Tradisi Berdesa di Pringombo

oleh -9132 Dilihat
oleh
Tradisi Berdesa "Sambatan Ndhudhah Omah" di Pringombo
Tradisi Berdesa "Sambatan Ndhudhah Omah" di Pringombo

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada hari Sabtu 8 Agustus 2020, Kabar Handayani (KH) berkunjung ke tempat tinggal seorang teman-lama di Dusun Pringombo Kalurahan Natah Kapanewon Nglipar Kabupaten Gunungkidul. Di tengah proses perubahan adat kebiasaan masyarakat dari format “desa” ke “kelurahan”, KH bermaksud mengulik tradisi berdesa yang masih ada di wilayah teman-lama KH itu. KH ingin mencari tahu tradisi “berdesa” apa yang asli dan masih hidup di sana karena teringat penggalan kalimat dalam Undang-undang Desa: “Desa adalah institusi dan identitas masyarakat berdasar hukum tertua dan bersifat asli”. Tradisi berdesa mengacu kepada adat kebiasaan di desa yang bersifat turun-temurun dan dilakukan oleh masyarakat desa. Tradisi berdesa oleh masyarakat desa itu di antaranya: bergotong-royong, bermusyawarah, menjaga toleransi, membudidayakan tanaman pertanian khas tertentu, melaksanakan upacara adat, menerapkan unggah-ungguh dan tata krama, dan lain lain.

Pemandangan di Gunung Sumilir Sisi Timur.[Foto:nr]
Pemandangan di Gunung Sumilir Sisi Timur.[Foto:nr]
Menuju ke Dusun Pringombo harus menggunakan kendaraan yang performanya bagus karena jalan cor blok yang menanjak tinggi. Satu kendaraan bermotor KH kendarai sendiri. KH telah banyak mendengar cerita tentang kendaraan bermotor yang terperosok atau terguling saat merangkak menaiki tanjakan ke Pringombo. Pringombo terletak di ketinggian 767 dpl, termasuk salah satu Puncak Tertinggi Gunungkidul Zona Pegunungan Batur Agung Utara setelah Puncak Sriten. Pringombo memiliki puncak tertinggi bernama Sumilir, berada di Gunung Sumilir. Tutur legenda di sana, disebut “sumilir” karena di Puncak Sumilir suasananya silir, angin agak kencang bertiup. Ketika sepanjang mata KH memandang ke arah timur yaitu ke Klaten, Solo, dan Wonogiri dan ke arah selatan ke Zona Ledoksari, muka KH diterpa angin agak kencang. Kata orang-orang yang sering berada di sana, bila cuaca cerah Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri terlihat jelas dengan mata telanjang. Pemandangan ke selatan ke Zona Ledoksari berujung Zona Pegunungan Seribu jauh di belakangnya. Dari samping tanaman buah sirsak, pandangan mata KH samar-samar melihat garis permukaan Laut Selatan di cakrawala.

Beberapa tanaman buah yang ditanam di Gunung Sumilir seperti sirsak, durian, kelengkeng, dan manggis memang mengalami kematian akibat tiupan angin yang agak kencang di sana itu. Adanya water-torn (tangki-air) di Puncak Semilir berkapasitas 5000 liter, yang airnya dinaikkan vertikal sejauh 200 meter, tampak kewalahan menjaga keberlangsungan kehidupan beberapa tanaman buah di sana. Tradisi berkebun buah-buahan di Gunung Sumilir sudah dilaksanakan oleh masyarakat Pringombo beberapa tahun lalu. Mereka juga memanfaatkan lahan di sekitar Gunung Sumilir yang merupakan Sultan Ground (SG) untuk menanam tanaman pertanian dan rumput pakan ternak. Rata-rata warga Pringombo beternak hewan ternak dua sampai tiga ekor. Hewan ternak mereka sapi dan kambing. Sapi dan kembing merupakan sumber kekayaan meskipun biaya pakan untuk merawatnya lebih tinggi dibanding nilai jualnya. Ketika memiliki hajat tertentu, seperti ewuh, bahkan ketika sakit, kekayaan berupa sapi dan kambing digunakan oleh warga Pringombo untuk membiayainya.

Pemandangan di Gunung Sumilir Sisi Utara.[Foto:nr]
Pemandangan di Gunung Sumilir Sisi Utara.[Foto:nr]
Tradisi menjaga dan menziarahi makam atau petilasan leluhur pun tampak nyata di Puncak Sumilir.  Di sisi utara Puncak Sumilir terdapat makam atau petilasan yang diyakini sebagai makam tokoh Prabukusuma dan Prabuningrat. Ada juga yang meyakini sebagai peristirahatan Syech Ibrahim. Diceritakan bahwa tokoh-tokoh ini terkait dengan sisa-sisa pelarian Laskar Majapahit (Pasukan Berkuda “Kuda Sembrani”). Di bagian utara makam atau petilasan terdapat jurang vertikal memanjang ke arah barat sampai pegunungan sisi timur Sriten. Dari sana KH bisa menyapukan pandangan jauh ke utara hingga barat, yaitu Bayat Klaten dan Prambanan Sleman.

Sementara itu tempat tinggal teman lama KH berada di sisi timur Dusun Pringombo. Tepi rumahnya jurang pula seperti tepi utara Puncak Semilir. Teman lama KH itu bernama Eko. Eko Sujatmo lengkapnya. Ada tradisi berdesa lain yang menarik perhatian KH yang muncul saat KH singgah, wedangan, serta membangun obrolan-obrolan di rumahnya. Waktu penyambutan itu Eko ditemani adiknya, yang merupakan dukuh (kepala dusun) Dusun Pringombo, Pak Ristadi.

Tradisi warga Pringombo beternak sapi dan kambing di kandang di samping rumah.[Foto:nr]
Tradisi warga Pringombo beternak sapi dan kambing di kandang di samping rumah.[Foto:nr]
Tradisi berdesa yang KH maksud adalah tradisi sambatan atau gotong-royong. Di lain tempat sering pula disebut gugur-gunung. “Baru pulang dari sambatan membongkar rumah Lik Legimin,” ucap Eko mengawali obrolan kami. “Sudah dua minggu lebih saya dan adik saya ini tiap hari gotong-royong membongkar dan membangun rumah warga. Kebetulan Dusun Pringombo mendapat Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dari Kementrian PUPR. Ini semacam bantuan pembangunan rumah tidak layak huni untuk keluarga miskin,” terangnya.

Setelah KH disuguhi teh panas dan dhawet ganyong khas Pringombo yang sangat menyegarkan, obrolan kami bertiga mulai melebar tentang tema sambatan atau gotong-royong. Ternyata orang tua Eko bersama beberapa ibu rumah tangga lain di Pringombo memiliki tradisi membuat dhawet dari ganyong dan memasarkannya ke beberapa pasar tradisional di Nglipar dan Ngawen. Sembari KH meminum dhawet ganyong, Eko menerangkan teoritis bahwa sambatan adalah istilah bagi pekerjaan seorang warga yang pelaksanaannya dibantu oleh banyak warga. Sambatan adalah tradisi khas pedesaan yang sudah turun-temurun, namun saat ini sudah banyak berkurang bahkan luntur, digantikan dengan pekerjaan sistem borongan atau upah. “Lunturnya tradisi sambatan tidak boleh terjadi di Pringombo!” tegas Eko dengan muka serius. “Beberapa tahun yang lalu kami, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat Pringombo, mencetuskan tekad dan semboyan “guyub rukun salawase“. Ini komitmen kami untuk menjaga tradisi leluhur,” ungkap Eko penuh semangat.

Tradisi membuat dhawet berbahan ganyong.[Foto:nr]
Tradisi membuat dhawet berbahan ganyong.[Foto:nr]
“Awalnya, kekhawatiran kami, ada kebiasaan baru yang masuk ke Pringombo, yaitu pekerjaan warga diborongkan. Entah itu panen padi, atau memperbaiki rumah, atau yang lain. Rasanya ada yang beda,” Pak Dukuh menambahi. “Kami ingat kenangan warga Pringombo saat membuka jalan tembus dari Balai Desa Natah naik ke Dusun Pringombo. Dalam waktu lebih dari 4 bulan tiap hari kami gotong-royong membuka jalan, melakukan pengerasan jalan bersama-sama. Karung demi karung pasir kami sunggi  sesuai kekuatan kami. Akhirnya cita-cita kami mempunyai jalan bisa terwujud,” kenang Pak Dukuh bernostalgia. Eko menambahkan, “Bayangkan, Mas, dulu saat aliran listrik memasuki wilayah Pringombo, kami menggotong togor (tiang listrik) satu persatu untuk dibawa naik dengan tenaga manusia. Bagi yang masih muda dan kuat, satu togor digotong 8 orang. Yang sudah agak tua atau ringkih satu togor digotong 12 orang.”

“Kekompakan dan guyub-rukun seperti ini yang kami tidak mau kehilangan. Sambatan adalah modal-sosial dasar yang tetap harus dimiliki oleh masyarakat desa, karena di situ terkandung nilai-nilai kebersamaan, toleransi, kerukunan, solidaritas, dan lain lain,” terang Eko panjang lebar.

Sambatan 'ngudhunke gendheng'.[Foto:eko]
Sambatan ‘ngudhunke gendheng’.[Foto:eko]
Teman lama KH itu melanjutkan, “Dusun Pringombo memiliki jumlah KK 112. Sementara kegiatan gotong-royong membongkar satu rumah bisa diselesaikan dalam waktu satu hari saja. Setiap KK akan mengirimkan satu orang wakil untuk ikut serta dalam gotong-royong. Bahkan, bagi tetangga atau sedulur yang punya gawe, laki laki dan perempuannya akan berangkat semua untuk membantu. Tuan rumah menyiapkan makan dua kali, juga snack dan rokok untuk para warga yang bergotong-royong.

“Apakah cost untuk ngingoni, medangi, dan ngududi tidak terlalu besar di sistem sambatan ini?” KH bertanya penasaran karena pasti biaya dapur si empunya gawe akan sangat luar biasa untuk konsumsi ratusan orang.  “Betul, biaya konsumsi dan lain-lain memang sangat besar. Tapi ada banyak keuntungan didapatkan dari sistem gotong-royong ini. Pertama, pekerjaan akan cepat selesai. Kedua, tetangga-tetangga yang nyander (datang membantu) tidak lembean (datang tak membawa apa-apa), sebaliknya membawa apa pun yang dia punya. Ada yang membawa beras, gula, teh, kelapa, bahan sayur mayur atau yang lain. Bahkan material bangunan seperti kayu dan bambu,” Pak Dukuh Ristadi menjawab pertanyaan KH.

Sambatan 'ngranting gendheng'.[Foto:eko]
Sambatan ‘ngranting gendheng’.[Foto:eko]
Eko menambahi keterangan adiknya itu, “Dan yang jelas, sistem sambatan ini lir-gumanti (bergantian), dimana semua warga Pringombo secara bergantian ikut merasakan manfaatnya. Walaupun tidak semua jenis pekerjaan akan dikerjakan bergotong-royong oleh semua warga Dusun Pringombo, istilahnya hanya oleh gedhog palang (tetangga terdekat atau saudara dekat) saja. Ini untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat ringan, misal memperbaiki kandang, memanen padi, atau pekerjaan lain yang bisa dikerjakan oleh sedikit orang. Kita di Pringombo ini ibarat sak eyubing blarak, artinya, bahwa semua warga satu pedukuhan harus ikut serta semua, misal dalam membongkar dan membangun rumah, membangun jalan, membuat selokan, membangun fasilitas umum, dan lain lain.”

“Pada proses membangun rumah dan membutuhkan ilmu tekhnik bangunan, memang ada kepala tukang yang memimpin pekerjaan. Semua yang membantu harus manut dan menyesuaikan arahan kepala tukang. Sambil bekerja bareng itu, kami biasa garap-garapan, poyok-poyokan, atau diskusi bebas tentang program dusun ke depan. Panas matahari dan lelah bisa terlupakan. Tahu tahu pekerjaan selesai,” begini Eko menggambarkan suasana ketika dia ikut bergotong-royong membedah rumah Lik Legimin.

Medang, Mangan, Ngudud.[Foto:eko]
Medang, Ingon, Ngudud.[Foto:eko]
Minimal seperti itulah, suasana gotong-royong di Pringombo yang berada di ketinggian Pegunungan Batur Agung Utara. Apa yang KH temui di Pringombo masih sangat kental mencerminkan tradisi berdesa. Ini tidak lepas dari upaya perangkat dusun, tokoh pemuda, dan masyarakat Pringombo untuk menjaga tradisi berdesa mereka sendiri. Semboyan guyub rukun saklawase benar-benar dipraktekkan oleh mereka dengan kerja dan laku nyata, tidak sebatas jargon dan semboyan kosong.

Kenyataannya sekarang, banyak dusun atau desa di Gunungkidul mulai kehilangan semangat kebersamaan seperti itu. Tradisi bergotong-royong mulai tergerus jaman. Tugas kita bersama untuk kembali menggaungkan dan menjaga semangat bergotong-royong karena dengan modal sosial atau modal dasar seperti gotong-royong ‘entitas desa’ akan mampu bertahan dari gempuran jaman.

[KH/Edi  Padmo]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar