“Mereka dikejar oleh para prajurit kerajaan, kemudian dipaksa untuk kembali. Karena menolak, akhirnya terjadi pertempuran hingga keduanya dikepung atau dikalang,” beber Suprapri mengisahkan.
Berawal dari peristiwa itu, lahirlah nama Padukuhan Kalangan di Kapanewon Karangmojo.
Cerita dilanjutkan, Ki Wayang saat itu sulit untuk ditaklukan. Tiga bagian tubuhnya harus dipisah agar benar-benar binasa. Usai dipotong, Ki Wayang tersungkur tak berdaya lagi.
Tumenggung Wayang wafat. Peristiwa peperangan atau pertumpahan darah itu pun diabadikan menjadi nama wilayah. Tempat terjadinya peperangan dinamai Blarangan. Istilah yang kini menjadi nama padukuhan. Blarangan berasal dari kata Mblarah. Sama artinya dengan bersimbah darah.
Setelah Ki Wayang wafat, Ki Sesuco Ludiro yang masih bertahan hidup kemudian mengajarkan cocok tanam dan menjadikan daerah sekitar tempat tinggal subur makmur. Setelah sekian lama, Ki Sesuco akhirnya wafat dan dikebumikan di Blarangan.
“Kegiatan Nyadran ini digelar dengan pembiayaan dana desa Tahun 2024 dan swadaya gotong royong semua warga,” imbuhnya.
Bupati Gunungkidul Sunaryanta turut serta dalam tradisi nyadran yang digelar masyarakat Padukuhan Blarangan.
“Tradisi sudah berumur ratusan tahun, namun masih dilestarikan. Kegiatan ini dapat menumbuhkan kerukunan dan rasa kebersamaan,” kata Sunaryanta.
Dia mengaku kagum dengan semangat masyarakat. Kearifan lokal yang masih dijaga ini menguatkan kebersamaan dan gotong royong.
Lurah Sidorejo, Ponjong, Sidiq Nur Safii menambahkan, Nyadran merupakan bentuk rasa syukur kepada sang Maha Pencipta. Tradisi yang digelar satu tahun sekali ini bertepatan dengan tanggal 15 Bulan Ruwah dalam kalender Jawa.
Dalam Nyadran, masyarakat membawa ayam ingkung, nasi uduk dan pernak-pernik olahan. (Kandar)