Bukan Pabrik, Pasar Utama Tembakau Purwosari Itu Perokok ‘Tingwe’ di Bantul

oleh -10901 Dilihat
oleh
tembakau
Santoso menunjukkan tanaman tembakau Paiton. (KH/ Kandar)

PURWOSARI, (KH),— Sebagian petak lahan tanaman tembakau di Padukuhan Ploso, Kalurahan Girikarto, Kapanewon Purwosari, Kabupaten Gunungkidul telah memasuki masa akhir panen. Sebagian yang lain masih menyisakan satu hingga dua kali pemetikan saja.

Di Kalurahan Girikarto, selain Dusun Ploso ada Padukuhan Gading yang petaninya rutin menanam tembakau tiap tahun selepas panen padi. Jumlah penanam dari dua padukuhan itu hampir 400 Kepala Keluarga (KK).

Santoso (60), petani tembakau asal Ploso menyebutkan alasan tak menanam palawija usai panen padi karena berorientasi pada nilai ekonomis. Tanaman tembakau lebih dipilih karena lebih menguntungkan.

Komoditas tembakau harganya jauh lebih stabil ketimbang palawija dan sayuran. Selain itu, perawatannya juga tak jauh lebih ribet dibandingkan tanaman lainnya.

“Sejak lulus SMP saya menanam tembakau meneruskan kebiasaan orang tua. Kebiasaan menanam tembakau warga  di sini sudah turun temurun sejak nenek moyang,” kata Santoso saat ditemui belum lama ini.

Jenis dan varietas tembakau yang pernah ditanam mengalami beberapa kali pergantian. Dahulu ditanam jenis Sili Kedu. Belakangan ini mayoritas petani di wilayah itu menanam Tembakau Paiton. Pada petak yang lebih kecil oleh sebagian petani ditanami Tembakau Virginia.

Pasar tembakau panenan Purwosari ini lebih banyak terserap ke Kabupaten Bantul. Tepatnya di Pasar Pundong. Pasar tradisional yang punya hari pasaran Wage. Sementara, sebagian kecil saja hasil panen tembakau asal Purwosari dijual ke pasar lokal di sejumlah pasar di Gunungkidul.

Petani setempat memilih segmen pasar ke konsumen penyuka rokok lintingan, atau linting dewe (Tingwe) ketimbang dijual ke pabrik. Lagi-lagi orientasi nilai ekonomis menjadi alasannya.

“Dijual ke pasar tradisional dengan sasaran perokok Tingwe jauh lebih ‘laku’ (baca: berharga tinggi) ketimbang dijual ke pabrik. Dulu pernah dijual ke pabrik tapi keuntungan lebih sedikit,” terang Santoso.

Santoso mengungkapkan, tembaku yang laris di daerah Bantul salah satunya berasal dari Purwosari. Banyak testimoni yang diterima dari perokok tingwe di sana, tembaku hasil panen Purwosari karakter, rasanya khas dan tidak ‘nyegrak’ ditenggorokan. Perokok bilang rasanya ‘seger’.

Sekilo, tembakau jenis Paiton tembus Rp 160.000. Dengan catatan, berkualitas baik. Salah satu kualitas ditentukan masa simpan, yakni kurang lebih selama 6 bulan. Untuk tembakau yang sudah kering, namun belum melewati masa simpan bisa laku Rp80.000.

Hal lain yang berpengaruh pada harga yakni warna tembakau. Tepatnya warna tembakau yang cerah kekuningan harganya menyentuh standar tertinggi. Perputaran penjualannya, panen tahun ini akan dijual tahun depan. Begitu seterusnya, kecuali kebutuhan mendesak.

Santoso menggambarkan hasil, tiap lahan 1.000 meter peresegi dengan jumlah tanaman 1.000 batang, dapat menghasilkan uang Rp 5 juta. Hasil bersihnya Rp 3,5 juta setelah dikurangi biaya operasional sebanyak Rp 1,5 juta.

tembakau
Santoso memeriksa tembakau Paiton yang dijemur. (KH/ Kandar)

Tahun 1999 dibentuk Kelompok Tirta Agung. Wadah bagi petani tembakau di Padukuhan Ploso. Kelompok tersebut menjadi media berbagi apa saja yang berkaitan dengan budidaya tembakau. Koordinasi penanaman, perawatan hingga penjualan.

Kelompok tani saat ini telah memiliki sumur bor komunal. Selain digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, air dimanfaatkan untuk mengairi lahan tembakau jika dirasa perlu. Tiap beberapa petak lahan dibuat tandon air. Tanah digali lalu dilapisi terpal.

Bagi Santoso, hasil penanaman tembakau menjadi salah satu sumber penghasilan pokok. Hingga saat ini ia tak berfikir menanam komoditas lain selain tembakau selepas panen padi.

Dirinya yakin, pasar tembakau masih akan bertahan dalam jangka waktu yang lama. “Perokok tingwe tidak hanya golongan tua. Yang muda pun suka seiring mahalnya rokok kemasan di pasaran. Rasa tembakau yang ‘halus’ juga sesuai dengan selera anak muda,” tukas Santoso. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar