Penulis: Hadi Risma, Penyuluh Budaya Kemendikbud RI
Kampung Pitu adalah sebuah komunitas adat yang masih tetap eksis di tengah gempuran budaya masyarakat yang semakin modern. Komunitas adat ini berada di dataran tinggi Pegunungan Nglanggeran. Tepatnya di Padukuhan Tlogo, Desa Ngalanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul.
Menurut penuturan sesepuh adat, Mbah Yatno Rejo, komunitas ini sudah ada sejak dahulu. Beliau sendiri adalah sesepuh adat generasi ke-empat. Diperkirakan keberadaan komunitas ini sudah ada di Padukuhan Tlogo sejak 200-an tahun yang lalu.
Sebelum Kampung Pitu menjadi hunian penduduk, kampung ini adalah hutan belantara. Konon di hutan ini terdapat sebuah pohon langka bernama pohon kinah gadung wulung. Selain terbilang langka, pohon ini juga menyimpan sebuah pusaka yang menurut cerita memiliki kekuatan besar. Pihak keraton yang mengetahui hal tersebut, langsung mengirim utusan ke Gunung Nglanggeran untuk menjaga, membersihkan daerah sekitar pohon dan merawat pusaka yang berada di dalamnya.

Untuk mendapat orang terbaik, pihak keraton kemudian membuat sayembara untuk menentukan siapa yang akan berangkat ke Gunung Nglanggeran. Bagi siapapun yang sanggup melaksanakan tugas dari keraton, maka akan diberi tanah secukupnya untuk anak dan keturunannya. Pusaka tersebut menarik banyak orang untuk mendapatkannya. Dari beberapa orang, hanya Eyang Ira Dikrama yang mampu menjalankan perintah dari Keraton. Setelah Eyang Ira Dikrama berhasil masuk hutan dan mengamankan pusaka yang berada di dalam pohon kinah gadung wulung, selanjutnya pusaka tersebut disimpan di Keraton Yogyakarta.
Akhirnya, setelah itu banyak empu dan orang sakti yang berdatangan ingin tinggal di daerah Tlogo, namun hanya tujuh orang yang kuat hidup. Sisanya meninggal, karena tidak kuat dengan efek dari benda pusaka tersebut yang masih memiliki kekuatan supranatural yang tinggi.
Jumlah kepala keluarga (KK) yang tinggal di Kampung Pitu dari dahulu hingga sekarang tetap berjumlah tujuh, tidak kurang tidak pula lebih. Apabila dari keturunan mereka sudah menikah dan ingin mendirikan rumah dan KK sendiri, maka harus keluar dari sekitar Padukuhan Tlogo. Kalaupun tetap ingin tinggal di sekitar Tlogo, maka harus menunggu sampai ada kepala keluarga yang meninggal terlebih dahulu.
Menurut cerita, bila ada seorang warga Kampung Tujuh yang mendirikan bangunan rumah dan jumlah KK lebih dari tujuh, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kepala keluarga sering sakit-sakitan atau tidak betah sehingga ingin pergi dari rumahnya. Bahkan, bisa saja ada kejadian gaib yang mengganggu kehidupannya, lebih parah lagi bisa mengakibatkan kematian. Keanehan tersebut masih ada sampai sekarang. Hal ini menjadikan kawasan Tlogo terkesan unik dan sakral.
Itulah sejarah singkat, mengapa kampung tersebut disebut Kampung Pitu, karena memang penduduk yang berada di pemukiman ini berjumlah tujuh kepala keluarga (7 KK). Anehnya jumlah 7 KK itu tidak pernah berkurang dan tidak pula bertambah. Dari dahulu hingga sekarang jumlahnya tetap 7 KK.
Menurut penuturan sesepuh adat, pernah ada masyarakat luar yang mencoba tinggal di Kampung Pitu, namun mereka tidak bertahan lama. Terlepas dari hal sakral dan mitos tentang Kampung Pitu, hal yang menjadi faktor utama orang di luar kampung tidak bisa bertahan lama di Kampung Pitu adalah faktor geo-ekonomi.
Perkampungan ini terletak di dataran tinggi yang sulit diakses. Jalan menuju ke lokasi terbilang sulit dijangkau. Kendaraan roda empat bisa dipastikan tidak bisa memasuki perkampungan ini. Jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya sangatlah jauh. Di kampung ini tidak ada toko kelontong ataupun warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok warga harus keluar kampung dan berjalan berkilo-kilo menuju toko di luar kampung.
Baca artikel selanjutnya: Kampung Pitu (2): Masih Menjaga Tradisi Sampai Kini