian, puli-pulian, bergantung makanan apa yang dimiliki atau mampu diadakan yang empunya rumah.

Salah satu pendukung budaya wedangan adalah kelompok (sub)urban, yang bermula dari budaya manusia rumahan (rumah-tangga) kemudian mereka bawa ke kota beserta ciri-ciri inheren pra-modernnya. Seiring mobilitas sosial ekonomi. Dulu, orang-orang Cawas, Bayat, ngurban di Surakarta. Mereka membawa wedangan sebagai salah satu jalan ekonomi. Sekarang: orang-orang Klaten, Gunungkidul, ngurban di Yogya. Mereka membuat tiruan wedangan dari apa-apa yang ada di rumahnya: kehangatan, guyonan, obrolan, spiritualitas, makanan, minuman, yang bahkan dibawa sampai ke luar batas-batas negara. Kemudian ditegakkan di sana. Kualitas minuman dan makanan desa cenderung jujur dan dekat dengan alam. Natural. Dari teknologi yang digunakan pun sangat pra-modern: pikulan, grobak, teko-cangkir, areng, dst. Bahasa yang digunakan adalah bahasa ‘ngisoran’, bukan bahasa piyayi; bahkan kalau dilihat dari kacamata undha-usuk basa disebut kasar. Bahasa pacelathon di wedangan melahirkan bahasa pidgin, bahasa campur di ruang-waktu wedangan. Ini semacam bahasa pertemuan antara oposan-oposan di kelas sosial, apa yang mereka anggap retak, renggang, bisa lebur, bisa terkoneksi dengan bahasa ini. Mereka merindukan peleburan. Dan market yang lahir dari gerak manusia urban adalah market kangen; pasar kangen. Mereka kangen mengucurkan apa-apa yang begitu kuna hidup di kepribumiannya, di asalnya, kemudian melepas atribut sosialnya.

Jika saja dianggap ‘sejarah’ wedangan masyarakat Gunungkidul merupakan hasil persinggungan dengan dinamika masyarakat urban Cawas, Bayat, Klaten, Gantiwarna, dan sekitarnya ke Surakarta pada waktu lalu, seiring gerak para pedagang dari Klewer atau Wangsa Tionghoa ke Gunungkidul, maka wedangan di wilayah pasar-pasar Gunungkidul hampir sama dengan hik, yaitu budaya wedangan model Solo dan sekitarnya. Dan jika masuknya wedangan ini dianggap salah satu ciri masyarakat Gunungkidul yang terbuka akan hal-hal baru (open-society), maka salah satu pintu keterbukaan itu berada di sisi timur-utara, yaitu persinggungan dengan Cawas, Bayat, dan Surakarta, sebagai kelanjutan hubungan budaya di waktu-waktu sebelumnya. Ciri seni aliran Surakartan adalah lembut, terbuka pada ornament-ornamen baru. Barangkali ini efek dari palihan nagari. Salah satu bentuknya adalah gamelan-alusan, seperti cokekan dan gadhon. Maka, wedangan ala Gunungkidul yang mengalami persinggungan dengan masuknya aliran ini pun memiliki ciri: santai, nglaras. Nglaras itu mendengarkan gendhing yang mengalun lembut; musik yang laras. Disertai obrolan, gojek kere, guyon-maton, wedangan dilatari ungeling gendhing. Dalam ruang yang disebut wedangan pula nanti akan diperdengarkan dhagelan Basiyo misalnya, yang banyak bercerita tentang drama keseharian, filosofi, bot-repote mencari makan, dst. Dengan suasana gembira dan tanpa beban, ‘Yang Wedangan’ ingin berlama-lama. Yang Wedangan lantas bilang, “Joke, Lik!”

Prinsip wedangan itu seperti prinsip alkimia (sebagai moyangnya sains), yaitu prinsip menuangkan, ngejoki, jak-jok, menambahkan minuman yang sama pada wadah. Seperti juga prinsip meleburkan atau menambahkan sesuatu kepada sesuatu yang ada di wadah. Di cangkir, di gelas. Meleburkan dirinya, dengan melepas atributnya, pakaiannya. Yang akhirnya mampu meleburkan padatan-padatan dalam kehidupan keseharian menjadi cair. Prinsip ajur, ajer, manjing, ketika wedangan itu mirip prinsip transmutasi logam yang dileburkan. Wedangan itu jagongan: menyumbangkan sesuatu. Yang disumbang pun terbuka menerima sesuatu. Di pasar-pasar, sebagai perjumpaan dan pembeli, hotel, tumah makan, tempat wedangan adalah tempat transaksi, tempat menyelesaikan masalah. Artinya, ada titik-titik pertemuan sesuai dengan wilayah kerjanya masing-masing untuk digunakan sebagai sarana menyelesaikan sesuatu. Tempat-tempat seperti ini akan melestarikan rasa ketagihan, kekurangan. Maka, karena merasa kurang, dhengkokan teh dalam teko dijok, kopi dijok, jahe yang sangat kuat rasanya juga dijok; dijoki wedang.

Ngejoki itu teknik untuk menahan waktu beku lebih lama, dan massa bertambah. Waktu yang diperlambat. Sementara modernisme mengajak manusia untuk mempercepat segala sesuatu yang santai, yang alon-alon, atau melipat yang lebar menjadi kecil-kecil, yang hangat dengan kata-kata diganti layar kaca, wedangan menawarkan yang sebaliknya. Wedangan itu bukan waktu-yang-dilipat ala budaya modern, bukan pula mimpi Einstein tentang hidup di dunia yang dipersingkat dalam sehari. Wedangan itu ruang yang diperluas, waktu yang dipanjangkan. Meskipun satu jam kemudian seseorang harus bekerja lagi, waktu wedangan ia panjangkan dalam makna kualitas. Jika perlu, siapa yang ada di sekitar, apalagi yang kenal, akan diajak wedangan. Sambil ngejok cangkir, seseorang nyelathu, “Pinarak, Pakdhe! Benteran riyin!”. Benteran itu minuman yang panas. Haus karena kepanasan justru dihilangkan dengan minuman panas. Bagi yang lungkrah, ngejok minuman panas itu membuat mak pyar, mata semakin awas. Terjaga. Alir-darah lancar. Otak encer. Semangat lahir kembali. Beda dengan minuman dingin. Dengan demikian, ketika yang jak-jok wedang kembali ke pekerjaannya, diharapkan mereka memeroleh hasil yang maksimal. Kejayaan. Bahkan, dalam acara-acara di kampung, tempat wedang itu disebut njayengan, tempat kemenangan, tempat mulia, karena merupakan tempat mempersiapkan minuman yang akan dipersembahkan kepada tamu. Dan, kebanyakan orang-orang dusun, kalau sehari belum wedangan rasanya ada yang kurang, ada yang tidak membuat mereka melayang ke suatu ruang-waktu yang sangat laras, ayom-ayem, sangat menentramkan.

Wedangan itu seperti sihir: mengajak nalar prasadar untuk selalu merindukannya, melakukannya, pada ruang waktu mitis. Wedangan pada dasarnya memberikan bantuan kepada orang-orang untuk dapat keluar dari masalah, keterpurukan, beban yang berlebih, menuju kondisi tanpa beban. Inilah teknik menuju kondisi ‘keemasan’, kondisi yang serba ‘sempurna’, kondisi kesegaran penuh, tanpa telikungan hal-hal tadi. Dengan kata lain, wedangan adalah upaya melepaskan diri dari ketidaktahuan. Semacam literasi. Menjadi melek dalam arti kognitif-spiritual. Wedangan itu lek-lekan, melek, wungon: menjaga agar selalu dalam kondisi terjaga; melek yang sesungguhnya. Seringkali manusia modern itu punya mata tapi tidak melek. Sering lewat di suatu tempat tapi jarang memperhatikan. Memiliki sesuatu yang bernilai di rumahnya, tapi tak tahu bahwa sesuatu itu bernilai (atau tahu nilainya dari luar dirinya kemudian mengembangkan budaya shock). Artinya, seakan manusia melek tapi tidak melek. Duwe mata ning ora weruh. Masyarakat melek bisa digambarkan sebagai pengetahuan dan laku hidupnya tentang objek kemelekannya, misal: melek aksara, melek kopi, melek teh, melek tela, melek jagung, melek rokok, dst. Wedangan adalah ruang untuk menjadikan ‘yang-wedangan’ melek, seperti tujuan lembaga yang disebut sekolah pada awalnya. (Sekolah berasal dari kata scolae yang berarti “waktu-senggang”, sebagai pasangan ketika anak-anak ‘seharusnya’ bermain dengan alam-lingkungannya, bukan melulu di ruang-ruang kelas yang sesak). Namun justru sekolah di jaman modern tidak menggunakan prinsip kesenggangan, malah sebaliknya. Wedangan sebagai konsep waktu-senggang, di dalamnya manusia-manusia bisa sekolah. Ada proses berdialog dan berdialektika dengan dialek (bahasa lokalnya) masing-masing. Dengan kapitalnya masing-masing. Karena dalam dialek, dalam kapital, itu tersimpan khasanah ilmu, yang sering, tak dimiliki oleh yang lain.

Akhirnya, wedangan, seperti halnya tempat-tempat ‘asing’ di Gunungkidul yang sangat menghanyutkan bagi orang-orang yang belum pernah berkunjung, yang disebar melalui media-maya internet dengan dipermak sedemikian rupa menggunakan teknologi, adalah mitologi baru yang disematkan oleh manusia-manusia modern yang rindu akan perubahan besar dalam kehidupannya. Mitos akan datang-pergi silih berganti, dalam bayangan-bayangan minuman surgawi, makanan surgawi, tempat surgawi, tokoh-tokoh surgawi, juga seksualitas surgawi. Manusia sering berlomba-lomba mendekonstruksi mitos-mitos, mematahkannya, menguburkannya, kemudian secara berjamaah akan mengonstruksi mitos baru, melalui penanda: tulisan, gambar, pamflet, foto, jurnal penelitian, jurnal massa, dsb.

Namun, paling tidak, ketika beberapa orang asik-masyuk wedangan di tempatnya Wariyo atau Bedher atau Stefanus atau yang lain, mereka memiliki kesadaran bahwa perubahan-perubahan besar di kehidupannya bermula dari sebuah ruang-waktu yang begitu senggang, yang memang karena mereka ingin berada pada ruang-waktu ini dengan kesadaran penuh, dalam kondisi ‘santai-yang-terjaga’ atas segala situasi di sekitarnya yang dirasa semakin cepat dan menyesakkan. Sebuah ruang-waktu pra-modern yang sangat laras, yang disebut wedangan. Pas melekan di tempat wedangan ini, siapa tahu didatangi dewa yang nyangking bokor kencana. Siapa tahu.

[KH/WG]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar