WONOSARI, (KH)— Nasionalisme dan patriotisme sudah semestinya dimiliki setiap warga negara, Semangat ini bisa dimulai dari keluarga, hingga lingkungan masyarakat yang lebih luas lagi. Di peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-108 ini, tokoh senior pendidikan Gunungkidul yang dahulu berkecimpung dalam gerak penguatan patriotisme memberikan sinyal, saat ini sikap menjunjung tinggi ideologi negara mulai runtuh.
“Generasi muda saat ini mulai kehilangan kesadaran berbangsa dan bernegara,” ujar Mukarta, tokoh senior pendidikan Gunungkidul yang pernah terlibat langsung dalam upaya penanaman ideologi bangsa sebagai penatar Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Ia melanjutkan pengalamannya, pemerintahan Orde Baru menyatakan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada waktu itu, upaya untuk menanamkan Pancasila sebagai asas tunggal dilakukan dengan mengadakan penataran P-4 di sekolah-sekolah, kantor-kantor, organisasi politik, organisasi massa, dan lain-lain.
“Saya menjadi penatar di desa-desa, kepada pamong, kelompok-kelompok masyarakat, bahkan kepada orang-orang yang ditengarai terlibat PKI, ada juga kelompok yang disebut ekstrim, waktu itu,” kenangnya saat ditemui KH di kediamannya di Desa Kepek Wonosari, Kamis, (20/5/2016).
Zaman Bung Karno, lanjut dia, ada 7 pokok bahan indoktrinasi (Tubapi), meliputi UUD 1945, Pancasila, dan lainnya sebagai suatu pegangan dasar Indonesia. Perkembangannya, pada akhirnya pelaksanaan penataran P4 yang meliputi berbagai materi dasar negara saat ini ditiadakan.
Dulu, dalam ingatan Mukarta, arah nasionalisme berbangsa, serta tujuan pembangunan itu diatur dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kalau saat ini, program jangka panjang itu materi kampanye kepala daerah, bukan lagi sebagai produk rakyat secara nasional yang dikeluarkan MPR. Menurutnya, walaupun dulu sempat disalahartikan sebagai sentralisasi tetapi sebenarnya tidak.
“Mestinya bukan membuat yang baru, tetapi meluruskan yang bengkok. Dulu kesadaran berbangsa bernegara, atau juga bermasyarakat, lebih kuat. Dengan adanya reformasi ini kesadaran berbangsa menurun akibat reformasi yang kebablasen,” sebut dia.
“Guru itu ujung tombak sebagai sosok yang memiliki kewenangan sebagai penanam karakter anak muda. Namun, guru kini kehilangan kewibawaan,” imbuhnya. “Guru saat ini sering dianggap sedikit-sedikit salah, guru bingung, kalau demikian mau bagaimana?” tegasnya.
Dalam mendidik murid, ia mencontohkan, apabila murid nakal atau memang salah dalam ranah aturan sekolah. Tetapi kemudian malah mendapat pembelaan dengan berbagai alasan, bahkan hingga sampai ke proses hukum. Boleh menggunakan hak bersuara, lanjutnya, tetapi jangan asal protes, meskipun memang guru masih ada kelemahannya.
“Secara umum, ia menilai anak muda saat ini memiliki tanggung jawab sosial yang rendah. Contohnya aksi vandalisme, dalam hal ini masyarakat langsung memvonis anak muda salah, tetapi di luar itu masyarakat sendiri belum menciptakan kondisi sosial yang baik. Dalam hal ini dorongan terhadap jiwa muda yang positif,” ungkap Mukarta.
Salah satu penyebabnya, urainya, para ibu di dalam rumah tangga jarang sekali menggunakan bahasa ibu dalam membimbing anaknya. Melalui bahasa ibu itu dapat meletakkan dasar-dasar karakter dan dasar kepribadian. Contohnya, ajaran penggunaan bahasa sopan kepada orang yang lebih tua itu tugas ibu, perbedaan fungsi tangan kanan dan kiri dalam budaya keseharian itu juga tugas ibu.
“Runtuhnya keseluruhan sikap mental, bukan kesalahan ibu sepenuhnya. Ini akibat sistem sosial dari reformasi yang tanpa batas, kebablasen tadi. Benar sekali pemerintahan yang sekarang, revolusi mental, mental itu aplikasi dari nilai-nilai moral,” papar tokoh pendidikan sekolah BOPKRI yang menginjak usia 80 tahun ini.
Harapannya, kemudian ada implementasi, aplikasinya atau tindakan nyata dan disesuaikan, sehingga tumbuh tanggung jawab bersama tanggung jawab hidup bermasyarakat dan berbangsa, karena berbicara sebatas moral saja itu baru hal yang sifatnya statis.
Sementara itu, Mustangid, guru senior yang malang melintang mengajar dan memimpin sekolah SMK ini kepada KH menyatakan, regulasi yang ada terkadang berbenturan dengan semangat rasa nasionalisme. Ia mencontohkan, Presiden Jokowi sedang menggalakkan melalui Kemenristek, bagaimana karya ilmuwan di perguruan tinggi atau di lembaga lain tidak hanya untuk persyaratan kenaikan tingkatan atau angka kredit, tetapi diwujudkan dan diaplikasikan.
Kenyatannya, sambung Mustangid, ketika percobaan ilmuwan/praktisi yang didanai negara gagal akhirnya dipenjarakan. Itu menjadikan semangat rasa kebangsaan yang luar biasa menjadi luntur.
“Untuk menjunjung kredibilitas ilmuwan menjadi surut, ilmuwan takut dipenjarakan karena gagal eksperimen, Ilmuwan dalam wujud cintanya kepada tanah air sebenarnya berani mengambil langkah, tetapi adanya regulasi menyangkut permasalahan itu malah tersangkut masalah hukum,” ulasnya.
Guru yang kini juga menjabat sebagai Kepala SMK YAPPI ini berujar, bagaimana orang memastikan ketika mendapat anggaran negara tidak gagal dalam eksperimen. “Harusnya tidak begitu, kemungkinan gagal itu ada dalam setiap percobaan, kalau kemudian kegagalannya dianggap merugikan negara ini tidak pas,” kata dia.
Selain itu, semua guru di semua jenjang lembaga pendidikan dihadapkan pada permasalahan kewenangannya mendidik anak, baik di tingkat perguruan tinggi hingga tingkat bawah ini dihadapkan permasalahan demikian.
Guru di semua jenjang ketika mau menancapkan karakter anak didiknya justru sering dihadapkan pada permasalahan hukum. Contohnya mencubit pun dipolisikan. Itu sangat menghambat, bagaimana guru bisa menanamkan rasa nasionalisme untuk anak? Hal ini ia anggap permasalahan yang sangat berat.
“Ketika Pancasila tidak segera ditancapkan, kemudian orientasinya selalu bicara HAM, orang boleh berserikat tidak terkontrol. Akhirnya timbul sektarian, ini akan mengancam keberadaan negara. Pemerintah harus tegas, kelompok beragama dengan alasan berlandas kebebasan beragama jangan serta merta seperti itu, mulai dari tingkat daerah perlu diwaspadai,” ungkap dia.
Dari sisi pandangan agama, perlunya pemahaman penerapan nilai agama yang harus ditanamkan dalam kenegaraan. Misalnya menyangkut perbedaan. Dicontohkan dalam sebuah forum rapat, misalnya orang rapat, silahkan berpendapat dan silahkan berbeda pendapat, itulah anugerahnya dan rahmahNya, lalu ditampung, kemudian keputusan akhir tetap satu.
“Tidak bisa orang bersikukuh harus berbeda, tetapi harus pada satu titik atau mufakat, begitu juga dengan kehidupan berbangsa harus pada dasar negara,” tegasnya.
Memaknai rahmah perbedaan, menurut Mustangid, tidak serta merta orang mudah mendirikan ormas, partai, dan kelompok-kelompok. “Ini harus segera ada tindakan penajaman kepada Pancasila, sebagai momen kebangkitan nasional itu harus kembali, kalau tidak bisa, dapat menjadi sesuatu hal yang luar biasa,” lanjutnya.
Ia memandang, perlu suatu gerakan yang memunculkan kembali nasionalisme dan patrotisme yang memang sempat rapuh. Rasa nasionalisme gampang pecah. Dahulu ada ketegasan negara dalam mempertahankan dasar-dasar dan ideologi negara, karena orang berusaha dipahamkan dengan hal tersebut.
“Sekarang siapa yang memiliki tanggung jawab sepeti itu?” tanya Mustangid. Menurutnya, saat ini bisa dibilang tidak ada. Menurutnya keberadaan P4 penting, memang diakui penataran P4 agak berlebihan dalam penyelenggarannya.
“Kalau sekolah, kajian ilmiahnya kan sudah ada di kurikulium. Memang butuh peninjauan kembali, bukan penghangusan sama sekali. Sekarang sudah dirasakan, siapa sekarang yang menjadi penyebar ideologi negara, dalam dunia pendidikan pun tidak seperti dulu,” ungkap dia.
Dulu, menurutnya ada penjabaran dari nilai Pancasila, setidaknya ada rambu-rambu dalam semangat nasionalisme. Ketika pendidikan berbicara sekian puluh karakter, sebut Mustangid, sebenarnya ada di Pancasila meski tidak begitu rinci. (Kandar)