GUNUNGKIDUL, (KH) — Kemarau melanda Gunungkidul. Terik matahari yang menyengat semakin mengeringkan tanah yang sudah kerontang karena tak teraliri air. Petak-petak sawah tampak tandus dan retak; tak ada tanaman hijau yang tumbuh, hanya sisa-sisa padi berwarna cokelat kekuningan yang tersisa.
Sebagian besar petani di wilayah Gunungkidul merupakan petani yang bercocok tanam Padi dan Palawija. Kegaitan pertanian, mulai dari proses tanam sampai ke tahap panen sangat bergantung pada ketersediaan air yang cukup. Namun, pada musim kemarau yang berlangsung lama ini, aktivitas pertanian di Gunungkidul, utamanya di wilayah yang minim sumber air tak dapat dilakukan.
Beja, seorang petani di Dusun Piji, Kalurahan Mertelu, Gedangsari mengatakan, bahwa hujan terakhir kali mengguyur kampungnya terjadi pada bulan Mei lalu. Hal ini membuat sawah padi Pak Beja kekurangan pasokan aliran air dari irigasi yang juga kering. Imbasnya, padi menjadi mati. Dari jumlah keseluruhan padi yang ia tanam hanya sebagian saja yang dapat ia panen.
“Biasanya saya dapat (panen) satu kuintal, tapi tahun ini ada penurunan 40 sampai 50 persen,” ujar Pak Beja belum lama ini.
Seperti petani lainnya di Kecamatan Gedangsari, Kegiatan pertanian Padi Pak Beja ditujukan untuk sarana subsistensi keluarganya karena hasil produksinya tidak diperjualbelikan di pasar.
“Kalau waktu biasa (tanpa gangguan dari kemarau panjang dan tak tentu) panen bisa dua kali (dalam setahun). Itu juga pas-pasan, tapi cukup untuk hidup sampai ke panen berikutnya. Kalau untuk dijual, atau ada lebihnya untuk dijual sih gak ada. Pokoknya cukup,” kata Beja.
Pada musim tanam ke 2 ini tidak seluruhnya padi yang ditanam Beja dapat membuahkan hasil. Konsekuensi yang perlu ditanggungnya adalah jumlah cadangan beras untuk konsumsi setahun keluarganya tidak mencukupi. Kerugian lainnya adalah biaya produksi yang telah ia tuangkan untuk bercocok tanam padi terbuang sia-sia.
“Simpanan beras yang ada dari panen sebelumnya tidak cukup untuk sampai ke panen berikutnya. Ujung-ujungnya kita harus beli di warung. Dari saya kecil, baru tahun ini semua petani di sini gagal panen kedua kalinya. Biasanya masa tanam yang kedua bisa panen. Tapi tahun ini sebagian besar gagal,” imbuh lelaki yang kini berusia 36 tahun.
Untuk membeli beras, karena simpanan beras yang ada tidak mencukupi, dia harus bekerja di luar sektor pertanian. Yang ia kerjakan saat ini agar dapat memperoleh uang adalah dengan membuat kerajinan anyaman yang ia jual ke pasar.
“Menjual anyaman juga enggak pasti. Ada musimnya laku, terus kadang juga ada masa nggak lakunya.”
Selain itu, ketika masa panceklik ini, saat tak ada lagi Padi yang harus ia urus, Beja mencari rumput untuk memberi makan seekor sapi yang telah lama ia ternak.
“Kasih minum ternak juga nggak banyak-banyak. Yang penting dalam satu hari itu sapi ada minum. Kalau dikasih banyak bagus, tapi ya begitu-lah, air buat kita aja susah. Tapi tetap sapi itu harus diberi minum,” kata Ayah dari dua anak perempuan ini.
Kekeringan di Gunungkidul telah membawa banyak kesulitan bagi warga. Kelangkaan air membuat urusan sehari-hari menjadi semakin sulit dijalani. Sumur galian milik warga kini menjadi kering.
Selama musim kemarau ini, Beja dan juga para warga Dusun Piji lainnya hanya dapat bergantung pada satu sumur galian yang hanya dalam waktu-waktu tertentu air muncul dari sana. Tentu saja kondisi ini sangat jauh untuk dibilang cukup.
Gunungkidul merupakan daerah yang seringkali dilanda kekeringan saat musim kemarau tiba. Daerah dengan karakteristik yang khas, yakni struktur geologis tanah yang berupa karst, dan ditambah pengaruh curah hujan yang kurang menjadikan kawasan Gunungkidul kerap mengalami krisis air.
Beja dan warga dusun lainnya menyadari kondisi ini akan terus terjadi. Setiap tahun mereka kerap mengalami kondisi sulit yang sama. Dalam aktivitas pertanian, berbagai mitigasi telah mereka upayakan; mulai dari menanam padi lebih awal saat hujan pertama turun, serta mengurangi jumlah benih padi yang akan mereka tanam saat masa tanam kedua.
Distribusi air yang disalurkan oleh Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa di Dusun Piji pada Agustus lalu menjadi bantuan pertama yang masuk ke sana. Akses jalan yang terjal menjadi salah satu faktor mengapa bantuan air bersih belum juga masuk ke dusun ini.
“Sementara ini belum ada bantuan air bersih yang masuk. Baru ini saja. Bantuan dari DMC jadi bantuan yang pertama masuk ke tempat kami,” ungkapnya.
“Saya atas warga Dusun Piji mengucapkan terima kasih untuk DMC Dompet Dhuafa yang telah membantu warga kami. Semoga bermanfaat untuk kami semua. Dan ke depannya semoga DMC Dompet Dhuafa mendapat ganjaran kebaikan yang lebih banyak,” tukas Beja.
Di tengah kondisi serba sulit akibat kemarau yang panjang ini, air menjadi barang yang sangat berharga. Kehadirannya tidak hanya sekadar penyegar dahaga, melainkan sebuah simbol bahwa harapan hidup yang lebih baik akan terus ada. (Kandar)