Badai Cempaka yang melanda sebagian wilayah Indonesia termasuk Gunungkidul di akhir tahun 2017 masih menyisakan banyak cerita. Badai dengan curah hujan tinggi mengakibatkan banjir melanda sebagian wilayah Gunugkidul. Sungai Oya pun demikian. Sungai Oya adalah sungai terbesar di Gunungkidul. Oya membelah wilayah Gunungkidul sisi tengah dan utara. Sungai yang berhulu di Umbul Nogo (Naga), wilayah Kapanewon Manyaran Wonogiri, ini memiliki panjang aliran kurang lebih 176 Km. Setelah bertemu dengan Sungai Opak di wilayah Imogiri (Imagiri) Bantul, akhirnya bermuara di Pantai Selatan Jawa.
Sungai Oya adalah induk dari beberapa anak dan cucu sungai kecil yang bermuara (bertempur) padanya. Tak mengherankan bila Badai Cempaka dengan curah hujan tinggi menjadikan debit air sungai-sungai kecil ini memenuhi Sungai Oya. Debit Sungai Oya menjadi luar biasa besarnya. Terjadi banjir besar di Sungai Oya. Mungkin banjir kala itu merupakan banjir terbesar dalam ingatan masyarakat di sepanjang Sungai Oya kurun waktu seratus tahun terakhir. Tercatat banyak jembatan gantung yang hanyut. Tak terhitung pohon-pohon dan rumpun bambu tepi sungai yang tersapu banjir. Rumah penduduk yang terlalu dekat dengan DAS Oya banyak yang hanyut atau terkena dampaknya. Beberapa tempuran Oya mengalami kerusakan yang signifikan. Jembatan Bunder sebagai jalur utama yang menghubungkan Gunungkidul dan Yogyakarta terendam air. Titik ini adalah tempuran Sungai Oya dengan anak sungai Luk Ulo yang mengalir dari daerah Kapanewon Gedangsari. Hampir 2 X 24 jam, jalur utama itu terputus dan tidak bisa dilalui. Agak ke hilir, ada ratusan hektar sawah produktif di sepanjang DAS Oya, meliputi wilayah Wonolagi, Njelok, dan Banyusoca, mengalami kerusakan yang sangat parah. Sawah sawah yang baru saja ditanami menjadi rata seperti lapangan luas. Lapisan tanah subur (lemi) hilang terbawa banjir, tergantikan tanah keras seperti batu.
“Pemasukan kami dulu sudah lumayan, Mas. Setiap Sabtu-Minggu ada pemasukan 2 sampai 3 juta per hari. Di hari-hari besar atau liburan bisa mencapai kisaran 5 juta,” kenang Ismail (52), salah satu anggota Pokdarwis. Perintisan Obyek Wisata Watu Tumpeng dan Watu Layah oleh Pokdarwis termasuk gerak memanfaatkan booming wisata alam Gunungkidul, yang dengan promosi lewat medsos mampu menarik jutaan wisatawan untuk berkunjung ke Gunungkidul. Manisnya gula-gula wisata Watu Tumpeng dan Watu Layah, walau hanya beberapa bulan, sempat dirasakan oleh Pokdarwis dan masyarakat Kalurahan Getas pada umumnya. “Dengan kehadiran wisata waktu itu, perputaran ekonomi masyarakat meningkat. Banyak lapangan kerja yang terbuka untuk para pemuda. Di Kalurahan kami banyak sekali SDM yang belum punya pekerjaan tetap,” terang Supancar. “Awal dibuka, Wisata River Tubing Watu Tumpeng dan Watu Layah mendapat sambutan yang antusias dari wisatawan. Itu membuat kami betul-betul bersemangat. Sedikit banyak ada tambahan penghasilan buat kami,” imbuh Ismail.
Pasca banjir yang menghanyutkan semua fasilitas penunjang wisata membuat pengelola wisata mati suri. “Banjir itu datangnya sangat cepat. Kami sampai di sekretariat, air sudah mulai naik. Tidak ada waktu untuk menyelamatkan barang-barang. Terlalu beresiko bagi kami. Permukaan banjir meninggi tiba-tiba. Kami hanya tertegun melihat bangunan sekretariat dan segala alat penunjang wisata hanyut terbawa air,” kenang Ismail.
Akhirnya, setelah melakukan perbincangan dengan beberapa pihak, semangat Pokdarwis Watu Tumpeng dan Watu Layah sedikit muncul kembali. Mereka berjejaring dan berbincang dengan Komunitas Resan Gunungkidul dan Civitas Akademika Universitas Gunungkidul (UGK). Ide-ide mulai bermunculan. Ada banyak hal bisa dijadikan pembelajaran dari kejadian banjir besar 2017. Di antaranya adalah bagaimana membangun sebuah kawasan wisata yang tidak hanya ‘menjual’ alam, tetapi menciptakan sebuah kawasan wisata yang saling mendukung dan melahirkan Pokdarwis yang berintegritas. Muncullah ide wisata berbasis edukasi dan konservasi. “Saat ini kami mulai merintis kegiatan konservasi DAS Oya sepanjang hampir 2 km. Ini adalah jarak antara Watu Tumpeng dan Watu Layah yang dulu menjadi jalur river tubing,” ujar Supancar tampak mulai bersemangat.
“Kami baru menyadari, ternyata banyak hal bisa menjadi daya tarik Sungai Oya: struktur batuan, lahan garapan sepanjang DAS, dan lain lain,” Sutikno (34 tahun) menambahkan. Hal senada juga diungkapkan oleh Septiono Bawono, perwakilan dari Universitas Gunungkidul, “Mulai sekarang, masyarakat Gunungkidul harus mulai belajar membangun sebuah kawasan wisata terpadu. Bagaimana masyarakat tidak melulu menjual dan mengeksploitasi alam untuk daya tarik wisata, tetapi sekaligus menciptakan sebuah wisata berkelanjutan. “Jika kawasan wisata terpadu bisa kita bangun, maka wisatawan tidak akan hanya sekali datang mengunjungi, tetapi akan terkenang dan mengajak yang lain untuk berkunjung,” imbuhnya. Gunawan (43), salah satu aktivis Komunitas Resan Gunungkidul, menambahkan, “Jika program konservasi DAS Oya ini berhasil, maka ke depan bisa mengagendakan program konservasi satwa, terutama burung. Ini akan menjadi sebuah daya tarik tersendiri bagi sebuah kawasan wisata.”
[KH/Edi Padmo]