WONOSARI, (KH) — Menjadi sebuah kepastian, meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan apapun dapat diraih dengan membaca. Dengan membaca, orang dapat memiliki kemampuan, ketrampilan, dan menjadi mahir dalam bidang tertentu.
Pembiasaan aktivitas membaca, akan didahului dengan tumbuhnya minat baca dalam diri seseorang. Dengan tumbuh dan berkembangnya minat baca tersebut, maka membaca akan merupakan aktivitas yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kepala KPAD Gunungkidul, Drs. Ali Ridlo. MM, berpendapat, sebenarnya diawali dari minat baca, maka seseorang atau masyarakat dapat meraih atau mendaki apa yang disebut sebagai ‘Bukit Idola’. “Bukit Idola itu adalah kependekan dari: Buku, Internet, Ide, lalu Dollar,” ujarnya kepada KH awal Oktober lalu.
Ali Ridlo menegaskan, orang yang terbiasa membaca, baik dari buku atau internet tentang ilmu pengetahuan, ketrampilan, atau hal lain, akan dapat menemukan hal baru yang merangsang munculnya sebuah ide atau gagasan. Ide atau gagasan yang diwujudkan dalam tindakan, sehingga menghasilkan produk yang bernilai jual dapat mendatangkan uang (dollar).
“Sudah ada buktinya lho, Perpusdes binaan kita, melakukannya. Tinggal peningkatan berbagai hal. Jika produknya berkualitas, karena juga melek IT, lalu dipasarkan lewat internet atau marketing online, kemudian laku di pasar manca, sehingga hasilnya dollar,” tegasnya.
Selaku kepala intansi yang menjadi motor dari gerakan minat baca, maka pihaknya berkonsentrasi untuk meningkatkan minat baca masyarakat Gunungkidul. Ia mengakui, mendorong masyarakat agar membudayakan membaca adalah hal yang tidak mudah.
Beberapa upaya telah ditempuh instansinya. Upaya ini akan dilanjutkan dengan beberapa terobosan baru, guna mencapai peningkatan minat baca yang signifikan, Hal ini akan terus dilakukan, karena besarnya manfaat yang didapat dari peningkatan minat baca tersebut.
Pihaknya terus melakukan peningkatan fasilitas Perpusda. Pengaturan ruangan atau bangunan memang sudah didesain sedemikian rupa. Namun, menurutnya, belum mampu memberikan kenyamanan pada pengunjung. “Ruang baca kurang luas dan kurang nyaman. Mestinya ruang baca juga ber-AC,” ujarnya.
Bebeberapa waktu lalu, dalam upaya peningkatan pengunjung, KPAD bekerja sama dengan salah satu perusahaan operator seluler, meningkatkan kapasitas fasilitas WIFI, karena yang ada sebelumnya, belum mampu melayani pengunjung secara optimal.
“Dalam waktu dekat kita akan berusaha jemput bola. Semua siswa area kota atau di sekitar KPAD, kita masukkan dan diberikan kartu anggota perpustakaan. Dengan demikian kita telah menempuh untuk lebih dikenal. Mudah-mudahan membawa dampak,” harapnya.
Selain itu, koleksi buku juga tidak luput dari perhatiannya. Jumlah dan jenisnya masih sedikit. Dalam hal ini, dukungan anggaran dalam APBD Kabupaten dirasa juga masih minim. Anggaran yang ada yaitu Rp. 150 juta per tahun. Anggaran yang tersedia, paling rendah dibandingkan dengan anggaran perpustakaan untuk kabupaten lain di DIY. Karena itu, armada mobil perpustakaan keliling yang ada, baik jumlah maupun operasional layanannya, belum mampu menjangkau seluruh wilayah Kabupaten Gunungkidul secara optimal.
Di luar permasalahan perpusda, kondisi perpustakaan, baik di desa atau sekolahan, terkait pengelolaan, sebagian besar belum sesuai amanat peraturan perundangan yang mengaturnya. UU No 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan menganjurkan, bahwa anggaran untuk perpustakaan minimal sebesar 5% dari dana lembaga yang mengelola perpustakaan.
Berdasarkan pantauan pihaknya, masih sedikit Perpus sekolah atau Perpusdes yang menjalankan hal tersebut. Pengadaan buku terpantau masih di bawah jumlah minimal yang seharusnya dikeluarkan. Di samping itu, dalam aspek pengelolaan, perhatian terhadap kesejahteraan para pustakawan juga belum menggembirakan. Para pustakawan di sekolah atau di Perpusdes, rata-rata menerima honor antara Rp 200 – 300 ribu per bulan. Menurutnya, kondisi ini masih sangat tidak layak.
Ali berkeyakinan, perpustakaan itu dapat meningkatkan kesejahteraan dan perbaikan ekonomi atau merubah taraf hidup. Kelompok-kelompok masyarakat dapat terbentuk dengan induk perpustakaan. Misalnya saja, suatu perpusdes memiliki koleksi buku tentang budidaya tanaman bahan indistri, buku tentang berbagai olahan pangan, buku kreatifitas kerajinan, buku membatik dan masih banyak lagi.
Ali menambahkan, masyarakat bisa membuat kelompok berdasar apa yang akan dipelajari dan dipraktekkan. Menurutnya, kerjasama lintas sektoral atau instansi sangat dibutuhkan. Apabila dua atau tiga instansi memiliki program yang komperehensif, maka hasilnya akan lebih baik.
“Misalnya kita membentuk kelompok-kelompok tersebut, melatih SDMnya. Dinas yang lain berkontribusi sesuai perannya, apakah dana atau yang lain, misalnya Dinsos atau Disdikpora, bahkan LIPI juga bisa dilibatkan,” kata Ali menguatkan argumennya.
Menyinggung keterpaduan program dengan dinas atau instansi lainnya, Ali menegaskan, pada dasarnya mereka melayani dan bertujuan mensejahterakan masyarakat. Tetapi program-program yang dijalankan, jarang ditemukan yang bisa terpadu antara satu dengan yang lain. Ali maklum, karena menurutnya ada banyak faktor yang mempengaruhinya. (Kandar)