Pendidikan Nasionalisme yang Menembus Sekat Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan

oleh -
oleh
iklan dprd
“Garden of students” atau “student’ garden” in Jogjakarta, pola pembelajaran di Perguruan Taman Siswa . Dok: Wikipedia

KH,– Buah pemikiran tentang kebangsaan dan pendidikan Ki Hadjar Dewantara tetap relevan dalam dunia masa kini yang bergerak dinamis. Dalam pandangannya, tujuan pendidikan adalah memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial serta didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Dasar-dasar pendidikan Barat dirasakan Ki Hadjar tidak tepat dan tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia karena pendidikan barat bersifat regering, tucht, orde (perintah, hukuman dan ketertiban). Karakter pendidikan semacam ini dalam prakteknya merupakan suatu perkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Akibatnya, anak-anak rusak budipekertinya karena selalu hidup di bawah paksaan atau tekanan. Menurut Ki Hadjar, cara mendidik semacam itu tidak akan bisa membentuk seseorang hingga memiliki “kepribadian”.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. Pendidikan itu membentuk manusia yang berbudi pekerti, berpikiran (pintar, cerdas) dan bertubuh sehat.

Citra Manusia Indonesia Menurut Ki Hadjar Dewantara

iklan golkar idul fitri 2024
  1. Manusia Indonesia yang Berbudi Pekerti. Manusia Indonesia yang berbudi pekerti adalah yang memiliki kekuatan batin dan berkarakter. Artinya, pendidikan diarahkan untuk meningkatkan citra manusia di Indonesia menjadi berpendirian teguh untuk berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Dalam tataran praksis kehidupan, manusia di Indonesia menyadari tanggungjawabnya untuk melakukan apa yang diketahuinya sebagai kebenaran. Ekspresi kebenaran itu terpancarkan secara indah dalam dan melalui tutur kata, sikap, dan perbuatannya terhadap lingkungan alam, dirinya sendiri dan sesamanya manusia. Jadi, budi pekerti adalah istilah yang memayungi perkataan, sikap dan tindakan yang selaras dengan kebenaran ajaran agama, adat-istiadat, hukum positif, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
  2. Manusia Indonesia yang Maju Pikirannya. Manusia di Indonesia yang maju pikirannya adalah yang cerdas kognisi (tahu banyak dan banyak tahu) dan kecerdasannya itu membebaskan dirinya dari kebodohan dan pembodohan dalam berbagai jenis dan bentuknya (misalnya: karena rekayasa penjajah berupa indoktrinasi). Istilah maju dalam pikiran ini menunjukkan meningkatnya kecerdasan dan kepintaran. Manusia yang maju pikirannya adalah manusia yang berani berpikir tentang realitas yang membelenggu kebebasannya, dan berani beroposisi berhadapan segala bentuk pembodohan.
  3. Manusia Indonesia yang Maju Olah Tubuhnya. Manusia di Indonesia yang mengalami kemajuan pada tataran fisik atau tubuh adalah yang tidak semata sehat secara jasmani, tapi lebih-lebih memiliki pengetahuan yang benar tentang fungsi-fungsi tubuhnya dan memahami fungsi-fungsi itu untuk memerdekakan dirinya dari segala dorongan ke arah tindakan kejahatan. Manusia yang maju dalam aspek tubuh adalah yang mampu mengendalikan dorongan-doroangan tuntutan tubuh. Dengan dan melalui tubuh yang maju itu pula pikiran yang maju dan budi pekerti yang maju memperoleh dukungan untuk mendeklarasi kemerdekaan diri dari segala bentuk penindasan ego diri yang pongah dan serakah di satu sisi dan memiliki kemampuan untuk menegaskan eksistensi diri secara beradab sebagai manusia yang merdeka (secara jasmani dan rohani) di sisi lain. Dalam praksis kehidupan, kemajuan dalam tubuh bisa dipahami sebagai memiliki kekuatan untuk memperjuangkan kemerdekaan dan keterampilan untuk mengisi kemerdekaan itu dengan segala pembangunan yang humanis.

Pendidikan Bersentuhan dalam Upaya Konkrit Pengajaran

Dalam konteks penalaran atas konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara diatas, pendidikan adalah upaya pemanusiaan manusia secara manusiawi secara utuh dan penuh ke arah kemerdekaan lahiriah dan batiniah. Maka pendidikan harus bersentuhan dengan upaya-upaya konkret berupa pengajaran dan pendidikan.

Menurut Ki Hadjar Dewantara pengajaran adalah upaya memerdekakan aspek badaniah manusia (hidup lahirnya). Apa arti ungkapan tersebut? Yang hendak ditekankan Ki Hadjar Dewantara adalah bahwa: aktivitas pengajaran itu berupa tindakan informatif tetapi sekaligus formatif.

Pada tataran informatif pengajaran adalah aktivitas membangun otonomi intelektual secara disengaja, yang dampaknya adalah mencerdaskan kognisi seseorang sehingga ia terbebaskan dari belenggu “kebodohan” kognisi.

Sementara pada tataran formatif, ia membangun otonomi eksistensial dalam arti membangun kesadaran akan hak-hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat luhur. Signifikanisnya adalah bersikap kritis terhadap realitas yang membelenggu kondisi eksistensialnya sebagai manusia. Dalam praksis kehidupan, otonomi intelektual dan eksistensial itu terekspresi dalam hidup yang tidak mengalami disorientasi dan tidak teralienasi secara personal dan sosial.

Secara singkat, kemerdekaan lahiriah itu di satu sisi bermuara pada kejelasan orientasi hidup, dan di sisi lain hakhaknya mendapat pengakuan dan penghormatan. Jadi, istilah “memerdekakan lahiriah” di sini mengandung makna bahwa pengajaran adalah daya upaya yang singnifikan untuk membangun otonomi intelektual seseorang yang kemudian menyadarkan dirinya untuk menegaskan otonomi eksistensialnya (badaniahnya) yang secara kodrati merupakan anugerah dari Allah. Kedua otonomi itu merupakan wilayah kodrati yang penegasannya bisa direkayasa melalui aktivitas pengajaran manusia secara beradab

Tetep, Mantep, dan Antep

Pendidikan nasional menurut paham Ki Hadjar Dewantara, seperti yang diterapkannya dalam Taman Siswa, ialah pendidikan yang beralaskan garis-hidup dari bangsa (kultur nasional) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang bisa mengangkat derajat negara dan rakyat. Orientasi globalnya adalah agar rakyat Indonesia dapat bekerja bersama-sama dengan bangsa-bangsa yang lain untuk kemuliaan manusia di seluruh dunia.

Dalam rangka itu, Ki Hadjar Dewantara mengedepankan tiga ajaran tentang pendidikan (tiga fatwa), yakni: tetep, antep, dan mantepngandel, kandel, kendel, dan bandel; neng, ning, nung, dan nang.

Pertama, tetep, antep, mantep artinya bahwa pendidikan itu harus membentuk ketetapan pikiran dan batin, menjamin keyakinan diri dan membentuk kemantapan dalam prinsip hidup. Istilah tetep di sini dapat dimaknai dalam kerangka yang prinsipil, yakni memiliki ketetapan pikiran (untuk berkomitmen) yang selaras dengan nilai-nilai sosial. Pendidikan membentuk seseorang untuk mampu berpikir kritis dan memiliki ketetapan pikiran dalam khasanah nilai-nilai. Artinya, pikirannya tidak gampang terombang-ambingkan oleh tawaran-tawaran hidup yang tidak selaras dengan nilai-nilai.

Istilah antep menunjukkan bahwa pendidikan menghantar seseorang untuk memiliki “kepercayaan diri” dan keuletan diri untuk maju terus dalam mengatasi segala tantangan kehidupan secara kstria (bersahaja). Dalam praksis kehidupan, orang yang antep adalah yang memiliki keteguhan hati ke arah kualitas diri sebagai manusia personal dan anggota komunitas sosial.

Sementara istilah mantep menunjukkan bahwa pendidikan menghantar seseorang untuk berkanjang dalam kemajuan diri, memiliki orientasi yang jelas untuk menuju tujuan yang pasti, yakni kemerdekaan diri sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga dunia. Jadi, landasan operasinal pendidikan adalah upaya membentuk kualitas pribadi peserta didik sampai pada tingkat yang maksimal.

Ngandel, Kandel, Kendel, dan Bandel

Kedua, ngandel, kandel, kendel dan bandelNgandel adalah istilah dalam bahasa Jawa yang artinya “berpendirian tegak”. Pendidikan itu harus menghantar orang pada kondisi diri yang ngandel (berpendirian tegak/teguh). Orang yang berpendirian tegak adalah yang berprinsip dalam hidup. Kendel adalah istilah yang menunjukkan keberanian. Pendidikan membentuk seseorang untuk menjadi pribadi yang berani, berwibawa dan ksatria. Orang yang berpendidikan adalah orang yang berani menegakkan kebenaran dan keadilan, matang dan dewasa dalam menghadapi segala cobaan. Sementara istilah bandel menunjukkan bahwa orang yang terdidik adalah yang “tahan uji”. Segala cobaan hidup dan dalam segala situasi hidup dihadapinya dengan sikap tawakal, tidak lekas ketakutan dan hilang nyali.

Neng, Ning, Nung, dan Nang

Ketiga, neng, ning, nung, dan nang. Artinya bahwa pendidikan pada tataran terdalam bercorak religius. Pendidikan itu menciptakan kesenangan perasaan (neng), keheningan (ning), ketenangan (nang), dan renungan (nung). Dalam dan melalui pendidikan, seseorang bisa mengalami kesucian pikiran dan ketenangan batin. Menurut Ki Hadjar, kekuasaan akan datang manakala seseorang sudah mengalami kesucian pikiran, ketenangan batin dan hati.

Ketiga fatwa pendidikan Ki Hadjar di atas tetap penting, sebab ia memiliki kandungan makna yang berkualitas kemanusiawian, suatu kualitas yang merupakan bagian mendasar dari idealisme pendidikan sejak masa Yunani klasik. Bila ketiga fatwa itu dikritisi, ia tampak tetap memiliki relevansi untuk konteks pendidikan Indonesia kini terutama manakala penerapannya dimaksudkan untuk membangun jiwa kepemimpinan dalam diri anak-anak di Indonesia. Harapan ke depan mereka kelak mampu menjadi pemimpin Indonesia yang benar-benar “meng-Indonesia”.

Artinya, menjadi pemimpin yang memiliki ketetapan pikiran dan batin, memiliki kepercayaan diri dan pendirian yang teguh, memiliki pikiran yang suci, batin yang tenang dan hati yang senang. Kondisi demikian menjadi jaminan ke arah terciptanya kepemimpinan yang memerdekakan kemanusiaan setiap pribadi di Indonesia secara utuh dan penuh. keheningan (ning), ketenangan (nang), dan renungan (nung). Dalam dan melalui pindidikan, seseorang bisa mengalami kesucian pikiran dan ketenangan batin.

Menurut Ki Hadjar, kekuasaan akan datang manakala seseorang sudah mengalami kesucian pikiran, ketenangan batin dan hati. Ketiga fatwa pendidikan Ki Hadjar di atas tetap penting sebab ia memiliki kandungan makna yang berkualitas kemanusiawian, suatu kualitas yang merupakan bagian mendasar dari idealisme pendidikan sejak masa Yunani klasik.

Bila ketiga fatwa itu dikritisi, ia tampak tetap memiliki relevansi untuk konteks pendidikan Indonesia kini, terutama manakala penerapannya dimaksudkan untuk membangun jiwa kepemimpinan dalam diri anak-anak di Indonesia. Harapan ke depan, mereka kelak mampu menjadi pemimpin Indonesia yang benar-benar “meng-Indonesia”. Artinya, menjadi pemimpin yang memiliki ketetapan pikiran dan batin, memiliki kepercayaan diri dan pendirian yang teguh, memiliki pikiran yang suci, batin yang tenang dan hati yang senang. Kondisi demikian menjadi jaminan ke arah terciptanya kepemimpinan yang memerdekakan kemanusiaan setiap pribadi di Indonesia secara utuh dan penuh.

Asas-Asas Pendidikan Ki Hadjar

Tujuan ketiga ajaran (fatwa) pendidikan Ki Hadjar di atas berkaitan erat dengan upaya membentuk pribadi peserta didik menjadi manusia yang manusiawi. Citra manusia manusiawi dalam konteks dan perspektif pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah kedewasaan, kearifan, dan kesehatan secara jasmani dan rohani. Pendidikan terlaksana secara koheren dalam ranah kognitif, afektif, spiritual, sosial dan psikologis. Kedewasaan peserta didik dalam ranah-ranah tersebut merupakan jaminan bagi aspek psikomotoriknya, menjadi modal bagi peserta didik untuk siap menjalani kehidupan bermasyarakat secara bertanggungjawab.

Terkait dengan upaya mengimplementasikan ketiga fatwa tentang pendidikan itu, Ki Hadjar Dewantara mengajukan lima asas pendidikan yang dikenal dengan sebutan pancadharma (kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan). Ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan dapatlah dipandang sebagai terapan operatif dari kelima asas tersebut. Berikut adalah penalaran atas kelima asas tersebut.

Pertama, asas kodrat alam. Asas ini mengandung arti bahwa hakikat manusia adalah bagian dari alam semesta. Asas ini juga menegaskan bahwa setiap pribadi peserta didik di satu sisi tunduk pada hukum alam, tapi di sisi lain dikaruniai akal budi yang potensial baginya untuk mengelola kehidupannya. Berdasarkan konsep asas kodrat alam ini, Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pelaksanaan pendidikan berasaskan akal-pikiran manusia yang berkembang dan dapat dikembangkan. Secara kodrati, akal-pikiran manusia itu dapat berkembang. Namun, sesuai dengan kodrat alam juga akal pikiran manusia itu dapat dikembangkan melalui perencanaan yang disengaja sedemikian rupa sistematik. Pengembangan kemampuan berpikir manusia secara disengaja itulah yang dipahami dan dimengerti sebagai “pendidikan”. Sesuai dengan kodrat alam, pendidikan adalah tindakan yang disengaja dan direncanakan dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik yang dibawa sejak lahir.

Kedua, asas kemerdekaan. Asas ini mengandung arti bahwa kehidupan hendaknya sarat dengan kebahagiaan dan kedamaian. Dalam khasanah pemikiran Ki Hadjar Dewantara asas kemerdekaan berkaitan dengan upaya membentuk peserta didik menjadi pribadi yang memiliki kebebasan yang bertanggungjawab sehingga menciptakan keselarasan dengan masyarakat. Asas ini bersandar pada keyakinan bahwa setiap manusia memiliki potensi sebagai andalan dasar untuk menggapai kebebasan yang mengarah kepada “kemerdekaan”. Pencapaian ke arah pribadi yang mredeka itu ditempuh melalui proses panjang yang disebut belajar. Proses ini berjenjang dari tingkat yang paling dasar sampai pada tingkat yang tertinggi. Namun, perhatian kita hendaknya jangan difokuskan pada tingkatan-tingatannya semata, tapi juga pada proses kegiatan pendidikan yang memerdekakan peserta didik. Dalam pengertian itu, pendidikan berarti memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya menjadi kemampuan dan keahlian profesional (mewujud) yang diemban dan dihayatinya dengan penuh tanggungjawab. Oleh karena itu, praksis pendidikan harus “luas dan luwes”. Luas berarti memberikan kesempatan yang selebar-lebarnya kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya seoptimal mungkin, sementara luwes berarti tidak kaku dalam pelaksanaan metode dan strategi pendidikan.

Ketiga, asas kebudayaan. Asas ini bersandar pada keyakinan kodrati bahwa manusia adalah makhluk berbudaya. Artinya, manusia mengalami dinamika evolutif dalam khasanah pembentukan diri menjadi pribadi yang berbudi pekerti. Dalam konteks itu pula, pendidikan perlu dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai budaya sebab kebudayaan merupakan cirikhas manusia. Bagi Ki Hadjar, kemanusiaan bukanlah suatu pemikiran yang statis. Kemanusiaan merupakan suatu konsep yang dinamis, evolutif, organis.

Dalam kaitan ini, Ki Hadjar Dewantara memahami kebudayaan selain sebagai buah budi manusia, juga sebagai kemenangan atau hasil perjuangan hidup manusia. Namun selaras dengan keyakinan atas manusia sebagai makhluk dinamis, kebudayaan juga demikian. Kebudayaan selalu berkembang seirama dengan perkembangan dan kemajuan hidup manusia. Maka, menurut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan itu tidak pernah mempunyai bentuk yang abadi, tetapi terus-menerus berganti-ganti wujudnya; ini disebabkan karena berganti-gantinya alam dan zaman. Kebudayaan yang dalam zaman lampau menggampangkan dan menguntungkan hidup, boleh jadi dalam zaman sekarang menyukarkan dan merugikan hidup kita.

Itulah sebabnya kita harus senantiasa menyesuaikan kebudayaan kita dengan tuntutan alam dan zaman baru. Ditopang oleh pemikiran mengenai kebudayaan sebagai perkembangan kemanusiaan itu, maka Ki Hadjar Dewantara melihat secara jernih posisinya kebudayaan bangsa Indonesia di tengah-tengah kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia ini, yakni sebagai penunjuk arah dan pedoman untuk mencapai keharmonisan sosial di Indonesia. Pemikiran Ki Hadjar mengenai kebudayaan ini kemudian secara konstitusional dimaktubkan dalam Pasal 32 UUD 1945. Dalam konteks itu pula, asas ini menekankan perlunya memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional.

Keempat, asas kebangsaan. Asas kebangsaan merupakan ajaran Ki Hadjar Dewantara yang amat fundamental sebagai bagian dari wawasan kemanusiaan. Asas ini hendak menegaskan bahwa seseorang harus merasa satu dengan bangsanya dan di dalam rasa kesatuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Dalam konteks itu pula, asas ini diperjuangkan Ki Hadjar Dewantara untuk mengatasi segala perbedaan dan diskriminasi yang dapat tumbuh dan terjadi berdasarkan daerah, suku, keturunan atau pun keagamaan. Bagi Ki Hadjar, kebangsaan tidaklah mempunyai konotasi, rasial biologis, status sosial ataupun keagamaan.

Rasa kebangsaan adalah sebagian dari rasa kebatinan manusia, yang hidup dalam jiwa dengan disengaja. Asal mula rasa kebangsaan itu timbul dari Rasa Diri, yang terbawa dari keadaan perikehidupan, lalu menjalar menjadi Rasa Keluarga; Rasa ini terus jadi Rasa Hidup bersama (rasa sosial). Wujudnya rasa kebangsaan itu umumnya ialah dalam mempersatukan kepentingan bangsa dengan kepentingan diri sendiri; kehormatan bangsa ialah kehormatan diri, demikianlah seterusnya. Ideologi kebangsaan inilah yang diterapkan Ki Hadjar secara konsekuen ketika ia bersama dengan Dr. Tjipto dan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij pada tahun 1912. Bahkan Pancasila dasar negara dan pandangan hidup bangsa, yang juga merupakan ideologi nasional, pada dasarnya adalah suatu formulasi dari ideologi kebangsaan itu, dari wawasan kebangsaan Indonesia.

Kelima, asas kemanusiaan. Asas ini hendak menegaskan pentingnya persahabatan dengan bangsa-bangsa lain. Dalam konteks Ki Hadjar sebagai tokoh di Indonesia, asas ini hendak menegaskan bahwa manusia di Indonesia tidak boleh bermusuhan dengan bangsa-bangsa lain. Manusia di Indonesia hendaknya menampilkan diri sebagai makhluk bermartabat luhur dan berdasarkan kesadaran itu pula ia berani menjalin dan memperlakukan sesama manusia dari bangsa mana pun dalam rasa cinta kasih yang mendalam. Maka asas ini boleh dipandang sebagai asas yang radikal, dalam arti konsep kemanusiaan itu merupakan akar yang menjadi titik temu asasi yang mendamaikan hudup, kehidupan maupun penghidupan umat manusia.

Nasionalisme Menembus Batas Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan

Meskipun Ki Hadjar Dewantara belajar ilmu kependidikan di dunia barat (Eropa), dia tidak mau menerapkan sistem pendidikan barat di Indonesia. Sistem barat dipandangnya tidak cocok karena dasar-dasarnya adalah perintah, hukuman dan ketertiban yang bersifat paksaan. Pendidikan model ini, menurut Ki Hadjar, merupakan upaya sistematik dalam perkosaan terhadap kehidupan batin anak-anak. Hal itu jelas berbahaya bagi perkembangan budi pekerti anak-anak sebab pendidikan demikian tidak membangun budi pekerti anak-anak, melainkan merusaknya.

Paksaan dan hukuman dalam proses pendidikan yang kadangkala tidak setimpal dengan kesalahan anak didik bukannya memperkuat mentalitas anak-anak, melainkan memperlemahnya di kemudian hari. Anak tidak menjadi pribadi yang mandiri, tidak memiliki inisiatif, tidak kreatif. Dalam kehidupan nyata ia tidak dapat bekerja kalau tidak dipaksa dan diperintah. Jadi, produk pendidikan barat, di hadapan Ki Hadjar, adalah manusia-manusia pasif yang dangkal kesadarannya untuk berkreasi secara mandiri.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, metode pendidikan yang cocok dengan karakter dan budaya orang Indonesia tidak memakai syarat paksaan. Orang Indonesia adalah termasuk ke dalam bangsa Timur. Bangsa yang hidup dalam khasanah nilai-nilai tradisional berupa kehalusan rasa, hidup dalam kasih sayang, cinta akan kedamaian, ketertiban, kejujuran, dan sopan dalam tutur kata dan tindakan. Nilai-nilai itu disemai dalam dan melalui pendidikan sejak usia dini anak.

Dalam praksis penyemaian nilai-nilai itu, pendidik menempatkan peserta didik sebagai subyek, bukan obyek pendidikan. Artinya, peserta didik diberi ruang yang seluasnya untuk melakukan eksplorasi potensi-potensi dirinya dan kemudian berekspresi secara kreatif, mandiri dan bertanggungjawab. Berangkat dari keyakinan akan nilai-nilai tradisional itu, Ki Hadjar yakin pendidikan yang khas Indonesia haruslah berdasarkan citra nilai Indonesia juga.

Karena itu, ia menerapkan tiga semboyan pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia, yakni: Pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang guru adalah pendidik yang harus memberi teladan. Ia pantas digugu dan ditiru dalam perkataan dan perbuatannya. Kedua, Ing Madya Mangun Karsa, artinya seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus membangun semangat dan ide-ide mereka untuk berkarya. Ketiga, Tut Wuri Handayani, artinya seorang guru adalah pendidik yang terus-menerus menuntun, menopang dan menunjuk arah yang benar bagi hidup dan karya anak-anak didiknya.

Senada dengan semboyan pendidikan di atas adalah metode pendidikan yang dikembangkan, yang sepadan dengan makna “paedagogik”, yakni Momong, Among, dan Ngemong, yang berarti bahwa pendidikan itu bersifat mengasuh. Mendidik adalah mengasuh anak dalam dunia nilai-nilai. Praksis pendidikan dalam perspektif ini memang mementingkan ketertiban, tapi pelaksanaannya bertolak dari upaya membangun kesadaran, bukan berdasarkan paksaan yang bersifat “hukuman”.

Maka, pembagian usia 0-7, 7-14, dan 14-21 dalam proses pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara bukan tanpa landasan pedagogik. Pembagian demikian berdasarkan fase-fase di mana masing-masing menuntut peran pendidik dengan isi dan nilai yang berbeda-beda. Metode Ngemong, Momong, Among dan semboyan Ing ngarsa sung tuladha, Ing Madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani bukan berasal dari sebuah pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang terpisah. Pendidikan bukan hanya masalah bagaimana membangun isi (kognisi) namun juga pekerti (afeksi) anak-anak Indonesia, yang tentunnya diharapkan “meng-Indonesia” agar mereka kelak mampu menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang “meng-Indonesia” (memiliki kekhasan Indonesia).

Praksis pendidikan berdasarkan metode Ki Hadjar Dewantara menempatkan guru sebagai pengasuh yang matang dalam penghayatan dan pelaksanaan nilai-nilai kultural yang khas Indonesia. Maka pendidikan pada dasarnya adalah proses mengasuh anak-anak untuk bertumbuh dan berkembang dalam potensi-potensi diri (kognisi, afeksi, psikomotorik, konatif, kehidupan sosial dan spiritual). Dalam rangka itu, guru tidak menggunakan metode paksaan, tapi memberi pemahaman sehingga anak mengerti dan memahami yang terbaik bagi dirinya dan lingkungan sosialnya.

Guru boleh terlibat langsung dalam kehidupan anak tatkala anak itu dipandang berada pada jalan yang salah. Tapi pada prinsipnya tidak bersifat paksaan. Keterlibatan pada kehidupan anak tetap dalam konteks penyadaran dan asas kepercayaan bahwa anak itu pribadi yang tetap harus dihormati hak-haknya untuk dapat bertumbuh menurut kodratnya. Melalui konsep, asas-asas, fatwa, semboyan dan metode pendidikan yang kontennya adalah “meng-Indonesia” di atas, Ki Hadjar Dewantara yakin bahwa rakyat yang merdeka dalam arti yang sebenar-benarnya akan menjadi kenyataan di Indonesia.

Kemerdekaan yang dimaksudkan di sini adalah ketika seorang anak manusia hidup dalam kesadaran bahwa dirinya sebagai pribadi hidup mandiri, memiliki kebebasan dan hak-hak dasar yang patut dihargai. Artinya, lahirnya tiada diperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri.

__

Ditulis oleh oleh: Andriyani, dari berbagai sumber.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar