Rencana Aksi Tidak Masuk Kerja Ribuan Honorer Tak Dikhawatirkan Disdikpora

oleh -5107 Dilihat
oleh
ilustrasi. foto: istimewa.
ilustrasi. foto: istimewa.

WONOSARI, (KH),– Cukup dilematis nasib yang dialami honorer di institusi pendidikan di Gunungkidul. Profesi sebagai Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak tetap (PTT) begitu sulit mendapat apresiasi berupa penghasilan yang layak.

Jangankan layak, hak yang diperoleh masih jauh panggang dari api. Selain sumber terbatas, regulasi yang mengatur juga tak banyak member keleluasaan. Seperti yang disampaikan Koordinator Forum Honorer Sekolah Negeri (FHSN) Gunungkidul, Aris Wijayanto, S.Pd., beberapa waktu lalu, gaji yang diperoleh ribuan honorer hanya berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 300.000 per bulan. Honor tersebut bersumber dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Diungkapkan, dengan honor yang sangat minim tersebut jangankan memenuhi kebutuhan sehari-hari, untuk sekedar biaya transport berangkat dan pulang ke tempat mengajar saja terkadang masih kurang.

Meski kondisi ini telah berlangsung bertahun-tahun nampaknya pemerintah tak memiliki kebijakan yang dapat mengatasi problematika secara keseluruhan terkait honorer. Sebuah kebijakan bagi dunia pendidikan yang berdampak menyeluruh pada GTT dan PTT.

Dipaparkan, semenjak keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2017 Tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah. Pada Bab V terkait Penggunaan Dana BOS, poin nomor 9 di dalamnya menyebutkan, bahwa tenaga honor pada sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib mendapatkan penugasan dari pemerintah daerah dan disetujui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Sekretaris Jenderal berdasarkan usulan dari dinas pendidikan provinsi dengan menyertakan daftar data guru hasil pengalihan kewenangan yang meliputi jumlah guru, nama guru dan mata pelajaran yang diampu, dan sekolah yang menjadi satuan administrasi pangkalnya.

“Aturan tersebut yang membuat honorer resah. Sebab kami diharuskan memiliki surat tugas atau Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah atau bupati,” tutur pendidik di SD Karangsari Semin ini.

Dari komunikasi yang saling bertaut, GTT dan PTT berkeinginan mengajukan permohonan SK penugasan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Agar memiliki kekuatan suara dan legitimasi dibentuklah FHSN. Agenda besar yang pertama yakni menuntut pemerintah daerah mengeluarkan SK bagi mereka.

Akan tetapi, sejak audiensi yang dilaukan April Tahun 2017 lalu, realisasi dari permintaan SK tak kunjung ada perkembangan. Pemerintah dianggap seolah mengabaikan, atau sibuk dengan kegiatan lain. Kelangsungan penyelenggaraan pendidikan yang kondusif nampaknya tak menjadi prioritas.

Kondisi semakin pelik ketika keluar Permendikbud No. 1 Tahun 2018 Tentang Juknis BOS. Karena pada Bab V terkait penggunaan dana disebutkan, guru honorer yang mendapat pembayaran honor wajib :
a) memiliki kualifikasi akademik S-1/D-IV; dan, b) mendapatkan penugasan dari pemerintah daerah dengan memperhatikan analisis kebutuhan guru dan menyampaikan tembusan penugasan dimaksud
kepada Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bagi guru honor yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

“Dengan adanya peraturan tersebut penghasilan yang sangat sedikit tadi terancam hilang. Tak hanya honorer yang resah, dewan guru dan kepala sekolah setiap institusi merasakan hal yang sama,” imbuh warga Semin ini.

Merespon hal tersebut, upaya FHSN meraih SK penugasan dari pemerintah daerah semakin gencar. Yang telah dilakukan beberapa diantaranya berkoordinasi dengan Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S), Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

FHSN dengan dukungan dari berbagai organisasi dan forum pendidikan bersama-sama semakin semangat melakukan perjuangan. Beberapa kali pembicaraan dengan Disdikpora juga ditempuh. Dari hasil pembicaraan, pada dasarnya pihak Disdikpora bersedia membantu mengupayakan. Hal tersebut ditempuh dengan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah dan pihak terkait.

Keseriusan FHSN diperjelas kembali dengan melakukan audiensi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) akhir bulan lalu. Aris menilai langkah tersebut diambil sebagai bentuk perjuangan atas lambannya pemerintah daerah yang tak kunjung memberi jabawan jelas.

Menurut Aris, keberadaan GTT dan PTT tak bisa dianggap remeh. Sebanyak 1.985 honorer yang tersebar di 1.396  sekolah negeri memiliki peran yang besar terhadap kelangsungan pendidikan di Gunungkidul. keberadaan honorer sebagian besar memiliki posisi sangat penting disetiap sekolah, baik sebagai guru dan operator sekolah.

“Jika audiensi kami di DPRD juga tak membuahkan hasil kami berencara melakukan aksi damai turun ke jalan,” lanjut Aris.

Bahkan, jika tuntutan mereka lagi-lagi tak ada kejelasan, sebagai opsi terakhir, demi memperjuangkan nasib, ribuan honorer mengklaim siap melakukan aksi tidak masuk kerja. Aris tetap berharap pemerintah daerah segera memberi kepastian jawaban sebelum akhir tahun pelajaran 2017/2018, sehingga pilihan aksi yang paling akhir tersebut tidak terjadi. Sebagai pendidik, keprihatinan mendalam pasti akan dirasakan jika melihat proses pendidikan tak berjalan atas aksi ribuan honorer.

Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olahraga (Disdikpora) Gunungkidul, Bahron Rosyid mengaku tuntutan honorer di sekolah negeri tersebut tak membuatnya risau. Tak ada kekhawatiran meski gabungan honorer yang berada di lembaga pendidikan mulai jenjang TK hingga SMA mengancam akan berhenti bekerja.

“Kami sudah diminta Pemda untuk mengkaji dimungkinkan atau tidak jika dikeluarkan legalitas tersebut, dan kesimpulannya itu memungkinkan,” terangnya.

Untuk itu, ancaman adanya aksi atas tuntutan honorer diprediksi tidak akan terjadi. Kajian yang dilakukan hingga belakangan ini sudah sampai menghitung jumlah kebutuhannya, anggarannya, jumlah guru kelas, jumlah guru mata pelajaran, dan lain sebagainya.

Terkait rencana aksi honorer tersebut, pihaknya menanggapi secara dingin. “Semua kan bisa dimusyawarahkan. Saya optimis kok hal tersebut terealisasi. Tidak ada kendala berarti untuk merealisasikan itu,” tandas Bahron.

Dalam kesempatan yang berbeda, DPRD Gunungkidul berjanji akan memperjuangkan GTT dan PTT dengan melakukan musyawarah dengan bupati. Ketua DPRD Gunungkidul Suharno, akan menugaskan komisi D untuk mencari referensi di wilayah lain yang telah menerbitkan SK bupati bagi GTT dan PTT.

“DPRD akan mengadakan studi banding ke Purbalingga dan Kebumen, Jawa Tengah pada hari Kamis, 12 April 2018 mendatanhg. Kegiatan akan diikuti oleh Kepala Dinas Dikpora, PGRI, Dewan Pendidikan dan perwakilan FHSN,” tukasnya. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar