Mengenal Kelompok Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Gunungkidul (1)

oleh -
penghayat
Dwi Cahyo Hudoyono, ketua MLKI Gunungkidul. Ia sekaligus salah satu ketua paguyuban penghayat Mardi Santosaning Budhi. (KH/ Kandar)

PANGGANG, (KH)— Sebelum ditetapkan oleh Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) pada oktober 2014 silam, kelompok penghayat ini awalnya bernama Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK).

Pada masa berakhirnya pemerintahan orde baru, keberadaan kelompok-kelompok atau organisasi tersebut belum terorganisir dengan baik. Barulah pada tahun 2014 lalu dibentuk wadah nasional yang baru yang didalamnya berisi kelompok-kelompok penghayat. Setelah kepengurusan organisasi secara nasional terbentuk, kemudian diikuti pembentukan di tingkat Propinsi dan juga kabupaten.

Di Gunungkidul berbagai kelompok mulai menampakkan diri. Bahkan dalam waktu dekat akan diselenggarakan pertemuan berbagai kelompok yang akan difasilitasi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Gunungkidul melalui Bidang Budaya.

Dwi Cahyo Hudoyono, ketua MLKI Gunungkidul mengungkapkan, di Gunungkidul sedikitnya terdapat 9 kelompok penghayat atau ajaran ilmu kejawen. Diantaranya Mardi Santosaning Budhi (MSB), Hidup Betul, Sumarah, Sapto Darmo, Umat Pranosoeh, Ngudi Utomo, Ngesti Kasampurnan, dan Palang Putih Nusantara serta Suryo Mataram.

Orang yang dituakan di Paguyuban  MSB ini memaparkan, secara spiritual ajaran ilmu terdiri dari Muhammad sejati, Sukmo Sejati dan Bayu Sejati. Mengenai istilah penyebutan tersebut ia tidak tahu persis asal usulnya,  setahu dia itu merupakan warisan leluhur.

Ajaran paguyuban tidak berkaitan dengan agama atau kepercayaan modern seperti yang telah diakui oleh negara, tetapi nilai di dalam ajaran ilmu kebatinan, juga terdapat atau terdiri dari unsur agama-agama yang ada.

“Nilai ilmu ajaran ada kesamaan atau unsurnya ada di dalam agama Hindu, Budha, Islam, dan juga dari Nasrai. Pada dasarnya tujuan permohonan atau munajat kepada Tuhan Yang Maha Esa, perbedaan terletak pada ucapannya saja,” kata warga Padukuhan Sumber, Desa Girisuko, Panggang ini.

Kegiatan ajaran ilmu masing-masing paguyuban ia tidak tahu secara detail. Ia hanya dapat menjelaskan beberapa kegiatan paguyuban yang ia pimpin, salah satunya kegiatan transfer ilmu, atau memberi dan mengajarkan ilmu spiritual dengan cara Mirid kepada murid atau yang berkenan mempelajari.

Di MSB sendiri ada 6 tahapan atau tingkatan. Satu tahapan awal untuk membuka dasar ilmu kanuragan disebut beteng, lalu barulah dilanjutkan tingkat 1 tingkat 2, 3, 4, dan 5. Salah satu syaratnya, kata dia, orang yang akan menerima ajaran itu kondisinya harus bersih atau suci. Minimal sebelumnya ia mandi keramas atau lebih sempurna lagi dengan berpuasa.

“Tujuannya agar yang mempelajari dapat hidup lebihn tenteram, karena ilmu MSB bukan ilmu klenik, tetapi cenderung ke olah batin. Kepemilikan ilmu tujuannya melengkapi ibadah. Sangat jelas bahwa ajaran MSB untuk tujuan kebaikan, rata –rata orang yang sudah belajar itu tidak berbuat yang buruk,” urai Dwi.

Ajaran MSB bukan seperti ilmu perdukunan, atau untuk tindakan yang aneh-aneh seperti penggandaan uang. Ilmu spiritual yang pasti untuk menolong orang dengan tidak ada pamrih. Seperti yang Dwi lakukan misalnya. Ilmu digunakan untuk menolong orang, seperti mengobati orang yang sakit dengan jenis penyakit non medis, seperti kesurupan, gangguan mental emosional dan sebagainya.

Anggotanya pun tidak hanya dari Gunungkidul. Meski tidak banyak mereka berasal dari seluruh Indonesia. Khusus di Gunungkidul sendiri ada sekitar 200-an anggota. Mereka yang masuk dalam paguyuban ini sebagian juga memiliki agama modern, seperti Hindu, Budha, Islam, Nasrani dan lainnya.

Dia memberi kebebasan. Dwi tidak membatasi siapapun yang akan masuk ke dalam paguyuban. Termasuk ingin memeluk agama modern atau samawi. Pun demikian sekalipun tidak, tak menjadi persoalan.

Diakui sebagian mereka yang berada di salah satu paguyuban yang terwadahi di dalam MLKI tidak menganut agama modern. Sehingga di dalam KTP pada kolom isian agama hanya diisi tanda strip saja. Mereka merasa cukup menjalankan kegiatan spiritual melalui ajaran paguyuban yang diikuti.

“Meski merupakan kaum minoritas, dalam menjalankan MSB kami merasa belum menemui pertentangan dari sekelompok golongan agama tertentu. Ia memperjelas bahwa kelompoknya tersebut cenderung mengarah ke budaya yang memiliki ajaran ilmu kebatinan, dan spiritual,” jelasnya. (Kandar)

Artikel lanjutan, (Bagian 2)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar