Budi Wibowo (45 tahun) adalah pria bertubuh gempal dan berambut ikal gondrong. Penampilannya yang ‘nyentrik’ sejalan dengan pemikiran-pemikirannya yang berbeda dengan yang lain tentang pertanian. Sejak kelas 2 SMA, Budi Wibowo yang akrab di panggil “Budi” ini, sudah tertarik dengan dunia pertanian. Kiprahnya di wilayah pertanian dimulai saat Budi bergabung dengan DIAKONIA (semacam organisasi pemuda gereja yang berfokus di bidang pertanian). Minatnya di pertanian ini dilanjutkannya setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA), bergabung di Yayasan Sumber Sari, yaitu sebuah yayasan yang berdiri di Kalurahan Karangsari, Kapenewon Semin, Kabupaten Gunungkidul.
Di yayasan Sumber Sari, Budi mulai mengenal dunia pertanian organik. Sebagai orang muda yang baru lulus sekolah, Budi tidak mengekor teman-teman se-angkatannya, yang kebanyakan segera merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Dia memilih untuk lebih mendalami dunia pertanian di asalnya. Minatnya yang luar biasa di bidang pertanian membawanya berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk belajar bertani organik. Ia pernah 3 tahun di Wonogiri bersama Yayasan YSAM Solo, yang intens di isu-isu pertanian. Pernah juga ia praktek di Yayasan Kursus Pertanian Taman Tani Salatiga (KPTT ), dan masih banyak lagi yang lain. Dari CV nya, Kabar Handayani dapat membaca, betapa pengalaman Budi di bidang pertanian organik memang tidak main-main.
Berbagai jenis sayur ditanam oleh Budi di lahan yang tidak begitu luas itu. Mulai dari selada merah, kol, tomat, terong ungu dan hijau, cabai besar, cabai rawit, sawi, kacang kapri, pare, labu, buncis, kacang panjang, dan lain lain. Semuanya ditanam dengan media bedengan atau polybag. Tanaman-tanaman ditata dengan rapi sesuai jenisnya. Di sela-sela bedengan sayur Budi menanam jenis pohon buah: pisang Cavendis, Pepaya California, dan jeruk yang sering digunakan daun dan buahnya untuk bumbu masak. Sementara di dekat pagar Budi menanam berbagai jenis empon-empon. “Biar lengkap, Mas, sekalian saya buat untuk uji coba, varietas sayur apa yang kiranya prospek untuk dikembangkan di sini. Yang jelas Ibunya anak-anak jika ingin memasak apapun tinggal beli bumbu, garam, dan minyak. Tak perlu beli sayur. Kan menghemat biaya dapur,” ujarnya sambil tertawa lepas.
Dari penjelasan Budi yang panjang, KH dapat mencatat proses pembuatan pupuk organik baik padat maupun cair. Budi menyebut pupuk organik ini dengan sebutan Pupuk Bokasi. Pupuk Bokasi berbahan dasar lethong sapi, atau srinthil kambing. Proses pembuatannya dengan fermentasi EM4 dan tetes tebu. Satu botol EM4 seharga 20 ribu rupiah dan satu botol tetes tebu seharga 10 ribu rupiah dapat di kembangkan menjadi 200 liter EM4. “Untuk skala kecil, siapkan satu liter air bersih, kemudian masukkan 1 sendok makan EM4, setelah itu 3 sendok tetes tebu, tutup dan simpan di tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung! Setelah 4 hari, satu liter air itu sudah menjadi satu liter EM4 semua. Untuk takaran lebih banyak tinggal mengalikan dosis takarannya,” begini terangnya. “Ini yang saya maksud, pupuk berbiaya murah berkualitas tinggi. Karena dengan satu liter EM4, cukup untuk memfermentasi pupuk kandang mentah sebanyak 6 karung (kira kira 200 kg pupuk kandang),” lanjutnya.