PALIYAN, (KH),– Petani semakin ketergantungan terhadap pestisida dan pupuk kimia. Padahal zat kimia yang digunakan untuk memupuk serta mengendalikan hama pada tanaman tidak hanya berpengaruh pada tanaman dan hama saja. Tetapi, praktis juga berdampak bagi kesehatan manusia. Gangguan kesehatan yang disebabkan paparan pestisida bisa berupa kerusakan saraf, iritasi kulit dan mata, hingga kanker.
Dengan alasan yang sangat mendasar tersebut perlahan-lahan Regu Perlindungan Tanaman (RPT) Gunungkidul mengenalkan penggunaan Agen Pengendali Hayati (APH) untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman secara umum.
Anggota RPT asal Kapanewon Paliyan, Budi Susilo mengatakan, RPT pada musim tanam kali ini telah melakukan Gerakan Pengendalian (Gerdal) hama dan jamur di beberapa wilayah menggunakan APH. Gerdal diantaranya digelar di Kalurahan Pampang, Paliyan, Patuk, Rongkop, Semanu, Playen, dan Tanjungsari.
“Mulai intens menggunakan APH dan mengurangi pestisida. Tindakan ini merupakan upaya untuk mengembalikan kondisi tanah khsusnya di Gunungkidul yang telah terlalu banyak terpengaruh pestisida kimia,” kata Budi dalam kegaitan Gerdal di Grogol Paliyan belum lama ini.
Pengendalian hayati, jelas dia, merupakan pengendalian serangga hama dengan cara biologi. Yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya (agen pengendali hayati), seperti predator, parasit dan patogen. Pengendalian hayati merupakan suatu teknik pengelolaan hama dengan sengaja dengan memanfaatkan/memanipulasikan musuh alami untuk kepentingan pengendalian.
Ketua Kelompok Tani Milenial di Kalurahan Pampang ini mengaku APH diperoleh dari Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) Yogyakarta. Selain itu, APH juga dibuat oleh RPT sendiri.
Kepada para petani ia mengajak mulai berfikir bijak demi terjaganya kelestarian alam khususnya ekosistem lahan pertanian secara berkesinambungan. Tak hanya itu saja, hama yang dikendalikan memakai pestisida terus menerus juga dapat berubah menjadi resisten. Sehingga penggunaan pestisida dosisnya semakin tinggi.
“Mari memulai jangan terlalu banyak menggunakan produk kimia dalam pengolahan lahan pertanian. Sebab lambat laun jelas merusak lahan. Dengan APH ini mudah-mudahan pelan-pelan dapat mengembalikan kondisi tanah seperti sebelum terpapar produk kimia sebelumnya,” harap Budi.
Beberapa kali melakukan gerakan pengendalian, ia mengaku memperoleh respon dari warga yang cukup baik. Warga, melalui edukasi perlahan bersedia mengaplikasikan APH dalam kegiatan pertanian mereka. Beberapa penerapan diantaranya telah dicoba untuk tanaman bawang merah dan padi.
Agar masyarakat menerima kehadiran APH, diakui tidak mudah. Namun demikian, hal tersebut menjadi tantangan RPT untuk terus berusaha merubah mindset dari petani yang terbiasa menggunkan produk kimia, lantas sedikit demi sedikit mulai berangsur menguranginya.
“Kami paham, hasil penggunaan APH tidak bisa terlihat dengan cepat layaknya pestisida. Tetapi butuh waktu. APH yang dikembangkan siap digunakan untuk jamur, wereng, belalang, dan ulat serta hama serangga yang lain,” tukas Budi.
Petani asal Grogol, Paliyan, Ragil Supriyono mengaku sepakat dengan RPT. Bahkan dirinya telah merintis pertanian dengan pupuk organik selama dua tahun belakangan ini di lahan miliknya.
“Pupuk lebih dominan pakai pupuk kandang. Memang belum 100% pupuk kimia saya tinggalkan, tetapi tidak lagi sebanyak dulu,” kata dia. Dengan adanya APH semakin memberinya semangat untuk terus menekan penggunaan produk kimia pada kegiatan pertaniannya.
Alasan kesehatan dan terjaganya kondisi lahan menjadi alasan utama bagi dia. Diakui pada awal-awal memulai pengurangan produk kimia untuk lahan pertanian, dirinya memang mengalami penurunan hasil panen. Akan tetapi, itu tak menjadi persoalan. Sebab, kesehatan tubuh dan terhindarnya kerusakan lahan menjadi ganti yang jauh lebih baik yang akan ia terima. (Kandar)