WONOSARI, (KH),– Suatu siang menjelang sore, suasana di depan Balai Dusun Seneng Kalurahan Siraman Kapanewon Wonosari tampak ramai oleh suara puluhan anak yang sedang bermain. Tampak beberapa mobil box beristirahat di bawah rindangnya pohon beringin yang menaungi area balai dusun. Ada pemandangan yang berbeda di mata: satu dari dua pohon beringin besar yang biasanya hijau rindang menaungi wilayah itu daunnya berguguran. Dahan dan rantingnya tampak meranggas kering. Jika saja sang pohon bisa berbicara layaknya manusia, dapat dipastikan dia akan mengatakan tentang kesakitan luar biasa yang sedang dirasakannya. Ya, pohon beringin besar yang diameternya tidak cukup dirangkul oleh 5 orang itu separuh tubuhnya tampak sekarat. Akar-akarnya yang menonjol tampak terluka oleh bekas pembakaran. Bau minyak solar darinya menyengat terbawa angin yang bertiup.
“Sekitar dua minggu yang lalu, waktu saya lewat, saya melihat beringin ini daunnya rontok dan mengering,” Sigit Nurwanto (30), salah seorang pemuda warga Dusun Seneng menyambut KH siang itu, sambil menerangkan kondisi beringin. “Kemarin atas inisiatif pemuda dan warga, kami menggali tanah bawah pohon. Kami menemukan tanah terkontaminasi benda semacam minyak atau solar. Ada beberapa bagian akar pohon yang kelihatan sengaja dirusak dengan cara dibacoki dan dibakar,” Olan (24), ketua Karang Taruna Dusun Seneng, menambahkan. “Sementara ini kami sedang mengumpulkan bukti-bukti, termasuk sampel tanah ini akan kami uji-laboratoriumkan. Jika memang sebuah tindakan yang disengaja untuk mematikan pohon beringin, kami akan membawa masalah ini ke ranah hukum,” Olan menambahi keterangannya dengan berapi-api.
Merujuk pada cerita tutur Mbah Darso itu, keberadaan Pasar Kawak dan dua resan beringin tidak bisa lepas dari kisah Dumadining Wonosari (wana: hutan, asri/sari: indah permai). Sesaat setelah kerja mbabad alas Nangka Dhoyong selesai, kemudian wilayahnya dinamai “Wonosari” (Wanasari). Perkembangan Wonosari sangat pesat, oleh karenanya dibutuhkan sebuah pasar untuk mengakomodasi aktivitas ekonomi masyarakatnya. Maka, Pasar Kawak yang telah ada lebih dulu dipindahkan ke tempat di mana Pasar Wonosari sekarang berada. Artinya, Pasar Kawak sebagai asal-usul pasar dipindahkan ke pusat kota.
“Dulu Pasar Kawak bernama Pasar Argo Asri (Arga Asri). Kemudian setelah dipindah ke pusat Kota Wonosari dinamakan Pasar Argosari,” ujar Sigit menirukan cerita Mbah Darso. Konon ceritanya pemindahan dilakukan oleh pihak Kasunanan Solo: Paku Buwana VI. Beliau berpesan untuk hari pasaran di Pasar Argosari tetap pada hari pasaran Pon, sedangkan hari pasaran Jumat Pon agar tetap berlangsung di Pasar Kawak sebagai ingatan sejarah dan tradisi masyarakat Seneng. Bahkan hingga sekarang setiap hari pasaran Jumat Pon di Pasar Kawak masih diselenggarakan tradisi Midang, yaitu upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat yang punya nazar atau hajatan. Pada tradisi midang ini masyarakat datang ke area bekas pasar dengan membawa ubarampe upacara adat berupa: kelapa, gula merah setangkep, beras sak-fitrah, dan kupat wurung atau kupat luar. Pada saat prosesi, pemangku adat akan mengesahkan ubarampe dan menarik tali kupat agar terlepas. Hal ini mengandung makna bahwa niat atau hajat yang punya nazar sudah lunas atau luwar (terlaksana, terbebas). Dalam pelaksanaannya, ada penazar yang menanggap reyog atau shalawatan Jawa (terbangan) sebagai hiburan.
“Sekuat tenaga kami akan berusaha menyelamatkan pohon ini. Setelah disemprot, akan kami berikan penetral racun, media tanah baru, dan pupuk organik cair. Semoga resan-resan ini masih bisa diselamatkan,” harap Sigit yang diamini oleh Olan. Terlihat jelas di mata memang efek kontaminasi tanah oleh minyak serta akar yang dirusak pada separuh pokok pohon. Dahan, ranting, dan daun ke atas tampak kering dan rontok. Sementara separuh pohon yang lain tidak demikian, bagian bawahnya tidak terkontaminasi, dan daunnya masih tampak menghijau.
“Kami tak habis pikir, apa salah mereka. Setiap generasi di Dusun Seneng mempunyai kenangan bermain main di bawah pohon yang rindang ini. Selain tempat ini digunakan sebagai Balai Dusun dan PAUD, juga menjadi tempat bermain bagi anak anak. Lalu dengan niat apa jika ada orang yang sengaja merusak pohon Beringin ini?” tanya Sigit tampak gusar.
Oleh karena itu upaya para pemuda dan masyarakat Dusun Seneng untuk menyelamatkan Resan Pasar Kawak, dimana Pasar Kawak merupakan cikal-bakal Pasar Argosari, pantas didukung demi keberhasilannya. Mereka, para pemuda, bercita-cita: beringin hijau dan beringin putih tinggalan Ki Demang Seneng masih bisa lestari. Keduanya mampu menemani dan menyertai generasi selanjutnya. Mereka ingin menjadi generasi modern yang masih menjaga dan membawa serta nilai-nilai dan ajaran luhur para leluhur mereka sendiri tentang bagaimana merawat alam dan merawat kehidupan. Kesadaran masyarakat tentang lestarinya situs “keramat’ alamiah tentu harus selalu diupayakan dan digalakkan. Pihak-pihak yang kawogan (berkepentingan) tanpa terkecuali sepantasnya bersinergi dengan para pemuda dalam kerja bersama melindungi situs-situs alamiah seperti resan pohon beringin Pasar Kawak atau Pasar Lama itu.
[Edi Padmo]