Era Digital, Cetak Foto Pakai Lampu Petromax Ditinggal

oleh -21527 Dilihat
oleh
Kios Purnama, jasa cetak foto kilat mencoba bertahan. KH/ Kandar
Kios Purnama, jasa cetak foto kilat mencoba bertahan. KH/ Kandar

WONOSARI, (KH)— Masyarakat yang membutuhkan dokumentasi foto era 1980-1990-an pasti mengenal foto dengan klise, atau biasa disebut negatif film. Semenjak era digital datang, hasil foto berwarna hitam putih ini mulai tersingkir.

Seperti pengakuan Saiman, penyedia jasa cetak foto kilat di sebelah timur Taman Parkir komplek Pasar Argosari Wonosari ini misalnya, sekitar tahun 1996 ia mulai merasakan dampak munculnya foto digital. Hasil foto berbasis data atau file yang disimpan pada piranti multi media card (mmc) ini membuat usahanya lesu.

“Dahulu saya mulai buka sekitar tahun 1983, awalnya di Wonosari hanya ada 4 penyedia jasa foto klise sekaligus cetak, dan afdruk. Tinggal saya yang melanjutkan usaha hingga kini,” kata lelaki yang memiliki nama panggilan Paino ini, Rabu, (12/10/2016).

Ia mengisahkan, teknik mencetak foto dari klise pada awal usaha berdiri menggunakan bantuan lampu Petromax yang ia modifikasi. Dimulai dari proses cuci film hingga cetak ia lakukan sendiri. Usaha ini tak lepas dari istilah Afdruk, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari usaha jasa foto tempo dulu. Orang Gunungkidul setiap kali akan mencetak foto biasa bilang “Ngadrepke”.

Afdruk foto, kata lelaki asal Klaten ini merupakan sebuah kenangan dimana berada di ruang gelap yang berisi seperangkat alat yang terdiri dari lampu yang bisa digeser naik atau turun. ditambah dua buah baskom lengkap dengan dua jenis cairan kimia yang satu untuk mencuci film dan yang satu lagi untuk penimbul gambar.

Kenangan menjalankan usaha ia ingat betul, waktu itu, agar tidak hangus gambarnya, film yang baru dilepas dari tustel harus dibuka di ruang gelap dan dicuci lalu dikeringkan sebelum dicetak.

“Gambar hasil jepretan yang akan dicetak diletakkan di bawah lampu untuk dipantulkan pada kertas foto, semakin lama semakin hitam. Kertas foto lalu direndam di cairan sampai gambarnya timbul dengan jelas kemudian dicuci dengan air bersih lalu dikeringkan menggunakan sinar lampu,” kata lelaki dua anak ini menjelaskan teknik cetak foto zaman dulu.

Saiman dan beberapa kamera koleksi model lama yang sudah lama tidak dipakai lagi. KH/ Kandar.
Saiman dan beberapa kamera koleksi model jadul yang sudah lama tidak dipakai lagi. KH/ Kandar.

Sambung dia, ongkos Afdruk foto untuk pas foto ukuran 3 x 4 sebesar Rp. 50, sedangkan biaya foto kilat mencapai Rp. 2.000. Melengkapi usahanya, dengan dibantu kakak ipar jasa foto panggilan juga ia layani, mulai dari sekolah, Polres dan foto keperluan masyarakat yang akan transmigrasi.

“Sekolahan ya ijazah baik SD, SMP juga SMA, kalau Polres biasa memfoto narapidana, sering pula diminta mencetak foto warga yang akan trasnmigrasi, surat nikah, ktp dan lain-lain” kenangnya.

Masih langkanya orang yang memiliki Kodak/ tustel dan keterbatasan kemampuan masyarakat akan pemrosesan membuat profesi tukang foto di era tersebut masih cukup terhormat dan memberikan penghasilan yang memadai.

Begitu juga dengan Saiman, beberapa kali ia dapat membeli motor keluaran terbaru pada masa itu, seperti Honda GL 100, dan Suzuki L 2 Super. Era Petromax berhenti lalu diganti mesin enlarger sebagai mesin cetaknya.

Waktu itu banyak wartawan senior di Gunungkidul setiap sore ke kios “Purnama” miliknya untuk mencetak foto sebelum dikirim, ada dari Bernas, Djaka Lodhang dan beberapa surat kabar yang lain.

Sejalan dengan berkembangnya teknologi foto berwarna dengan kamera digital dan mesin cetak yang modern, berguguranlah para tukang afdruk pas foto kilat di pinggir jalan. Tetapi Saiman mencoba survive, lelaki yang berumur 53 tahun ini pun menjalani kursus komputer dengan mendatangkan seorang kenalan dari Yogyakarta.

Mau tidak mau ia merasa harus mengikuti perubahan, agar tidak ikut beristirahat dan menyerah bersama para penyedia jasa foto model lama masa itu. Namun umurnya yang tak lagi muda serta kepemilikan modal ia tak bisa mengimbangi studio photo modern yang bermunculan.

“Saat ini jika musim nikah masih melayani jasa panggilan, lalu saya cetak ke klaten. Kios ini mulai jarang didatangi untuk mencetak foto, namun tetap saya upayakan dengan menyediakan printer dan kertas foto jika sewaktu-waktu ada yang ingin mencetak,” ungkapnya.

Belasan tustel atau kamera model lama teronggok usang di etalase sederhana di kiosnya yang berada di padukuhan Purbosari, Desa Wonosari. Beberapa merek diantaranya; Ricoh, Yasicha, Fujica, Canon, Nikon dan Pentax. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar