NGLIPAR, (KH),– Dua hari raya umat Islam ditandai dengan dilaksanakannya Sholat Idul Fitri dan sholat Idul Adha. Rangkaian perayaan hari besar bagi umat muslim tersebut utamanya dilaksanakan di tanah lapang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW.
Bagi jamaah yang memiliki tanah lapang di lingkungannya, pelaksanaan sholat ied ini tidak menjadi masalah karena tinggal melaksanakan di tanah lapang tersebut. Berbeda dengan umat Islam yang berada di tiga dusun yang terletak di pegunungan utara Nglipar Gunungkidul, yaitu: Padukuhan Sriten dan Padukuhan Ngangkruk di Desa Pilangrejo, serta Padukuhan Pringombo Desa Natah. Ketiga dusun tersebut berjajar di sepanjang lereng perbukitan Baturagung. Masing-masing wilayah di 3 dusun tersebut dipisahkan oleh hutan sebelah bawah (selatan) permukiman, sehingga untuk melaksanakan kegiatan di lapangan sholat ied milik desa harus menempuh jarak sekitar 5 km menuruni bukit.
Kardi, warga Padukuhan Sriten menuturkan, “Sholat Ied dilaksanakan pagi-pagi, sehingga bagi umat Islam yang akan melaksanakan sholat dari Sriten ke Lapangan Wotgalih memerlukan waktu perjalanan antara 1,5 – 2 jam jalan kaki. Hal itu menjadi masalah yang cukup menyulitkan bagi para lansia dan anak-anak untuk beribadah dihari raya.”
Sutris, warga Padukuhan Pringombo Desa Natah juga menyatakan hal yang sama dengan Kardi. “Apalagi pelaksanaan sholat Ied di Desa Natah ditegakkan di Lapangan Natah Wetan,’ ujarnya.
Pada tahun 1999, atas inisiatif warga 3 padukuhan, yakni Sriten, Ngangkruk, dan Pringombo membuka lahan salah satu warga yang diwakafkan untuk pembangunan lapangan sholat ied.
Sumadi, warga Dusun Ngngkruk mewakafkan sebagian lahannya untuk dijadikan lapangan
“Meskipun tanah saya berada di atas bukit dan belum berbentuk lahan luas seperti lapangan, masyarakat 3 dusun sepakat menerima dan mengerjakan proyek kepras bukit untuk pembuatan lapangan,” jelas Sumadi.
Diprakarsai tokoh masyarakat dari masing-masing padukuhan, kerja bakti pun dilaksanakan secara bersama-sama. Pekerjaan mulai dari proses pengeprasan bukit untuk membuat lapangan dengan luas sekitar 1.500 meter persegi, lengkap dengan talud batu kosong. Kerja bakti demi kerja bakti yang dilaksanakan oleh sekitar 300 orang dari 3 dusun ini pun terus berlanjut.Kini lapangan sholat ied ini mampu menampung sekitar 600 jemaah.
Karena lapangan dari bukit yang dikepras ini relatif tinggi elevasinya, setiap pelaksanaan sholat ied pasti embun pagi disertai terpaan angin yang sangat dingin dirasakan oleh umat yang beribadah disana. Selain itu, lapangan sholat ied tersebut juga menyuguhkan luasnya panorama alam, hampir seluruh wilayah Gunungkidul dapat terlihat, dari Pilangrejo hingga tepi pantai selatan.
Suharto dan keluarganya yang sebenarnya tinggal di dekat lapangan Wotgaleh ternyata lebih memilih melaksanakan sholat di lapangan di atas bukit yang jaraknya sekitar 4 km dari rumahnya. “Kami memilih sholat di lapangan atas, karena lebih hening, unik, serta bisa langsung silaturahmi dengan sodara-sodara saya yang disana. Sejak adanya lapangan ini, kami hampir setiap tahun pasti melaksanakan sholat di sini. Kami rela mencarter mobil atau naik ojek untuk kesana,” ujar Suharto.
Hadi SW, tokoh masyarakat yang juga salah satu pemrakarsa pembangunan lapangan sholat ied tersebut menuturkan rencana lanjutannya. “Kami berencana untuk menambah luas lapangan. Mengepras dan menguruk beberapa sudut yang masih agak tinggi, membangun jalan masuk, serta menalud,’ ujarnya.
Edy dan Anjar, pemuda yang aktif dalam mengikuti kegiatan di Padukuhan Ngangkruk memiliki inisiatif berbeda dalam memanfaatkan lahan tersebut. “Saya yakin, tiga padukuhan ini kelak menjadi tempat tujuan wisata karena memiliki potensi yang tak kalah dengan wilayah lain. Oleh karena itu, pembangunan lapangan sholat ied, kedepannya bisa dimanfaatkan untuk tempat kemah, lokasi outbound, tempat pertunjukan, dan lain-lain,” papar mereka. (BillS/Jjw).